n1ljWYmZyLaHa1TMPYBBtiqVcQolSr0KLMIOwgVb

Cari Blog Ini

Laporkan Penyalahgunaan

Mengenai Saya

Batu yang Terlontar

Batu yang Terlontar
Di Posting Oleh : PAKNAI
Kategori : Cerita

cerita pendek
 Angin malam menyelinap lewat celah jendela ruang tamu yang setengah terbuka. Hening. Hanya bunyi jam dinding yang berdetak pelan menemani Arga duduk di sofa tua. Tangannya memegang secarik kertas dengan angka-angka yang seolah menertawainya. Surat penolakan pinjaman dari bank itu terasa lebih berat daripada timbangan realitasnya.

Di seberang ruangan, ayahnya, Raden Wicaksana, berdiri di balik meja kerja besar. Tubuhnya menjulang seperti pohon tua yang tak bisa dirubuhkan. Jari-jarinya menggulung-gulung ujung koran yang sudah lecek.

"Ayah," suara Arga pecah, lebih lemah dari yang ia harapkan. "Aku butuh bantuan."

Raden mengangkat wajah, matanya menyipit, tajam seperti sedang mengukur jarak antara kebenaran dan kebohongan. "Bantuan apa lagi kali ini?"

Arga menelan ludah. Kering. Berat. "Aku ingin punya rumah, Yah. Tapi uangku tidak cukup."

Ruangan itu mendadak seperti dipenuhi udara dingin. Jarak di antara mereka terasa semakin jauh, meskipun hanya dipisahkan oleh beberapa langkah. Ayahnya menghela napas, panjang dan lambat, sebelum akhirnya menjawab.

"Rumah, Arga? Kau bahkan tak bisa mengurus dirimu sendiri dengan benar. Kau pikir ini permainan?"

"Ayah, aku sudah bekerja keras," potong Arga, suaranya memohon. "Tapi ini Jakarta. Segalanya mahal. Kalau Ayah mau membantuku, ini bukan soal kemewahan, ini soal kebutuhan."

Raden menatap anaknya. Tatapan itu bukan penuh kasih seperti yang diharapkan Arga, melainkan sebuah dinding yang tak bisa ditembus. "Rumah adalah tanggung jawab, bukan hadiah. Aku tidak akan memberimu sesuatu yang bahkan kau tak tahu cara menjaganya."

Kata-kata itu jatuh seperti palu yang menghancurkan harapan Arga.

Arga bangkit, menggerakkan tubuhnya yang gemetar ke arah pintu tanpa menoleh lagi. "Baik, kalau begitu," katanya pendek.

Pintu tertutup dengan bunyi lembut, tetapi dampaknya terasa seperti pintu penjara yang mengurung seluruh impian Arga.

Malam itu Arga tak bisa tidur. Apartemen kecilnya berbau pengap, dan matanya hanya terpaku pada langit-langit. Di sudut meja, sebuah buku catatan terbuka, dipenuhi angka dan sketsa kecil rumah yang ia impikan.

"Kalau Ayah tidak mau membantu, aku akan mencari jalan sendiri," gumamnya.

Hari-hari berikutnya, Arga mulai bekerja lebih keras. Pekerjaannya sebagai editor freelance ia gandakan dengan mengambil proyek desain grafis. Jam tidurnya terpangkas. Wajahnya semakin tirus. Setiap malam, ia memandang saldo rekeningnya yang terus merangkak naik, tapi terlalu lambat.

Sementara itu, di rumah besar Raden Wicaksana, suasana juga berubah. Ayahnya kerap termenung lebih lama dari biasanya. Diam-diam, ia memperhatikan anaknya dari jauh melalui obrolan keluarga yang terserak.

Namun, hubungan mereka tetap membeku.

Suatu malam, Arga mendapat kabar tentang sebuah rumah lelang di pinggiran kota. Rumah kecil dengan taman mungil. Ia mendatangi lokasi itu keesokan harinya. Rumahnya sederhana, penuh retakan di dinding dan cat yang mengelupas, tapi di mata Arga, itu adalah impian yang bisa disentuh.

