Di Posting Oleh : PAKNAI
Kategori : Cerita
Bapak berjalan perlahan mendekat, langkahnya terukur. Di belakangnya, tirai jendela berkibar, seolah memperlihatkan udara dingin yang baru saja menyusup masuk.
“Jangan pura-pura tidak tahu,” katanya sambil menunjuk laci kayu kecil di sudut ruangan. “Aku lihat kau di sana tadi malam. Laci itu kosong sekarang.”
Aku menelan ludah. Laci itu memang tempat biasa Bapak menyimpan uang kecil—uang untuk membeli rokok, kadang untuk bensin. Aku ingat melihatnya semalam, tapi hanya sekilas, tanpa menyentuh apa pun.
“Bapak pikir aku mencuri?” tanyaku pelan, hampir berbisik.
Dia tidak menjawab. Hanya tatapan matanya yang mengeras, sebuah keputusan yang sudah bulat. Aku tahu apa yang dia pikirkan: aku adalah anak yang pulang terlambat setiap malam, membawa tawa dan kebisingan dari teman-teman yang hanya dia dengar lewat pagar rumah.
“Aku tidak melakukannya,” aku mencoba bertahan, suaraku retak seperti kaca.
Namun, dia tidak bergerak. Rasa dingin menyusup ke tulang, membuatku berpikir bahwa Bapak benar-benar percaya aku mencuri uang itu.
“Tapi aku tidak akan laporkan ini ke polisi,” ucapnya tiba-tiba, datar, tajam. “Kamu adalah darah dagingku.”
Aku tertegun. Kata-katanya membungkam udara di ruangan. Bukan rasa lega yang muncul, tapi kecemasan yang semakin dalam. Apa yang sebenarnya dia rencanakan?
Malam itu, hujan turun dengan suara kecil seperti bisikan rahasia. Aku duduk di kamar, mencoba menenangkan diri. Tuduhan Bapak menggantung seperti kabut, menutupi segala yang biasa terasa jelas.
Pagi harinya, aku mendapati sesuatu yang ganjil. Di meja makan, sebuah amplop cokelat tergeletak, sedikit terbuka. Di dalamnya, aku melihat uang pecahan seratus ribu. Jumlahnya banyak.
Bapak duduk di kursi, membaca koran. Tapi, tatapannya tidak fokus. Dia seolah menunggu.
“Itu apa?” tanyaku, mencoba tidak terdengar gugup.
“Uang,” jawabnya tanpa berpaling.
“Dari mana?”
Dia hanya mengangkat bahu. Ada jeda panjang sebelum dia berbicara lagi. “Kalau kau mencurinya, jangan sampai aku tahu.”
Kalimat itu seperti jebakan. Rasanya seperti tangga yang licin—semakin aku mencoba bertanya, semakin aku tergelincir.
Aku memilih diam, tapi pikiranku tidak berhenti bekerja. Amplop itu seperti bom waktu, siap meledak kapan saja. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya diinginkan Bapak. Apakah dia benar-benar percaya aku mencuri? Atau ini adalah cara untuk memancing sesuatu yang lain?
Hari-hari berikutnya, keadaan menjadi semakin aneh. Amplop itu tetap di meja makan, tidak tersentuh. Bapak tidak pernah menyinggungnya lagi, tapi setiap kali aku melewati ruang makan, aku merasa dia sedang mengawasi, menunggu langkahku.
Satu malam, aku mendengar langkahnya di depan pintu kamarku. Suara napasnya terdengar berat, lalu dia mengetuk pintu.
“Raka,” suaranya bergetar.
Aku membuka pintu perlahan. Wajahnya terlihat lebih tua dari biasanya.
“Kalau ada yang ingin kau ceritakan, katakan saja. Aku tidak akan marah.”
Aku ingin mengatakan sesuatu, tapi lidahku kelu. Apa yang bisa aku katakan? Dia sudah memutuskan aku bersalah, meski aku tidak tahu apa yang sebenarnya dia cari.
Malam itu, amplop itu menghilang. Aku menemukannya di laci kayu kecil yang kosong sebelumnya. Uang di dalamnya masih utuh, tapi ada sesuatu yang berbeda—di sudut amplop, ada catatan kecil tertulis dengan tangan Bapak.
“Kejujuran tidak butuh saksi.”
Aku memegang amplop itu erat. Kata-kata itu menusuk, seperti dia sedang berbicara langsung ke hati kecilku. Aku keluar dari kamar, mencari Bapak.
Dia sedang duduk di teras, merokok dengan pandangan kosong ke arah langit malam.
“Kenapa, Pak?” tanyaku akhirnya.
“Kenapa apa?”
“Kenapa Bapak melakukan semua ini?”
Dia menghela napas panjang, lalu membuang puntung rokoknya. “Kadang, aku hanya ingin tahu sejauh mana kau berani. Seberapa kuat kau menjaga apa yang benar.”
Aku terdiam. Kata-katanya seperti teka-teki yang tidak pernah bisa selesai. Aku ingin marah, ingin membantah, tapi sesuatu di dalam diriku tahu bahwa ini bukan tentang uang. Ini tentang kepercayaan. Tentang bagaimana aku dan dia berbicara tanpa suara.
“Lalu, Bapak percaya padaku?” aku akhirnya bertanya.
Dia hanya tersenyum samar, lalu berdiri, berjalan masuk ke dalam rumah tanpa menjawab.
Aku berdiri di sana, memandang langit yang perlahan cerah. Tidak ada jawaban yang benar-benar jelas, tapi aku tahu satu hal: ujian ini belum berakhir.
Amplop itu tetap ada di laci, tak tersentuh. Aku tidak pernah tahu apakah uang itu milik Bapak, atau hanya alat untuk menguji aku. Tapi satu hal yang pasti, hubungan kami seperti benang yang semakin rumit—terjalin, namun penuh simpul yang tidak pernah terurai.
Posting Komentar
Posting Komentar