Di Posting Oleh : PAKNAI
Kategori : Cerita
Raka menarik napas panjang, mencoba mengusir rasa lelah yang menggantung. Lima belas tahun menjadi guru, dan gaji yang ia terima selalu habis untuk kebutuhan sehari-hari. Tak ada rumah mewah, tak ada mobil baru, hanya kamar sewaan yang sempit dan dingin di pinggiran kota.
Bel sekolah berbunyi. Anak-anak berhamburan keluar kelas, meninggalkan Raka sendirian di ruangan yang tiba-tiba terasa terlalu sunyi. Ia menatap papan tulisnya, rumus-rumus yang ia tuliskan memudar, seperti bayangan ambisi yang pernah ia miliki.
Saat ia membereskan buku-bukunya, pintu kelas berderit. Seorang ibu muda berdiri di sana, wajahnya penuh harap, dengan anak laki-laki kecil yang bersembunyi di balik tubuhnya.
"Pak Raka, saya dengar dari ibu-ibu di depan kalau Bapak membuka les privat," katanya.
Raka mengernyit. Ia tidak pernah menyebutkan hal itu pada siapa pun. Tapi, sebelum ia sempat menjawab, si ibu sudah melanjutkan, "Tolong bantu anak saya. Nilainya selalu di bawah rata-rata. Kami siap membayar berapa pun."
Kata terakhir itu bergaung di kepala Raka. "Berapa pun."
Ia tersenyum kecil, mengangguk, dan menyebutkan angka.
Tiga minggu berlalu. Hari-hari Raka kini penuh oleh jadwal les privat. Orang tua siswa berdatangan ke rumah kontrakannya, membayar dengan uang tunai, tanpa pertanyaan lebih lanjut. Ia mencetak daftar kutipan tambahan dengan stempel palsu yang tampak resmi, meyakinkan setiap orang tua bahwa itu adalah program khusus sekolah.
Uang mengalir. Di sudut lemari pakaian, amplop-amplop tebal berisi lembaran ratusan ribu menumpuk. Raka mulai menikmati kehidupannya yang baru. Ia membeli pakaian bermerek, menyewa apartemen kecil yang lebih nyaman, bahkan sesekali makan malam di restoran mahal.
Namun, rasa gelisah selalu mengikutinya, seperti bayangan yang tak mau hilang. Di sekolah, ia merasa setiap mata guru lain mengawasinya lebih lama dari seharusnya. Di rumah, telepon berdering tanpa henti, suara orang tua yang menuntut hasil, meminta penjelasan tentang program yang mereka ikuti.
Di suatu malam, Raka duduk di meja kecil di ruang tamunya, menatap daftar nama siswa yang ia buat. Ia tahu ini berbahaya, tapi ia tidak bisa berhenti. Uang itu adalah tiketnya keluar dari kehidupan yang selama ini membelenggunya.
Ketukan di pintu mengejutkannya. Ia menyembunyikan daftar itu di bawah buku.
"Pak Raka, maaf malam-malam," ujar seorang pria paruh baya saat pintu terbuka. Ia adalah Pak Hadi, kepala sekolah. Senyumnya lembut, tapi matanya tajam seperti pisau.
"Ada apa, Pak?" Raka berusaha menjaga suaranya tetap tenang.
"Saya dengar banyak orang tua siswa datang ke rumah Anda akhir-akhir ini. Mereka bilang soal program tambahan."
Raka tersenyum tipis. "Oh, itu hanya inisiatif saya untuk membantu siswa yang kesulitan."
Pak Hadi mengangguk, tetapi tidak berkata apa-apa. Ia hanya berdiri di sana, memandangi Raka seperti seseorang yang sedang menunggu jebakan yang telah ia pasang.
Hari itu, hujan deras mengguyur kota. Di ruang guru, Raka duduk dengan tangan gemetar. Pak Hadi telah memanggil rapat mendadak. Ia mengatakan ada hal penting yang harus dibahas bersama semua guru.
Raka tahu waktunya hampir habis.
Ketika semua guru berkumpul, Pak Hadi memulai. "Saya mendapat laporan dari beberapa orang tua tentang kutipan tambahan yang mengatasnamakan sekolah," ujarnya, suaranya tegas. "Mereka menunjukkan bukti berupa kwitansi."
Raka merasakan jantungnya berdegup kencang. Ia menunduk, berpura-pura mencatat sesuatu di buku, berharap tidak ada yang memperhatikan wajahnya yang memerah.
"Siapa pun yang terlibat dalam ini, saya sarankan untuk mengaku sebelum semuanya menjadi lebih rumit," lanjut Pak Hadi, matanya menyapu ruangan.
Hening.
Raka hampir berdiri, tetapi suara di kepalanya menahan. Jika ia mengaku sekarang, semua akan berakhir. Tidak ada jalan kembali.
Namun, sebelum ia bisa memutuskan, pintu ruang guru terbuka. Seorang ibu dengan wajah marah masuk, diikuti oleh anak laki-lakinya. "Pak Hadi, saya ingin kejelasan! Apa benar sekolah mengadakan program les privat ini? Anak saya tidak mengalami peningkatan sama sekali, padahal saya sudah membayar jutaan!"
Mata semua orang tertuju pada ibu itu. Pak Hadi mengerutkan kening. "Saya tidak tahu menahu soal program ini," jawabnya, nada suaranya dingin.
Ibu itu meletakkan kwitansi di meja, tepat di depan Pak Hadi. "Ini ada tanda tangan dan stempel sekolah. Jelaskan ini!"
Pak Hadi mengambil kwitansi itu, memeriksanya dengan saksama. Ia kemudian menatap Raka. "Pak Raka, ini tanda tangan Anda."
Raka membeku. Semua mata di ruangan itu kini mengarah padanya. Hawa di ruangan itu terasa seperti membakar kulitnya.
"Saya... saya hanya mencoba membantu," katanya akhirnya, suaranya hampir tak terdengar.
Pak Hadi berdiri, wajahnya keras seperti batu. "Kita selesaikan ini nanti, Pak Raka. Untuk sementara, Anda dinonaktifkan dari tugas mengajar."
Hujan semakin deras saat Raka berjalan pulang, amplop-amplop uang itu kini terasa lebih berat di dalam tasnya. Di dalam hatinya, ia tahu tidak ada jalan kembali.
Namun, saat ia membuka pintu rumahnya, ia menemukan surat kecil terselip di bawah pintu. Tidak ada pengirim, hanya satu kalimat yang tertulis dengan tinta merah:
"Kebenaran akan selalu menemukan jalannya."
Raka meremas surat itu, menatap ke luar jendela, ke dalam kegelapan. Di sana, cahaya lampu jalan memantul di atas genangan air, berkilauan seperti jebakan yang menunggu langkahnya berikutnya.
Posting Komentar
Posting Komentar