"Kalau aku bisa mendapat rumah ini, aku tak perlu memohon pada Ayah lagi," bisiknya.

Namun, untuk mengikuti lelang, ia membutuhkan uang muka yang besar. Lebih besar dari tabungan yang ia kumpulkan dengan susah payah.

Putus asa, ia mencoba menelepon sahabat lamanya, Rino, meminjam uang. Tapi Rino hanya bisa membantu sebagian kecil.

Arga kembali duduk sendiri di apartemennya, kali ini dengan secarik kertas bertuliskan jumlah yang tak mungkin ia penuhi. Malam itu, rasa cemas menyusup ke dalam dadanya seperti racun yang lambat.

Kemudian muncul ide.

Ia pergi ke rumah ayahnya tengah malam. Rumah itu sunyi, lampu-lampu sudah dimatikan, hanya ada cahaya rembulan yang menerpa jendela-jendela besar.

Arga tahu letak brankas ayahnya. Ia tahu kombinasi kodenya.

Tangannya gemetar saat memutar angka di brankas. Kode terakhir terbuka dengan bunyi klik yang terlalu nyaring di telinganya. Di dalamnya, ada setumpuk uang tunai yang bisa mengubah hidupnya seketika.

Namun, saat ia mengulurkan tangan, suara ayahnya memecah kesunyian.

"Apa yang kau lakukan di sini, Arga?"

Raden berdiri di ambang pintu, wajahnya tidak marah, tetapi penuh kekecewaan. Hanya itu yang membuat Arga lebih hancur daripada jika ayahnya berteriak.

"Aku... Aku hanya..." Arga tak mampu menyelesaikan kalimatnya.

"Apakah ini cara yang kau pilih untuk membuktikan bahwa kau layak memiliki rumah? Dengan mencuri dariku?"

"Ayah tidak mengerti!" bentak Arga. Matanya memerah, dan ia tak bisa lagi menahan air matanya. "Aku sudah mencoba segalanya. Aku hanya ingin hidup yang lebih baik. Aku ingin membuktikan kalau aku bisa menjadi sesuatu!"

Raden berjalan mendekat, langkahnya pelan. "Kau ingin membuktikan sesuatu, tapi kau tak pernah paham apa yang sebenarnya ingin kau buktikan. Rumah bukan sekadar bangunan, Arga. Ini tanggung jawab, pengorbanan. Dan kau harus mendapatkannya dengan cara yang benar."

Arga jatuh berlutut. Ia tak tahu harus berkata apa lagi. Rasa malu dan amarah bercampur menjadi satu.

"Kembalilah ke apartemenmu," kata Raden, suaranya tegas tapi tenang. "Mulailah dari awal. Dan ketika kau siap, aku akan ada di sini, bukan untuk memberimu rumah, tapi untuk memberimu pelajaran bagaimana cara memilikinya."

Arga berdiri, matanya penuh air mata. Ia keluar dari rumah besar itu tanpa membawa apa-apa.

Beberapa bulan berlalu. Arga kembali ke rutinitasnya, bekerja lebih keras, dan belajar mengatur keuangannya. Kali ini, ia tidak lagi memandang rumah sebagai hadiah, tetapi sebagai sesuatu yang harus ia perjuangkan sendiri.

Di suatu pagi yang cerah, ia menerima surat dari seorang kenalan lama, menawarkan kerja sama besar yang bisa menjadi titik balik hidupnya. Arga tersenyum tipis, matanya menerawang jauh, penuh keraguan sekaligus harapan.

Sementara itu, di rumah besar Raden, sang ayah duduk di meja kerjanya, memegang foto lama dirinya saat muda bersama Arga kecil di halaman rumah. Ia tersenyum kecil, penuh kebanggaan yang tak pernah terucap.

Cerita ini berakhir di dua tempat berbeda, namun masa depan mereka masih penuh misteri.

Related Posts
SHARE

Related Posts

Subscribe to get free updates

Posting Komentar

Sticky Note