n1ljWYmZyLaHa1TMPYBBtiqVcQolSr0KLMIOwgVb

Cari Blog Ini

Laporkan Penyalahgunaan

Mengenai Saya

Senyap di Balik Papan Tulis

Senyap di Balik Papan Tulis
Di Posting Oleh : PAKNAI
Kategori : Cerita

cerita pendek
Langit pagi berwarna abu-abu di atas Sekolah Negeri Tunas Harapan. Hujan turun rintik, dan udara membawa aroma tanah basah ke ruang guru. Di pojok ruangan, Raka menatap piala tua di rak kaca dengan tatapan kosong. Tangannya memegang secarik kertas berisi pengumuman: Pendaftaran Calon Kepala Sekolah Dibuka.

Dari sudut matanya, ia melihat sosok Farhan—rekan sejawat sekaligus sahabat lamanya—melangkah masuk. Farhan tersenyum tipis, membawa secangkir kopi yang menguarkan aroma hangat. “Jadi, akhirnya kamu mau daftar juga?” Farhan duduk di kursi sebelah, tubuhnya bersandar dengan santai.

Raka terdiam. Hatinya ragu, tapi tekadnya bulat. Sudah bertahun-tahun ia mengabdi di sekolah ini. Selama itu pula ia merasa sanggup memimpin, membawa perubahan yang tak kunjung hadir. “Aku sudah putuskan, Han. Aku akan coba,” ucapnya pelan.

Farhan mengangguk perlahan, tetapi ada ketegangan di matanya. Ia menyimpan sesuatu, tetapi membiarkannya menggantung. Raka tidak memperhatikan, terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri.

Dua hari kemudian, Raka berdiri di depan ruangan kepala sekolah untuk menyerahkan berkas pendaftaran. Sebelum mengetuk pintu, suara Farhan terdengar dari belakangnya. “Raka, tunggu.”

Raka menoleh. Farhan berdiri dengan wajah muram. “Aku tahu apa yang kau rencanakan, tapi kau yakin ini langkah yang tepat?”

“Apa maksudmu?” tanya Raka dengan alis terangkat.

Farhan mendekat, berbicara dengan nada yang lebih rendah. “Posisi itu… tidak semudah kelihatannya. Kau akan kehilangan banyak hal. Aku hanya tidak ingin kau membuat keputusan yang salah.”

Raka terdiam. Ada sesuatu dalam cara Farhan berbicara yang membuatnya merasa seperti melangkah di atas lantai rapuh. Tapi ia menepis perasaan itu, mengetuk pintu, dan menyerahkan berkasnya.

Saat ia melangkah keluar dari ruangan, Farhan masih berdiri di sana, pandangannya berat, seolah memprediksi sesuatu yang buruk akan terjadi.

Hari-hari berikutnya terasa seperti permainan catur. Farhan mulai bersikap aneh—lebih sering menanyakan kabar siswa, mendekati guru-guru lain, bahkan berbicara dengan kepala sekolah secara tertutup.

Raka mulai merasa ada yang tidak beres. Suatu sore, ketika ia sedang memeriksa tugas siswa di ruang guru, ia mendengar percakapan di balik pintu.

“Dia tidak punya pengalaman administratif yang cukup, Pak,” suara Farhan terdengar samar. “Saya hanya ingin memastikan sekolah ini berada di tangan yang tepat.”

Darah Raka mendidih. Ia tahu Farhan berbicara tentang dirinya. Tapi mengapa? Bukankah mereka teman? Ia mendekati pintu perlahan, namun suara langkah mendekat membuatnya mundur. Pintu terbuka, dan Farhan terkejut melihatnya di sana.

“Sedang apa kau di sini?” tanya Farhan dengan senyum yang terlalu kaku.

Raka menatapnya tajam. “Harusnya aku yang bertanya. Apa yang sebenarnya kau lakukan, Han?”

Farhan tidak menjawab. Ia hanya menepuk bahu Raka dan pergi tanpa sepatah kata pun.

