Di Posting Oleh : PAKNAI
Kategori : Cerita
Hujan baru saja reda, meninggalkan jejak genangan di pinggir jalan yang memantulkan sinar matahari sore. Wawan melirik jam tangannya, angka-angka digital itu menunjukkan pukul 15.45. Di sebelahnya, Raka, anak semata wayangnya yang berusia delapan tahun, mengayunkan tas ransel kecil bergambar robot kesayangannya sambil bersenandung pelan.
“Nanti kita makan bakso di taman ya, Pa?” suara Raka terdengar riang, penuh harapan.
Wawan tersenyum tipis, mengusap kepala anaknya dengan tangan yang kasar karena kerja keras. “Tentu. Tapi kamu harus janji habiskan ya, jangan kayak kemarin.”
Raka mengangguk mantap. Kakinya berjingkat, menghindari genangan air kecil di trotoar. Tapi langkah Wawan melambat, handphone di saku celananya bergetar dua kali. Notifikasi yang dibencinya.
Ditariknya perangkat itu dengan enggan, membaca pesan singkat dari Pak Herman, bosnya di kantor.
“Ada masalah dengan laporan tender. Segera ke kantor. Penting.”
Genggaman Wawan di ponsel mengencang. Sebuah desakan yang dingin merayap di tengkuknya. Matanya melirik Raka yang kini tengah sibuk menyeimbangkan ranting kayu di atas genangan air. Napasnya terasa berat.
“Raka…” suara Wawan pelan, hampir teredam oleh suara angin yang berembus. “Papa baru dapat pesan dari kantor. Ada pekerjaan mendadak.”
Anak itu menoleh cepat, alisnya berkerut. “Tapi kan Papa janji. Kita mau ke taman,” ujarnya, suaranya setengah protes.
Wawan menggigit bibir, menimbang antara dua pilihan yang menghantui pikirannya. Dia tahu Pak Herman tak akan menerima alasan apapun, terutama di tengah proyek besar seperti ini. Namun, tatapan Raka seolah menghujamnya lebih dalam daripada amarah bosnya.
“Oke, dengar,” kata Wawan, mencoba mengatur nada suaranya agar terdengar mantap. “Kita ke taman. Tapi Papa harus bawa laptop. Kalau ada apa-apa, Papa kerja sebentar ya. Setuju?”
Wajah Raka langsung bersinar, tanpa peduli pada embel-embel syarat yang Wawan tambahkan. Dia meraih tangan ayahnya, menariknya maju. “Ayo, Pa! Keburu sore!”
Di taman, riuh suara anak-anak bermain mengiringi langkah mereka. Sebuah bangku kayu di bawah pohon rindang menjadi tempat Wawan meletakkan laptopnya. Sementara itu, Raka sudah berlari ke arah perosotan tanpa menoleh lagi.
Wawan membuka laptop dengan gerakan lambat. Jari-jarinya mengetik beberapa baris angka pada dokumen yang tampak rumit. Namun, pikirannya tak sepenuhnya berada di layar. Pandangannya terus melirik ke arah Raka, memastikan anak itu tak jauh dari pandangan.
Pesan dari Pak Herman terus masuk, satu per satu, seperti aliran air yang sulit dibendung.
“Ini belum lengkap. Cek halaman 12.”
“Grafiknya salah. Ubah sekarang.”
Keringat mulai mengalir di pelipis Wawan meskipun angin sore cukup sejuk. Dia menyesali keputusannya membawa laptop. Setiap pesan yang masuk menambah beban di dadanya. Namun, ketika ia menoleh ke arah Raka yang kini tertawa riang sambil berlari mengejar bola, ada secercah lega yang menguatkan hatinya.
“Setidaknya dia senang,” gumamnya pada diri sendiri.
Tapi kebahagiaan itu hanya bertahan sebentar. Sebuah notifikasi video call muncul di layar laptop. Nama Pak Herman terpampang besar di sana.
“Astaga…” Wawan bergumam, menelan ludah.
Dia menjawab panggilan itu dengan suara pelan, mencoba menutupi keramaian di sekitarnya. Wajah Pak Herman muncul di layar, kaku dan tegas seperti biasa.
“Wawan, saya butuh file itu sekarang. Ini penting. Jangan buang waktu.”
“Baik, Pak. Saya sedang mengerjakannya,” jawab Wawan, berusaha tenang.
