n1ljWYmZyLaHa1TMPYBBtiqVcQolSr0KLMIOwgVb

Cari Blog Ini

Laporkan Penyalahgunaan

Mengenai Saya

Menunggu Bayang-Bayang Senja

Menunggu Bayang-Bayang Senja
Di Posting Oleh : PAKNAI
Kategori : Cerita

cerita pendek
 Angin sore membawa serpihan debu ke beranda kecil itu, sementara Anisa menggenggam erat tangan Farel. Mereka duduk di anak tangga depan rumahnya, mata mereka saling terkunci, namun percakapan terasa terhenti di antara deru napas. Cahaya senja perlahan tenggelam di balik pepohonan. Farel, dengan seragam hijaunya yang lusuh, mencoba tersenyum, tetapi garis tipis di sudut bibirnya terlalu berat untuk bertahan.

"Aku harus berangkat besok pagi," ujarnya, suara serak nyaris pecah.

Anisa tidak menjawab. Dia memandang tangan mereka yang saling bertautan. "Berapa lama kali ini?" Suaranya nyaris berbisik, seperti angin yang menyusup di antara celah-celah dedaunan.

"Enam bulan, mungkin lebih. Daerah konflik itu belum stabil." Farel menarik napas panjang. Ia mengelus jemari Anisa yang mulai bergetar.

"Aku ikut," potong Anisa tiba-tiba, suaranya bergetar seperti tanah yang retak.

Farel terperangah. "Apa? Kamu tahu itu mustahil." Ia menatapnya dengan kening berkerut.

"Aku bisa belajar. Aku kuat. Aku tidak peduli, aku tidak bisa menunggumu lagi dengan cemas setiap hari, Farel." Anisa berdiri, menantang matanya. Bayangan senja di wajahnya membentuk siluet yang tegas, meski tubuhnya tampak gemetar.

Farel menggeleng, matanya menyapu wajah perempuan itu, mencari sisa-sisa kebodohan dari permintaan gila ini. Tapi di sana, ia hanya menemukan tekad yang membuat dadanya semakin sesak.

Tiga minggu berlalu sejak Farel meninggalkan kota kecil mereka. Anisa masih berdiri di tepi tempat tidur mereka yang kosong, memandang telepon yang tidak berdering. Dalam keheningan itu, dia menggenggam brosur yang telah ia ambil tanpa sepengetahuan Farel—brosur pendaftaran calon tentara wanita.

Anisa berdiri di barisan pelatihan dengan seragamnya yang kebesaran. Hari itu begitu terik, dan peluh membanjiri tubuhnya. Teriakan instruktur menggema di lapangan. Dia jatuh berkali-kali, tangannya berdarah karena mengangkat senjata yang terlalu berat. Tapi setiap kali tubuhnya ingin menyerah, wajah Farel muncul di benaknya, menyalakan kembali api yang hampir padam.

Suatu malam, di barak yang dingin, seorang teman sekamar memerhatikannya dari kasur sebelah. "Kamu aneh," kata perempuan itu, Nadya namanya. "Kenapa kamu mau masuk ke neraka ini? Kamu bahkan tidak punya latar belakang militer."

Anisa hanya tertawa kecil, tetapi suaranya serak. "Aku punya alasan."

"Apa itu cinta?" Nadya mencondongkan tubuhnya, menatapnya penuh rasa ingin tahu.

Anisa terdiam, memandang bulan di luar jendela. "Cinta... dan ketakutan. Aku takut kehilangan dia."

Nadya hanya menggeleng pelan. "Di tempat ini, ketakutan akan memakanmu hidup-hidup. Kamu harus lebih dari itu."

Beberapa bulan kemudian, Anisa resmi menyelesaikan pelatihannya. Sebuah surat tugas diberikan padanya: dia dikirim ke daerah konflik, tempat Farel juga ditempatkan. Ketika ia membaca nama daerah itu, jantungnya berdegup kencang, bukan karena rasa senang, melainkan cemas yang menyelinap dari setiap huruf di kertas itu.

