Di Posting Oleh : PAKNAI
Kategori : Cerita
Ilham menunduk, mengaduk-aduk nasi di piringnya dengan sendok tanpa benar-benar menyendoknya. Matanya lurus ke bawah, menghindari pandangan ibunya. Ia tahu apa yang akan keluar dari mulut Lina.
“Apa ini keputusan akhirnya, Ham?” Lina membuka percakapan. Nada suaranya lembut, tapi ada sesuatu yang dingin di dalamnya, seperti pisau tipis yang menusuk perlahan.
Ilham berhenti mengaduk, lalu mendongak. “Iya, Bu. Aku sudah mendaftar,” katanya pelan, tapi cukup keras untuk mengisi keheningan ruang itu.
Lina terdiam. Tatapannya berubah tajam. Sendok yang dipegangnya berhenti di udara, lalu ia meletakkannya di piring dengan suara berdentang. “Kau tahu betapa aku ingin kau menjadi guru. Itu bukan keinginan yang berlebihan, Ilham. Hanya ingin kau punya hidup yang tenang.”
“Bu, ini hidupku,” jawab Ilham, suaranya gemetar tapi tegas. “Aku ingin jadi tentara, bukan guru. Aku ingin berjuang di medan perang, bukan di depan papan tulis.”
Hening menyelimuti ruangan itu. Hanya terdengar detak jam dinding yang seolah mempertegas jeda panjang di antara mereka. Lina menarik napas panjang, mencoba meredakan gejolak dalam hatinya. Namun, bayangan anaknya berdiri di tengah medan perang, dihujani peluru, terlalu menyakitkan untuk diterima.
“Aku tidak akan membiarkanmu melakukan ini, Ilham,” katanya akhirnya, nadanya rendah, tapi penuh ancaman yang terbungkus rapat.
Malam itu, Ilham mengunci pintu kamar lebih cepat dari biasanya. Ia tahu ibunya tidak akan menyerah begitu saja. Di balik pintu, ia duduk di kasurnya, merasakan perasaan yang campur aduk: rasa bersalah, marah, dan juga tekad yang tak tergoyahkan.
Di luar kamar, Lina mondar-mandir di ruang tamu. Pikirannya penuh dengan berbagai kemungkinan. Ia membayangkan seragam militer yang akan dikenakan anaknya, darah yang mungkin menodai tubuhnya, dan pesan duka yang datang tanpa peringatan. Ia tidak bisa membiarkan itu terjadi.
Esok paginya, Lina mengambil langkah pertama dalam rencananya. Ia menghubungi seorang teman lama, Bu Ratna, kepala sekolah di sebuah SMP negeri di kota mereka. Dengan nada penuh harap, Lina meminta agar Ilham diberikan tawaran mengajar setelah lulus nanti.
“Lina, aku akan mencoba membantu. Tapi Ilham mau tidak?” tanya Bu Ratna di ujung telepon.
“Dia pasti mau. Aku ibunya,” jawab Lina, mencoba meyakinkan dirinya sendiri lebih dari Bu Ratna.
Namun, Ilham tidak mau. Ketika Lina menyampaikan tawaran itu di meja makan malam, Ilham menolak mentah-mentah.
“Bu, aku tidak butuh tawaran itu. Aku sudah diterima di pendidikan militer. Minggu depan aku harus melapor,” katanya. Suaranya tegas, matanya menatap langsung ke arah Lina.
Untuk pertama kalinya, Lina merasa ada tembok yang tidak bisa ia tembus di antara mereka. Anak laki-laki yang dulu menggenggam tangannya dengan polos kini berdiri tegak di hadapannya, tidak mau goyah.
“Kalau begitu, kau harus memilih,” kata Lina akhirnya. “Aku atau mimpimu.”
Ilham terdiam. Kata-kata itu seperti hantaman keras yang tidak ia duga. “Apa maksud Ibu?”
“Kau tidak akan punya rumah ini lagi. Jangan harap aku akan mendukungmu jika kau tetap memilih jadi tentara,” jawab Lina. Matanya berkilat tajam, tapi suaranya bergetar.
