Di Posting Oleh : PAKNAI
Kategori : Cerita
Di lorong pasar yang basah oleh sisa hujan dini hari, Darto berdiri terpaku. Jaket kusamnya sudah terlalu tipis untuk melawan dingin yang menggigit, sementara ujung celananya basah karena lumpur bercampur air comberan. Kereta dorong tuanya terparkir di samping, roda-roda yang berdecit lelah seolah menjadi gema sunyi dari tubuhnya yang renta. Langkah-langkah para pedagang dan pembeli melintas di hadapannya tanpa menoleh, seakan ia hanya bayangan di antara lampu neon redup.
“Pak, pindahin barang ini ke kios saya.” Sebuah suara kecil memecah hening itu. Darto menoleh dengan cepat, terlalu cepat hingga sendinya terasa nyeri. Harapan yang berkelebat langsung pupus begitu melihat seorang pemuda lain, lebih muda, lebih bugar, datang mengambil alih pekerjaan itu.
“Nggak apa-apa, Pak. Masih ada lain waktu.” Pemilik kios melambaikan tangan singkat ke arahnya, lalu berbalik tanpa menunggu jawaban. Darto menunduk, menyembunyikan raut wajahnya yang mengeras, berusaha menekan perasaan yang mengganjal di dadanya.
Darto tahu, "lain waktu" itu sudah tidak ada. Usianya yang hampir 60 tahun membuatnya tak lagi jadi pilihan pertama para pedagang. Mereka lebih percaya pada buruh-buruh muda yang kuat dan cepat. Namun, pagi ini ia masih berdiri di sini. Ia tidak pulang tanpa membawa hasil.
Kereta dorong itu didorongnya pelan, roda-roda berkarat mengaduk genangan air. Dia melangkah ke sudut pasar yang lebih sepi, dekat tumpukan peti buah yang mulai membusuk. Di sana, ia menghela napas, memeriksa isi sakunya yang kosong, lalu mengamati orang-orang yang sibuk bertransaksi. Semua terlihat jelas: ia tak dibutuhkan.
Waktu bergulir. Matahari mulai naik, mengusir bayang-bayang malam yang tersisa. Darto masih mengitari pasar, menunggu ada yang memanggil, tapi tak ada. Punggungnya semakin terasa berat, bukan karena beban fisik, tapi beban batin yang tak kunjung reda.
Di sebuah sudut pasar, ia melihat Romli, buruh angkut muda yang selalu mendapatkan pekerjaan. Romli sedang mengangkat karung beras, langkahnya sigap, tubuhnya kokoh. Darto memalingkan wajah, mencoba menahan perasaan iri yang perlahan menjalar. Namun, tak ada yang bisa menahan pikirannya. Bagaimana jika ia tak lagi punya jalan lain? Bagaimana jika ia harus memaksa agar dilihat?
Darto mulai memutar otak. Ia bukan tipe orang yang menyerah begitu saja, tapi keadaan telah membuatnya berpikir lebih keras—dan lebih gelap. Ketika langkahnya membawa dia ke kios Pak Salim, pedagang rempah yang dulu sering menyewa jasanya, Darto berhenti. Napasnya tercekat, dadanya berdegup lebih kencang.
Pak Salim sedang berbicara dengan Romli.
“Darto, sudah lama nggak kelihatan.” Pak Salim menoleh, raut wajahnya ramah tapi terlalu datar.
“Saya di sini tiap hari, Pak,” jawab Darto, suaranya parau.
Pak Salim hanya mengangguk kecil, lalu kembali berbicara dengan Romli. Darto berdiri di sana, merasa seperti orang asing di tempat yang dulu akrab. Ia mengamati gerak-gerik mereka, mencoba membaca kesempatan, namun yang ia temukan hanyalah penolakan tersirat.
Malam harinya, Darto duduk di emperan toko yang sudah tutup, menatap kereta dorongnya yang kosong. Angin dingin menerpa kulitnya, tapi ia tak bergerak. Sesuatu di dalam dirinya retak perlahan. Jika tak ada yang mau memberinya pekerjaan, mungkin ia harus merebutnya.
Pagi berikutnya, Darto kembali ke pasar dengan langkah yang berbeda. Keraguan masih menghantui benaknya, tapi rasa putus asa telah menutupi hampir segalanya. Di kios Pak Salim, ia melihat Romli sedang mengangkat peti kayu. Tanpa berpikir panjang, Darto mendekat.
“Romli,” panggilnya, suaranya tegas.
Romli menoleh, keningnya berkerut. “Ada apa, Pak?”
“Saya yang harusnya bawa itu.” Darto menunjuk peti kayu di tangan Romli.
“Maaf, Pak. Pak Salim yang minta saya.”
Darto melangkah maju, terlalu dekat hingga Romli mundur selangkah. “Saya sudah lama kerja di sini. Kamu baru datang, belum tahu aturan.”
Romli tergelak kecil. “Aturan apa, Pak? Ini kan pasar. Siapa cepat, dia dapat.”
Kata-kata itu memicu sesuatu dalam diri Darto. Ia meraih kerah baju Romli, menariknya hingga wajah mereka hampir bersentuhan. “Dengar, saya butuh kerjaan ini. Kalau kamu nggak mau ngalah, saya yang bikin kamu pergi.”
Romli mencoba melepaskan diri, tapi cengkeraman Darto terlalu kuat. Pedagang-pedagang di sekitar mereka mulai memperhatikan, beberapa bahkan mendekat untuk melihat apa yang terjadi.
“Pak Darto, lepaskan! Jangan bikin masalah!” Suara Pak Salim terdengar dari belakang.
Tapi Darto tak mendengar. Dunia di sekelilingnya terasa mengabur. Yang ia tahu, ia tak bisa pulang dengan tangan kosong lagi. Ia tak bisa terus menjadi bayangan yang diabaikan.
Romli akhirnya mendorong Darto dengan kasar, membuat pria tua itu tersungkur ke lantai pasar. Semua orang terdiam, menahan napas. Darto bangkit perlahan, matanya menyapu wajah-wajah yang menatapnya. Mereka takut. Itu cukup.
Ia mengambil peti kayu yang tadi dibawa Romli, mengangkatnya dengan susah payah ke kereta dorong. Tak ada yang berani menghentikannya.
Langit mulai mendung saat Darto meninggalkan kios Pak Salim. Kereta dorongnya berderit pelan, mengiringi langkahnya yang berat. Ia tak tahu ke mana harus pergi setelah ini, apakah ia akan kembali ke pasar esok hari atau akhirnya menyerah pada kenyataan.
Di belakangnya, suara-suara kecil mulai terdengar. Bisikan-bisikan para pedagang yang saling bercerita tentang pria tua yang mengintimidasi Romli. Nama Darto kembali menjadi bahan pembicaraan, tapi bukan dengan cara yang ia harapkan.
Langkahnya terhenti di tikungan pasar. Ia menatap ke depan, ke arah jalan yang gelap tanpa ujung. Untuk pertama kalinya, ia bertanya pada dirinya sendiri: apa yang akan ia lakukan jika tak ada lagi yang bisa diintimidasi?
Dan di bawah langit yang gelap, Darto melangkah lagi, tanpa jawaban.
Posting Komentar
Posting Komentar