Di bawah terik matahari, Anisa menginjak tanah merah yang retak. Suara tembakan terdengar dari kejauhan, memecah keheningan. Ia ditugaskan untuk mengawal logistik bersama regu kecilnya. Sepanjang perjalanan, ia terus memandang ke sekeliling, berharap melihat bayangan Farel. Namun, yang ia temui hanyalah reruntuhan dan wajah-wajah yang lelah.

Di sebuah pos penjagaan, akhirnya mereka bertemu. Farel berdiri di sisi truk, sedang memeriksa senapan. Ketika ia melihat Anisa melangkah mendekat, wajahnya berubah pucat.

"Anisa?" Ia berjalan cepat mendekatinya. "Apa yang kamu lakukan di sini?"

"Aku di sini untuk bersamamu," jawab Anisa dengan nada yang datar, meskipun di dalam dirinya ada gejolak yang tidak terkatakan.

"Kamu gila!" Farel menahan lengannya, tapi Anisa menarik tangannya dengan tegas. "Ini bukan tempatmu, ini bukan dunia yang kamu pahami."

"Aku tidak peduli!" Suaranya melengking. "Aku sudah kehilangan ketenangan di rumah. Aku lebih baik ada di sini, di neraka ini, daripada menunggumu tanpa kepastian."

Sebelum Farel sempat menjawab, sebuah ledakan mengguncang tanah. Mereka terjatuh, debu menyelimuti udara. Anisa merasakan napasnya terhambat, tetapi ia segera bangkit, berusaha menstabilkan pandangannya. Di tengah kekacauan, Farel menariknya masuk ke dalam parit perlindungan.

"Anisa, dengarkan aku. Ini bukan permainan. Kamu harus pergi. Aku tidak mau melihat kamu terluka!" Farel menatapnya dengan mata penuh ketakutan. Untuk pertama kalinya, Anisa melihat ketakutan yang sebenarnya di mata laki-laki itu.

"Terlambat," bisik Anisa. Matanya membasah. "Aku sudah di sini. Aku tidak akan pergi."

Malam itu, mereka berdua berjaga di pos yang sama, tetapi jarak di antara mereka lebih lebar daripada sebelumnya. Di kejauhan, suara langkah dan bayangan samar terlihat. "Siap siaga!" teriak seseorang dari radio.

Ketika serangan benar-benar terjadi, semuanya menjadi kabur—tembakan, jeritan, dan dentingan senjata. Anisa berada di sisi Farel, tetapi segalanya terasa kacau. Dalam satu momen, ia melihat Farel terjatuh, darah mengalir dari bahunya.

"Farel!" Ia berteriak, tetapi seseorang menariknya mundur.

"Ayo mundur!" Nadya, yang kini menjadi rekan satu regunya, menarik tubuhnya yang mematung.

Namun, Anisa tidak bergerak. Ia melawan tarikan itu dan berlari ke arah Farel yang tergeletak. Suaranya menggema di udara, tetapi Farel tidak menjawab. Anisa menarik tubuhnya yang berat, menyeretnya ke balik perlindungan.

Ketika akhirnya tembakan mereda, Anisa duduk di sebelah Farel yang mulai sadar. Mata mereka bertemu, dan Farel mencoba tersenyum lemah meski wajahnya pucat.

"Kamu keras kepala," bisiknya.

Anisa tidak menjawab, hanya memeluknya erat. Ia tidak peduli bahwa dunia mereka penuh dengan ketidakpastian. Untuk saat ini, mereka masih bernapas bersama.

Dua minggu setelah serangan itu, Farel dipindahkan ke rumah sakit militer di kota terdekat. Anisa tetap bertugas, tetapi setiap malam ia duduk di pos penjagaan, menatap bintang-bintang yang redup. Angin dingin membawa suara-suara samar, dan ia merasa seolah bayang-bayang Farel masih di sisinya.

Suatu pagi, ia menerima panggilan radio. Suara di ujung sana menyebutkan sebuah nama, sebuah misi baru. Anisa menatap cakrawala yang mulai memerah.

"Kita bergerak sekarang," kata Nadya sambil menepuk pundaknya.

Anisa mengangguk, menggenggam senjata di tangannya. Dalam hatinya, ia tahu bahwa perjalanan ini belum berakhir.

Related Posts
SHARE

Related Posts

Subscribe to get free updates

Posting Komentar

Sticky Note