Di Posting Oleh : PAKNAI
Kategori : Cerita
"Dengan dua tangan ini, aku akan selesaikan semuanya," gumamnya lirih, seperti mantra yang dia ulang-ulang agar kekuatannya tak goyah.
Langkah kaki berat terdengar dari arah belakang. Suara bot kuning yang menjejak lumpur. Pak Arman, ayahnya, berdiri di sana dengan wajah dingin. Tangan tuanya menggenggam payung besar, melindungi tubuhnya dari hujan. Tapi bukan itu yang menarik perhatian Ilham. Mata ayahnya, tajam seperti mata elang, menyorot penuh ketidaksukaan.
"Kamu ini keras kepala sekali, Ilham," suara Pak Arman pecah bersama suara petir yang menggelegar. "Kamu sudah dengar apa yang Ayah bilang minggu lalu. Hentikan semua ini."
Ilham berdiri tegak, meski tulang punggungnya mulai gemetar. "Aku tidak mau tinggal di rumah yang Ayah berikan. Aku mau bangun rumahku sendiri. Rumahku, Pak. Dengan caraku."
Pak Arman tertawa kecil, getir. "Rumah itu sudah siap untuk kamu. Tinggal masuk, tinggal hidup. Untuk apa membuang waktu, tenaga, dan uang? Rumah ini tidak akan jadi. Ini hanya..." dia memandang sekitar, memperhatikan kayu yang mulai lapuk dan semen yang bercampur air hujan. "Impian bodoh anak muda."
Ilham mengepalkan tangannya. Hujan membasahi wajahnya, atau mungkin itu air mata. "Kalau Ayah tidak mau mendukung, jangan menghalangi."
Pak Arman mendekat, payungnya menutupi mereka berdua. "Kamu tidak tahu apa yang kamu lakukan. Dunia ini keras. Kamu tidak bisa melawan semuanya sendiri."
"Tapi aku harus mencoba." Ilham melangkah mundur. "Aku tidak mau terus hidup di bawah bayang-bayang Ayah. Aku ingin hidupku sendiri."
Pak Arman menatapnya lama, lalu menghela napas. Dia memutar badan dan berjalan pergi tanpa berkata apa-apa lagi. Tapi langkahnya, berat dan lambat, meninggalkan jejak panjang di lumpur.
Hari-hari berikutnya adalah ujian yang berat. Ilham bekerja di siang hari sebagai buruh konstruksi, lalu malamnya kembali ke bukit untuk membangun rumahnya sendiri. Tangan kasarnya penuh luka, punggungnya seperti selalu membawa beban yang tak terlihat. Tapi dia tidak berhenti.
Semakin dia bekerja, semakin banyak rintangan yang muncul. Tiang kayu yang dia beli ternyata rapuh, atap seng bocor sebelum dipasang, dan batu bata yang dia angkut sendiri dari pasar mulai retak karena cuaca dingin.
"Ini semua kesalahanmu," pikirnya, mengingat wajah Pak Arman. Dia bisa saja menerima rumah itu, bisa saja hidup nyaman di bawah atap yang sudah siap. Tapi bayangan dirinya menjadi orang yang menyerah, yang tunduk pada keinginan ayahnya, lebih menyakitkan daripada apa pun.
Malam itu, dia duduk di tengah kerangka rumah yang belum selesai. Lampu minyak kecil menyala redup di sampingnya. Angin bukit bertiup kencang, membawa suara-suara yang membuat bulu kuduknya meremang.
"Apa aku salah?" bisiknya pada malam, pada bintang-bintang yang tersembunyi di balik awan tebal. Tapi tidak ada jawaban.
Suara langkah kaki terdengar dari arah belakang. Ilham menoleh cepat, tangannya meraih paku yang tergeletak di dekatnya, seolah itu bisa menjadi senjata. Tapi itu hanya Hana, adiknya.
"Kamu pikir aku siapa, hantu?" Hana menatapnya sambil mengibaskan jaketnya yang basah.
Ilham tertawa kecil, meski canggung. "Kenapa kamu ke sini?"
