Di Posting Oleh : PAKNAI
Kategori :
Jika kamu mempelajari psikologi manusia, kamu akan tahu bahwa proses memberi itu, sama susahnya dengan proses menerima.
Mungkin selama ini kamu berfikir bahwa menerima itu mudah. "Saya tinggal membuka telapak tangan, kemudian menggenggam pemberian dan memindahkan isi dari tangan yang terkepal ke dalam kantong."
Tapi, jika memang semudah itu, kenapa ada orang yang menolak pemberian orang lain. Atau, ada rasa tidak puas saat menerima pemberian orang lain?
"Masa hanya segini? Tambahin lagi dong!"
Nah, ketika si pemberi menghadapi orang seperti ini, apa yang terfikir olehnya? "Wah, dikasih hati, minta jantung ini orang."
Kemudian, apakah dia menghentikan kebiasaannya berbagi?
Disinilah uniknya menjadi manusia. Seorang yang suka memberi dan berbagi tidak akan menghentikan kebiasaannya, hanya karena tanggapan orang yang merasa tidak puas. Kecewa pasti, tapi bukan pada dirinya atau kebiasaanya, melainkan pada orang yang diberi. di hari lain ketika dia melakukan hal yang sama, dia akan mencari orang lain yang lebih layak mendapat bantuannya.
Pemberi akan tetap jadi pemberi. Sedangkan si penerima dengan segala uneg-unegnya, akan tetap menjadi penerima pemberian dari orang lain, yang belum mengenal bagaimana karakternya.
Emosi kita dipengaruhi oleh perasaan. Kita tidak tahu apakah yang kita lakukan benar atau salah, sebelum kita merasakan sendiri bagaimana perasaan kita bereaksi. Namun, jangan berhenti dulu.
Perasaan ini juga harus dilatih. Saat pertama kali memberi, kamu akan merasakan hal yang tidak wajar pada dirimu. Ada rasa takut kekurangan dan sebagainya. Belum lagi, kalau kamu over thingking tentang perasaan orang. "Dia tersinggung tidak ya, kalau ku beri ini?" Tapi sabar, dua tiga kali setelah kamu melakukan kebiasaan ini, perasaan itu akan berkurang.
Jika intensitas ataupun nominal barang atau jasa yang kamu beri meningkat dari biasanya, perasaan ini akan muncul kembali. Disini dopamin telah mempermainkan kita. Namun, setelah terbiasa memberi dengan nominal besar, lalu kamu mencoba memberi dengan jumlah yang sedikit, dopamin kembali tidak bereaksi. Artinya, jumlah dan intensitasnya harus terus bertambah.
Aku pernah diingatkan seorang kawan, "Jangan membiasakan diri memancing di laut. Karena kalau sudah terbiasa dapat ikan besar, mendapat ikan kecil di sungai tidak ada kenikmatannya. Usahakan tempat memancingnya berganti, supaya rasa puas itu terus hadir. Kita yang mengendalikan diri kita, bukan sebaliknya."
Mengenal diri kita secara morfoligi dan fisiologi memang memberi pengaruh besar pada penerimaan dan produktifitas kita. Bayangkan seseorang yang bisa mengerjakan banyak hal dan memimpin orang banyak. tiba-tiba harus berhenti karena masa pensiun atau sebab lain. apa yang akan terjadi padanya?
Kita mengenal istilah post power sindrom. Kenapa hal ini terjadi? ya.. kebiasaan sebelumnya yang belum bisa dirubah.
lalu bagaimana kemudian?
Perlu tindakan sadar untuk merubahnya. Dan, tahu belum tentu mampu. tapi, tahu adalah gerbang awal untuk melakukan perubahan.
Setelah kamu mengetahui, kamu harus mencari alasan untuk mampu. Dan kembali, disini rahasia diri kita akan terbuka.
Setiap transformasi membutuhkan pemicu. Bukan hanya motivasi. pemicu ini bisa dari dalam dan dari luar diri kita. pernahkah anda melihat seorang pecandu rokok tiba-tiba berhenti?
Ada beberapa hal yang membuat beliau berhenti. bisa saja karena uangnya tidak ada lagi untuk membeli rokok, atau bisa juga karena pengaruh anak, istri, dan orang tua. Atau, bisa juga karena orang yang tidak dikenal, seperti iklan rokok yang dirasa berlebihan.
Tapi, pada dasarnya semua itu hanya faktor pemicu saja. kemudian faktor pemicu ini dikembangkan sedemikian rupa dalam dirinya sehingga mendorong terjadinya perubahan.
Dimana semua ini diolah? pikiran/otak kita yang menjadi penentu. Otak menjadi saringan plus memproses data yang membuat kita melakukan perubahan ini.
Lalu, bagaimana biar kita bisa berubah? carilah pemicu yang bisa membawa anda bertahan dengan keinginan untuk berubah.
Posting Komentar
Posting Komentar