Di Posting Oleh : PAKNAI
Kategori : Cerita
Dari kejauhan, terdengar suara kerumunan di balai desa. Rianto tahu apa yang sedang terjadi di sana—namanya disebut-sebut dalam nada penuh amarah dan penghinaan.
“Dia mencuri uang tabungan warga! Pantas hidupnya mendadak lebih baik,” suara itu menyeruak, lantang dan menusuk. Rianto berhenti di bawah pohon mangga yang rimbun. Jantungnya berdegup lebih cepat dari suara hujan. Dia mengenali suara itu, milik Sarwan, tetangga sekaligus rivalnya sejak kecil.
Rianto menggigit bibir, mencoba menenangkan pikirannya. Ia ingin menerjang masuk ke kerumunan, ingin berteriak bahwa ia tak bersalah, tetapi… apa gunanya? Tak ada bukti. Ia hanya memiliki keyakinan bahwa Sarwan adalah dalang di balik fitnah ini.
Dari balik pohon, ia mengintip. Warga berkerumun, wajah mereka dipenuhi kecurigaan dan ketidakpercayaan. Rianto mendengar namanya diseret, reputasinya diinjak-injak. “Dia harus dihukum! Kalau tidak, siapa yang bisa menjamin keamanan kita?” teriak Sarwan lagi, menghasut warga.
Rianto meremas ujung kain sarungnya. Tubuhnya gemetar, bukan hanya karena dingin, tapi karena perasaan terperangkap. Hujan terus mengguyur, seolah-olah langit sedang menertawakan nasibnya.
Dia tidak bisa diam. Kalau dia tidak bergerak sekarang, dia akan kehilangan segalanya—kehormatannya, keluarganya, bahkan hidupnya di kampung ini. Tapi apa yang bisa dia lakukan? Bagaimana dia membuktikan sesuatu yang tidak dia lakukan?
Malam merayap pelan, membawa bayangan kelam ke setiap sudut kampung. Rianto duduk di bale-bale rumahnya yang kecil. Istrinya, Lila, hanya menatapnya dari dapur tanpa berani berkata apa-apa. Di sudut ruangan, anak mereka, Widi, terlelap dengan napas teratur.
Rianto tahu bahwa waktu terus berjalan. Dia harus mencari bukti. Pikirannya berkecamuk, mengulang-ulang kejadian beberapa minggu terakhir. Dia mengingat bagaimana Sarwan mulai bersikap manis kepada beberapa warga, bagaimana Sarwan tiba-tiba sering datang ke rumah Pak Kadus, bagaimana wajahnya terlihat puas saat fitnah itu mulai menyebar.
Rianto memutuskan. Dia harus mengawasi Sarwan. Dia harus menemukan sesuatu yang bisa membuktikan bahwa Sarwan adalah pelaku sebenarnya.
Malam itu, saat kampung mulai sepi, Rianto menyelinap keluar. Langkahnya hati-hati, setiap bunyi ranting yang patah membuatnya melirik ke kanan dan kiri. Hujan sudah reda, tetapi tanah masih basah dan licin.
Rumah Sarwan berada di ujung kampung, dikelilingi oleh pepohonan pisang yang lebat. Rianto berjongkok di balik semak, mengamati. Dari celah-celah dinding bambu, dia melihat Sarwan duduk di depan meja, berbicara dengan seseorang. Wajah orang itu tidak jelas, tertutup bayangan.
“Malam ini, kita selesaikan semuanya,” kata Sarwan, suaranya terdengar pelan namun jelas.
Rianto menahan napas. Selesaikan? Apa maksudnya? Dia ingin mendekat, tapi langkahnya terhenti ketika Sarwan berdiri dan menuju pintu.
Rianto terpaksa mundur, berlindung di balik pohon. Sarwan dan orang itu keluar, membawa kantong hitam yang besar. Mereka berjalan menuju sungai. Rianto mengikuti mereka dari kejauhan, matanya terus mengamati gerak-gerik mereka.
Sesampainya di tepi sungai, Sarwan membuka kantong itu dan mengeluarkan sesuatu—tumpukan uang yang dibungkus rapi dalam plastik.
“Ini bagianmu. Sisanya nanti setelah semua selesai,” kata Sarwan sambil menyerahkan plastik itu kepada orang tersebut.
Rianto mencengkeram dahan di sebelahnya. Tangannya gemetar. Itu uang tabungan warga!