Hana duduk di sebelahnya, memeluk lututnya erat. "Bapak marah besar di rumah. Dia bilang kamu seperti kuda liar yang tidak bisa dijinakkan. Tapi aku pikir, mungkin kamu hanya ingin menjadi dirimu sendiri."
Ilham memandang Hana, matanya mencari sesuatu di sana—pengertian, mungkin.
"Kamu tahu, Ilham," lanjut Hana. "Bapak dulu seperti kamu. Dia bangun rumah pertama kita dengan tangannya sendiri. Rumah itu kecil, bocor, dan dindingnya rapuh. Tapi itu rumah kita. Bapak ingin kamu punya sesuatu yang lebih baik. Dia ingin melindungimu dari kesalahan yang pernah dia buat."
Ilham terdiam lama. Angin dingin menusuk kulitnya. "Kalau begitu, kenapa dia tidak mengerti? Aku ingin melakukan ini karena aku ingin merasakan apa yang dia rasakan. Aku ingin berdiri di atas kakiku sendiri."
"Kadang," kata Hana pelan, "orang tua sulit menerima bahwa anaknya bukan lagi anak kecil."
Esok paginya, Pak Arman datang lagi ke bukit. Tapi kali ini dia tidak berbicara. Dia hanya berdiri, memandang dari kejauhan saat Ilham mencampur semen. Tubuh tua itu terlihat lebih kecil, lebih rapuh.
Hari-hari berlalu, dan Ilham semakin dekat menyelesaikan rumahnya. Tapi dia mulai menyadari sesuatu yang tidak pernah dia pikirkan sebelumnya: keretakan tidak hanya muncul pada dinding yang dia bangun, tapi juga pada hubungannya dengan ayahnya.
Satu malam, hujan deras mengguyur bukit. Ilham berlari keluar dari tenda kecilnya untuk memeriksa rumah yang hampir selesai. Air mengalir deras dari celah-celah atap, menghancurkan campuran semen yang belum mengeras. Dinding kayu yang dia pasang roboh, terbawa arus.
Ilham jatuh berlutut di lumpur. "Kenapa... kenapa selalu begini?" teriaknya, suaranya tenggelam oleh gemuruh hujan.
Cahaya senter mendekat dari arah bawah bukit. Pak Arman muncul, dengan payung yang sama seperti dulu. Dia tidak mengatakan apa-apa, hanya berdiri di sana, menatap keruntuhan itu.
"Ayah puas sekarang?" Ilham berteriak, suaranya pecah. "Ini yang Ayah mau, kan? Rumahku hancur. Aku gagal!"
Pak Arman mendekat, menutup payungnya, dan duduk di sebelah Ilham di tengah lumpur. "Aku tidak pernah mau kamu gagal, Ilham." Suaranya lembut, tapi ada kekuatan di sana.
Ilham menatap ayahnya, bingung. "Kalau begitu kenapa Ayah selalu melarangku?"
Pak Arman menghela napas. "Karena aku tahu rasanya kehilangan sesuatu yang sudah kamu bangun dengan seluruh jiwa. Aku tidak ingin kamu merasakannya. Tapi sekarang aku sadar, kamu perlu ini. Kamu perlu tahu bagaimana rasanya jatuh, supaya kamu bisa berdiri lagi."
Hujan mulai mereda. Ilham menatap reruntuhan itu, lalu ke wajah ayahnya yang basah oleh hujan. Untuk pertama kalinya, dia melihat sesuatu yang berbeda di sana: bukan penolakan, tapi penerimaan.
"Apa Ayah masih mau membantuku?" tanya Ilham pelan.
Pak Arman tersenyum tipis, mengangguk. "Rumah ini rumahmu, Ilham. Mari kita bangun bersama."
Dua minggu kemudian, Ilham dan Pak Arman berdiri di depan rumah baru itu. Tidak besar, tidak sempurna, tapi cukup.
Hana datang membawa termos berisi teh panas, dan mereka bertiga duduk di teras kecil itu, memandang matahari yang perlahan tenggelam di balik bukit.
Ilham tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Mungkin akan ada masalah baru, mungkin akan ada retakan lain yang perlu diperbaiki. Tapi sekarang, untuk pertama kalinya, dia merasa tidak sendirian.
Dan itu cukup.
Posting Komentar
Posting Komentar