Di Posting Oleh : PAKNAI
Kategori : Cerita
Desas-desus mulai merebak sejak pagi tadi. Anak-anak menatapnya dengan rasa ingin tahu bercampur ngeri. Beberapa tetangga menutup pintu saat dia lewat, hanya menyisakan suara berderit dari engsel kayu tua. Surya menggenggam tinjunya. Keringat dingin membasahi pelipis, tapi amarah mendidih di dadanya.
Di tengah rasa terasing itu, suara tertawa ringan terdengar di ujung jalan. Tumirah, tetangga sebelah yang selama ini selalu melempar senyum palsu, berdiri dengan tangan terlipat, berbincang dengan Pak Jaya. Mereka melirik Surya sambil cekikikan, seolah puas menikmati pemandangan penderitaannya. Tumirah, pikir Surya. Dia pasti dalangnya.
Surya berjalan cepat melewati mereka tanpa menoleh. Kakinya melangkah ke arah kebun jagung di belakang rumahnya. Kebun itu, warisan satu-satunya dari ayahnya, kini menjadi alasan dia dicap pencuri. Napasnya tercekat melihat tanaman yang tersisa. Daun-daun yang kering, batang yang patah, dan jejak kaki berlumpur yang menjauh ke pagar belakang.
Ada yang menjebaknya. Tapi siapa yang percaya? Di kampung kecil seperti ini, rumor lebih tajam dari bukti.
Malam tiba dengan keheningan yang menyesakkan. Surya duduk di ruang tengah, matanya tertuju pada dinding kayu yang memantulkan bayangan remang lampu minyak. Sesuatu dalam dirinya mendesak untuk bergerak, mencari jawaban sebelum reputasinya hancur total.
Dia mengambil langkah pertama: menyusuri pagar belakang. Cahaya bulan membimbingnya menuju jalur setapak di tepi kebun, tempat jejak kaki yang ditemukannya siang tadi menghilang. Jejak itu menuju ke rumah Tumirah.
Surya berdiri di balik pohon pisang, mengintip dari kejauhan. Jendela rumah Tumirah sedikit terbuka. Dalam gelap, bayangan seseorang melintas di dalamnya. Jantungnya berdegup kencang saat mendengar potongan percakapan samar.
Surya mencengkeram batang pohon, rasa geram menyesaki dadanya. Tapi ini belum cukup. Dia butuh sesuatu yang tak terbantahkan.
Beberapa malam berikutnya, Surya mengamati rumah Tumirah. Gerak-gerik mereka mencurigakan. Kadang-kadang, Tumirah dan laki-laki itu membawa karung besar ke kebun di belakang rumahnya. Rasa penasaran mendorong Surya lebih jauh. Ia menyelinap masuk ke kebun Tumirah saat malam tiba. Tangannya bergetar saat menemukan bekas tanaman jagung yang dicabut paksa, lengkap dengan akar dan tanah yang masih menempel.
Saat sedang memeriksa, langkah kaki mendekat. Surya menahan napas. Tumirah muncul dengan lentera di tangan, wajahnya penuh kecurigaan. Dia bersembunyi di balik rumpun bambu, menahan tubuhnya agar tak bersuara. Tapi Tumirah terlalu dekat. Lentera itu hampir menyinari tempatnya bersembunyi.
Surya meraih batu di dekatnya. Saat Tumirah berbalik, dia melempar batu itu ke arah lain. Suara berdenting membuat Tumirah berlari menjauh, memberi Surya cukup waktu untuk kabur. Namun, rasa takut tak kunjung pergi. Dia tahu Tumirah semakin curiga.
Keesokan paginya, sebuah ide liar muncul di benaknya. Surya memutuskan memasang perangkap. Dia membuat jebakan sederhana di kebunnya sendiri, menyiapkan kamera tua yang disembunyikan di sela-sela semak belukar. Malam itu, dia duduk di ruang tengah, jantungnya berdegup kencang menunggu apa yang akan terjadi.
Tengah malam, suara gemerisik membangunkannya. Surya mengintip melalui celah jendela. Dua bayangan melintas di kebunnya. Tumirah dan laki-laki itu. Mereka membawa karung kosong, bersiap mengambil jagung yang tersisa.
Surya keluar perlahan, berjalan mengendap-endap menuju kebun. Tapi langkahnya berhenti saat mendengar suara lain—langkah kaki yang lebih berat. Dari kejauhan, Pak Jaya muncul, membawa lampu minyak. Tumirah panik, menarik laki-laki itu untuk sembunyi.
Surya menyaksikan semuanya dari balik semak. Kamera yang ia pasang mengambil gambar, merekam momen Tumirah menjatuhkan karung di dekat pagar. Pak Jaya tidak menyadari apa pun dan berlalu pergi.
Ketika Tumirah merasa aman, dia keluar dari persembunyian, mengambil karung itu, dan melanjutkan aksi mereka. Surya tak bisa menahan diri lebih lama. Dia muncul dari bayangan dengan senter menyala. Wajah Tumirah membeku, tapi hanya sebentar. Dia tertawa kecil, mencoba menyembunyikan rasa takut.
"Kamu mau apa, Surya?" katanya sambil melipat tangan. "Mau melapor? Siapa yang akan percaya padamu?"
Pagi itu, Surya membawa hasil rekaman ke kepala desa. Bukti tak terbantahkan. Suara Tumirah meninggi, mencoba menyangkal, tapi kamera tua Surya telah berbicara. Warga yang sebelumnya memandang Surya dengan kebencian kini menatapnya dengan rasa bersalah.
Namun, meski kebenaran telah terungkap, sesuatu di dalam diri Surya tetap terasa kosong. Dia memandang Tumirah yang diam membatu, lalu berbalik tanpa sepatah kata.
Malam itu, Surya kembali ke kebunnya. Ia berdiri di tengah tanaman jagung yang mulai tumbuh kembali. Angin dingin menggoyangkan daun-daun, membawa bisikan yang tak ia pahami.
Dari kejauhan, rumah Tumirah terlihat gelap. Tapi bayangan seseorang di jendela membuatnya terhenti. Apakah itu Tumirah, atau hanya ilusi? Surya tidak tahu pasti. Tapi satu hal yang dia tahu: bayang-bayang itu, entah bagaimana, masih mengikuti.
Posting Komentar
Posting Komentar