Ilham menatap ibunya lama. “Baiklah, Bu. Kalau itu yang Ibu mau.”
Malam itu, Ilham mengemas barang-barangnya dalam diam. Ia meninggalkan rumah di bawah naungan langit gelap, dengan hanya sebuah tas ransel di punggungnya.
Hari-hari berlalu, dan keheningan menjadi teman Lina di rumah yang kini terasa lebih besar dari sebelumnya. Setiap sudut rumah mengingatkannya pada Ilham, pada suara tawanya, pada langkah-langkah kecilnya yang dulu memenuhi lorong-lorong. Tapi ia mencoba menahan perasaan itu. Ia meyakinkan dirinya bahwa ini adalah keputusan yang benar.
Namun, surat pertama dari Ilham tiba tiga bulan kemudian. Sebuah amplop dengan tulisan tangan yang sudah dikenalnya. Lina membukanya dengan tangan gemetar. Isinya hanya beberapa kalimat, tetapi cukup untuk membuatnya menggigil.
“Bu, aku baik-baik saja di sini. Latihannya berat, tapi aku menikmati setiap momennya. Aku tahu ini bukan yang Ibu inginkan, tapi aku merasa hidup di sini. Maaf kalau aku menyakiti Ibu. Aku akan selalu mencintai Ibu.”
Air mata Lina jatuh tanpa henti. Surat itu terasa seperti tamparan yang menyakitkan, tapi juga seperti pelukan hangat yang telah lama ia rindukan. Ia ingin membalas surat itu, ingin mengatakan bahwa ia juga mencintai Ilham. Namun, gengsi dan rasa kecewanya menahannya.
Tiga tahun kemudian, Lina mendapat kabar dari seorang teman bahwa Ilham telah berhasil menjadi prajurit dengan pangkat yang cukup tinggi. Namun, kabar itu juga datang dengan berita bahwa Ilham sedang bersiap untuk dikirim ke daerah konflik. Ketakutan terbesar Lina menjadi nyata.
Ia tidak tahan lagi. Lina menghubungi Ilham lewat telepon, dan untuk pertama kalinya dalam tiga tahun, suara mereka saling bertemu. “Ilham, kembalilah. Aku mohon,” kata Lina, suaranya parau.
“Bu, aku tidak bisa. Ini sudah menjadi jalanku,” jawab Ilham.
“Tapi aku ibumu. Aku tidak bisa kehilanganmu!”
Keheningan mengisi percakapan itu. Akhirnya, Ilham menjawab, “Bu, aku tidak pernah meninggalkan Ibu. Hanya saja, jalan kita memang berbeda.”
Kata-kata itu menggantung di udara, seperti batu besar yang tidak bisa digerakkan. Lina menangis, menyadari bahwa ia telah kalah. Ia telah kehilangan kesempatan untuk memahami anaknya, untuk mendukungnya.
Sebulan kemudian, Lina menerima surat lain dari Ilham. Surat itu datang dengan sebuah medali yang Ilham kirimkan dari medan tugasnya. Dalam surat itu, Ilham bercerita tentang kebanggaannya mengenakan seragam militer, tentang rekan-rekannya, dan tentang misinya. Namun, ada sesuatu yang berbeda dalam surat ini. Ilham menulisnya dengan nada yang lebih pribadi, lebih mendalam.
“Bu, aku tahu ini sulit untuk Ibu. Tapi aku harap suatu hari nanti, Ibu akan bangga padaku, seperti aku bangga menjadi anak Ibu. Kalau aku tidak bisa kembali, aku hanya ingin Ibu tahu bahwa aku bahagia telah memilih jalan ini.”
Lina membaca surat itu berulang kali, meremasnya di dadanya. Ia berjalan ke jendela, memandang langit senja yang merah membara, mencoba membayangkan Ilham di tempat yang jauh. Ia tidak tahu apakah anaknya akan kembali atau tidak, tapi satu hal yang pasti: hatinya selalu bersama Ilham, meskipun langkah mereka berlawanan.
Posting Komentar
Posting Komentar