Namun, sebelum dia bisa melakukan apa pun, seekor burung hantu terbang rendah, mengepakkan sayapnya dengan suara keras. Sarwan menoleh tajam ke arah semak tempat Rianto bersembunyi.
“Siapa di sana?” Sarwan berseru, suaranya penuh kecurigaan.
Rianto menahan napas, berharap kegelapan malam cukup untuk menyembunyikannya. Tetapi Sarwan terus mendekat.
Pagi datang dengan cepat, membawa awan mendung yang masih menggantung di langit. Rianto berdiri di depan balai desa, di tengah kerumunan warga yang kembali berkumpul. Mereka memandangnya dengan tatapan penuh kecurigaan.
“Kenapa kau datang kemari, Rianto? Masih ingin berkelit?” suara Sarwan terdengar dari belakang kerumunan.
Rianto melangkah maju. “Aku tidak mencuri uang kalian,” katanya tegas, meski suaranya sedikit bergetar.
Sarwan tertawa kecil. “Bicara itu mudah. Mana buktinya?”
Rianto menatap wajah-wajah di depannya. Dia tahu mereka tidak percaya padanya. Tetapi dia juga tahu dia tidak bisa mundur sekarang.
“Aku melihat Sarwan semalam, di sungai,” Rianto berkata, suaranya lebih keras. “Dia menyerahkan uang tabungan kita kepada seseorang. Uang itu masih ada di kantong hitam yang dia sembunyikan di rumahnya!”
Kerumunan bergumam, sebagian mulai berbisik-bisik.
Sarwan melangkah maju, wajahnya merah. “Fitnah! Kau ingin membalas dendam karena kau tahu kau tertangkap basah!”
Rianto menatapnya tajam. “Kalau begitu, biarkan warga memeriksa rumahmu. Kalau aku salah, aku akan pergi dari kampung ini untuk selamanya.”
Kata-kata itu membuat kerumunan terdiam. Rianto bisa merasakan jantungnya berdetak kencang, tetapi dia tidak menunjukkan rasa takut. Dia tahu ini adalah satu-satunya cara untuk membuktikan kebenarannya.
Setelah beberapa saat hening, Pak Kadus akhirnya angkat bicara. “Baik. Kalau memang ini satu-satunya cara untuk menemukan kebenaran, kita akan memeriksa rumah Sarwan.”
Sarwan mundur selangkah. “Ini tidak adil! Kalian tidak punya hak—”
“Tapi kau juga menuduh Rianto tanpa bukti,” potong Pak Kadus dengan tegas.
Warga mulai bergerak menuju rumah Sarwan, dengan Rianto dan Pak Kadus memimpin di depan. Sarwan terlihat gelisah, keringat mengalir di pelipisnya meski udara pagi terasa dingin.
Sesampainya di rumah Sarwan, warga langsung menggeledah. Tidak butuh waktu lama sebelum mereka menemukan kantong hitam yang dimaksud Rianto. Ketika kantong itu dibuka, uang tabungan warga tersimpan rapi di dalamnya.
Kerumunan menjadi riuh. Warga mulai menatap Sarwan dengan amarah.
Namun, sebelum siapa pun bisa bereaksi lebih jauh, Sarwan meraih parang dari dinding rumahnya. “Jangan ada yang mendekat!” teriaknya, matanya liar.
Warga mundur dengan ketakutan. Rianto berdiri di depan, tubuhnya tegang.
“Apa yang kau lakukan, Sarwan?” tanya Rianto, suaranya tenang namun tegas.
Sarwan mengayunkan parangnya ke udara. “Kalian tidak akan mengerti! Aku melakukan ini karena aku harus! Aku—”
Kalimatnya terputus oleh langkah berat polisi yang tiba-tiba muncul di depan pintu. Rupanya, Pak Kadus diam-diam memanggil mereka sebelum ke rumah Sarwan.
Sarwan akhirnya menyerah, wajahnya pucat saat borgol diklikkan di pergelangan tangannya.
Rianto berdiri diam, melihat semua itu dengan perasaan campur aduk. Dia telah membuktikan dirinya, tetapi kenangan fitnah itu akan terus menghantui.
Langit mendung pecah, dan hujan mulai turun lagi. Rianto melangkah keluar rumah Sarwan, membiarkan tetesan hujan membasahi wajahnya. Di kejauhan, Widi berlari kecil menghampirinya dengan senyum lega.
Tapi dalam hati, Rianto tahu. Ketidakpercayaan bisa saja kembali kapan saja. Hanya waktu yang akan membuktikan apakah namanya benar-benar bersih.
Posting Komentar
Posting Komentar