n1ljWYmZyLaHa1TMPYBBtiqVcQolSr0KLMIOwgVb

Cari Blog Ini

Laporkan Penyalahgunaan

Mengenai Saya

Bayang-Bayang di Balik Senja

Bayang-Bayang di Balik Senja
Di Posting Oleh : PAKNAI
Kategori : Cerita

cerita pendek
 Langit merah tembaga membakar senja di atas desa itu, melukis bayang-bayang panjang di jalanan sempit yang berdebu. Seseorang berdiri di tengah kerumunan pasar yang mulai sepi, tubuhnya tegap seperti panglima perang. Pria itu adalah Darmadi, tokoh yang paling sering didengar namanya beberapa bulan terakhir. Orang-orang berbisik tentangnya, ada yang dengan hormat, ada pula yang dengan nada penuh waspada.

Darmadi membuka mulutnya, suaranya rendah namun tajam, seperti bilah pisau yang menggores pelan.
"Siapa sangka, ya," katanya sambil menunjuk gerobak buah milik Pak Tirta. "Buah-buah ini terlihat segar, tapi siapa tahu berapa banyak pestisida yang disemprotkan?"

Pasar yang hampir lengang mendadak sunyi. Pak Tirta yang tadinya sibuk membereskan lapaknya, membeku. Dia menatap Darmadi dengan mata membelalak, seolah-olah pria itu baru saja memukulnya dengan kata-kata yang lebih keras dari palu. Suara orang-orang mulai berdesir. Seorang ibu menggandeng anaknya menjauh dari gerobak itu, sementara seorang penjual ikan berbisik ke tetangganya.

Darmadi berbalik, menyeringai tipis. Langkahnya melenggang, penuh percaya diri. Dia tidak memandang ke belakang, tidak peduli pada kehancuran yang perlahan ditinggalkannya. Di setiap tempat dia berada, selalu ada cerita yang beredar, dan dia memastikan namanya tetap menjadi pusat pusaran cerita itu.

Namun, langkah kakinya melambat saat melihat seorang pemuda kurus berdiri di sudut jalan, wajahnya setegas batu karang. Pemuda itu, Andri, menatap Darmadi tanpa gentar. Dia menyaksikan semuanya, dari awal hingga akhir, tapi tidak seperti yang lain, dia tidak berpaling. Dalam diam, Andri menyimpan sesuatu yang menyerupai api.

Hari demi hari berlalu, dan nama Darmadi semakin harum di kalangan warga. Dengan gaya bicaranya yang meyakinkan, ia berhasil memposisikan diri sebagai "pengawas moral" desa, seseorang yang katanya peduli pada kepentingan bersama. Namun di balik itu, kebiasaan lamanya terus berlanjut: menuduh, menyindir, bahkan memfitnah siapa saja yang tidak setuju dengannya. Tidak ada yang berani melawannya secara terang-terangan, kecuali Andri.

"Apa sih maumu, Andri?" tanya Darmadi suatu malam, setelah pertemuan warga.
Andri, yang duduk di sudut ruangan, menatapnya tajam. "Kebenaran," jawabnya singkat.

Darmadi tertawa, nada tawanya mencemooh. "Kebenaran? Siapa yang tahu kebenaran di sini? Apa kau yakin mereka akan percaya padamu kalau kau bicara sesuatu yang tidak mereka suka dengar?"

Andri tidak menjawab, tetapi wajahnya cukup menunjukkan bahwa ia tidak akan menyerah.

Seminggu kemudian, Darmadi melancarkan serangan. Di hadapan warga, dia menyebar isu bahwa Andri sering mencuri kayu dari hutan desa untuk dijual ke kota. Tidak ada bukti, tetapi siapa peduli? Warga lebih memilih mempercayai Darmadi, sosok yang mereka anggap memiliki pengaruh besar.

Namun, ada yang berbeda kali ini. Beberapa orang mulai mempertanyakan motif Darmadi, terutama setelah Andri menghilang selama beberapa hari. Rumahnya sepi, pintunya terkunci, dan tidak ada yang tahu ke mana pemuda itu pergi. Di sudut-sudut gelap, bisik-bisik mulai mengalir: "Apa yang sebenarnya Darmadi sembunyikan?"

Malam itu, Darmadi berdiri di aula desa, tempat di mana rapat warga berlangsung. Udara dingin menusuk, tetapi keringat dingin merembes di dahinya. Dia merasa ada yang tidak beres, seperti bayangan gelap yang mengikuti dari belakang. Warga berdiri melingkar, menunggu. Andri, yang menghilang beberapa hari, tiba-tiba muncul dengan membawa sebuah buku catatan lusuh.

"Aku ingin bicara," kata Andri, suaranya datar namun tegas.

Darmadi memaksakan senyum. "Bicara apa? Kau ingin minta maaf atas kesalahanmu?"

Andri melangkah maju, membuka halaman buku itu. "Kesalahan? Bukan aku yang harus minta maaf, Darmadi. Ini buku catatan, penuh dengan bukti. Bukti tentang apa yang sebenarnya kau lakukan selama ini."

Warga terdiam. Mata mereka tertuju pada Andri, sementara Darmadi tampak pucat. Satu demi satu, Andri mulai membacakan isi buku itu. Tentang bagaimana Darmadi memanipulasi warga, menyebar fitnah untuk menyingkirkan orang-orang yang tidak sepaham dengannya, dan bagaimana ia menggunakan pengaruhnya untuk keuntungan pribadi. Ada nama-nama, tanggal, bahkan saksi.

"Darmadi," suara Andri semakin keras, "selama ini kau berpikir kau tidak bisa disentuh. Tapi lihatlah sekarang. Semua tahu siapa dirimu yang sebenarnya."

Warga mulai berbisik, lalu sorakan dan amarah meledak. Darmadi mencoba membela diri, tetapi suaranya tenggelam di tengah hiruk-pikuk. Wajahnya berubah, dari penuh percaya diri menjadi ketakutan. Ia berlari keluar aula, meninggalkan kerumunan yang semakin kacau.

Darmadi berdiri di tepi sungai, napasnya tersengal. Di kejauhan, ia mendengar suara warga yang terus mencari-carinya. Malam semakin gelap, dan dingin semakin menusuk.

Dia menatap bayangannya di permukaan air. Wajah yang dulu dia banggakan kini tampak asing. Di dalam bayangan itu, dia melihat segalanya: ambisi, kebohongan, dan kehancuran yang ditinggalkannya. Tapi tidak ada jalan keluar. Tidak ada tempat untuk lari.

Langkah kaki mendekat, suara mereka semakin jelas. Darmadi mengangkat kepalanya, menatap ke arah gelap di depan. Pilihan ada di tangannya, tetapi jalan mana yang harus ia tempuh?

Malam itu, hanya sungai yang tahu jawabannya.

Related Posts
SHARE

Related Posts

Subscribe to get free updates

Posting Komentar

Sticky Note