Malam itu, Raka duduk di ruang tamunya dengan segelas teh yang sudah dingin. Pertanyaan berkecamuk di kepalanya. Bagaimana jika Farhan benar? Bagaimana jika menjadi kepala sekolah hanya akan membuatnya kehilangan cintanya pada mengajar? Tapi suara lain dalam dirinya menolak menyerah.

Semakin hari, tekanan semakin kuat. Guru-guru mulai berbicara di belakangnya, siswa-siswa tampak lebih sering diam saat ia mengajar, dan bahkan kepala sekolah mulai memandangnya dengan sorot mata yang penuh pertimbangan.

Suatu pagi, Raka mendapati sebuah surat tanpa nama di mejanya. Isinya singkat, tetapi cukup untuk membuatnya terhenyak:
Berhenti sekarang sebelum semuanya terlambat.

Raka berdiri di depan kelas, mencoba mengajar seperti biasa. Tapi pikirannya melayang, kalimat-kalimatnya terputus-putus. Siswa-siswa di depannya menatap dengan bingung.

“Pak, apa Bapak baik-baik saja?” tanya seorang murid.

Raka mengangguk cepat, berusaha menguasai diri. Namun, di sudut matanya, ia melihat Farhan berdiri di luar jendela kelas, memperhatikannya dengan ekspresi dingin.

Sore harinya, Raka memutuskan untuk menemui Farhan di rumahnya. Ia mengetuk pintu dengan keras, dan saat Farhan membukanya, Raka langsung berkata, “Kita harus bicara.”

Di ruang tamu yang remang, keduanya duduk dalam diam. Farhan akhirnya menghela napas panjang. “Aku hanya ingin melindungimu, Rak. Kau tahu betapa sulitnya posisi itu. Kau akan terjebak di antara rapat, dokumen, dan politik. Kau akan kehilangan kelas ini, kehilangan apa yang kau cintai.”

“Tapi itu bukan urusanmu, Han,” Raka membalas dengan nada tajam. “Aku tahu risikonya, tapi aku juga tahu aku bisa membuat perubahan.”

Farhan terdiam. Kemudian ia berbicara dengan suara pelan. “Apa kau pernah bertanya pada dirimu sendiri, Raka? Apa yang terjadi jika kau berhenti mengajar? Jika kau kehilangan mereka—siswa-siswamu?”

Kata-kata itu seperti tamparan. Raka teringat pada tawa riang di kelas, pada mata-mata penuh semangat yang menatapnya ketika ia menjelaskan pelajaran. Bagaimana jika ia benar-benar kehilangan semua itu?

Tapi tekadnya sudah terlalu dalam. “Aku tidak akan berhenti, Han. Aku tidak bisa.”

Hari pengumuman tiba. Aula sekolah dipenuhi guru-guru dan staf. Kepala sekolah berdiri di podium, wajahnya netral. “Setelah mempertimbangkan semua kandidat, kami memutuskan bahwa posisi kepala sekolah akan diisi oleh…”

Raka menahan napas. Dunia seolah membeku.

“…Farhan.”

Dunia Raka runtuh. Pandangannya kabur, dan tepuk tangan terdengar jauh, seperti gema dari tempat lain. Farhan menatapnya dari podium, ekspresinya campuran antara kemenangan dan rasa bersalah.

Raka berdiri, meninggalkan aula tanpa sepatah kata.

Di luar, hujan turun deras. Ia berdiri di bawah langit yang kelabu, tangannya mengepal. Pertanyaan itu kembali menghantuinya: Bagaimana jika aku berhenti mengajar?

Namun, untuk pertama kalinya, ia tak punya jawaban. Hanya ada ketidakpastian yang menggantung di udara.

Di lorong sekolah, siswa-siswa masih berlarian. Di ruang kelas, papan tulis penuh dengan coretan pelajaran. Tapi di ruang guru, meja Raka kosong. Pintu terbuka sedikit, dan seorang siswa melongok ke dalam, mencari sosok yang tak lagi ada di sana.

Related Posts
SHARE

Related Posts

Subscribe to get free updates

Posting Komentar

Sticky Note