Namun, suara Raka yang tiba-tiba memanggil, “Papa, lihat aku!” membuat Pak Herman menghentikan pembicaraan. Wajahnya mengeras.
“Kamu di mana, Wawan?” tanyanya, nadanya penuh curiga.
Wawan terdiam sejenak. “Di luar, Pak. Saya sedang bersama anak saya. Tapi saya pastikan pekerjaan selesai tepat waktu.”
Pak Herman mendengus. “Fokus, Wawan. Jangan ada alasan.”
Panggilan berakhir dengan nada dingin. Wawan mengusap wajahnya dengan kedua tangan, merasakan berat yang semakin menekan. Dia tahu, satu kesalahan saja bisa membuatnya kehilangan pekerjaan ini.
Langit mulai berubah warna menjadi oranye keemasan ketika Raka kembali berlari ke arah ayahnya. Wajahnya merah karena lelah, tapi senyumnya tetap lebar.
“Papa, lihat! Aku dapat daun besar ini!” katanya, menunjukkan sehelai daun yang hampir sebesar wajahnya.
Wawan mengangguk, mencoba tersenyum meskipun pikirannya kacau. “Bagus, Nak. Taruh di tasmu ya.”
Namun, saat Raka berbalik untuk kembali bermain, tiba-tiba terdengar suara keras dari arah jalan. Bunyi benturan logam yang tajam memecah suasana taman yang semula damai. Orang-orang berhenti bergerak, menoleh ke arah sumber suara. Sebuah mobil melaju kencang, mengerem mendadak di dekat zebra cross.
Wawan berdiri spontan, mencari sosok Raka di tengah keramaian. Tapi anak itu tak terlihat. Kepanikannya meningkat.
“Raka! Raka!” teriaknya, suaranya nyaris pecah.
Dia berlari ke arah perosotan, tempat terakhir dia melihat anaknya. Tapi tidak ada siapa-siapa di sana. Keringat dingin membanjiri tubuhnya, dadanya sesak seolah dunia berhenti berputar.
“Papa di sini, Nak! Jawab Papa!”
Di tengah hiruk-pikuk taman, Wawan menangkap suara kecil yang memanggil dari jauh. Dia menoleh cepat. Di pinggir jalan, Raka berdiri, tangannya memegang bola yang tadi dikejarnya. Wajahnya terlihat bingung, tapi tak terluka.
Wawan berlari ke arahnya, jantungnya berdegup kencang. Dia memeluk Raka erat-erat, tak peduli pada pandangan orang-orang di sekitarnya.
“Kamu nggak apa-apa? Kamu nggak terluka?” tanyanya berulang kali, memeriksa tubuh kecil itu dengan cemas.
Raka menggeleng. “Aku cuma ambil bolanya, Pa. Aku nggak apa-apa kok.”
Namun, saat Wawan menghela napas lega, handphonenya kembali bergetar. Kali ini sebuah pesan panjang dari Pak Herman.
“Wawan, saya kecewa. Kalau laporan ini terlambat, kita kehilangan tender. Kamu tahu risikonya.”
Wawan menatap layar itu dengan perasaan bercampur aduk. Tiba-tiba, semua terasa tak seimbang. Antara tanggung jawab pada pekerjaan dan cintanya pada Raka, dia merasa seperti ditarik dari dua arah yang berlawanan.
Matahari hampir tenggelam sepenuhnya, menyisakan langit yang mulai gelap. Wawan menggandeng tangan Raka erat-erat, membawanya kembali ke bangku tempat laptopnya tergeletak. Namun, dia tak segera membuka perangkat itu. Dia hanya duduk diam, memandangi layar kosong sambil menggenggam tangan anaknya.
“Papa kenapa?” tanya Raka, suaranya polos.
Wawan menarik napas panjang. “Papa harus kerja, Nak. Tapi… Papa nggak mau kamu kenapa-napa. Tadi Papa takut sekali.”
Raka menunduk, memainkan ujung kaosnya. “Aku nggak apa-apa, Pa. Aku janji nggak lari jauh lagi.”
Wawan tersenyum kecil, meski hatinya masih dipenuhi rasa bersalah. Dia tahu, pekerjaannya penting. Tapi detik-detik saat dia kehilangan pandangan terhadap Raka tadi terasa seperti neraka. Tidak ada proyek yang lebih berharga daripada anaknya.
Dengan tangan yang gemetar, dia mengetik pesan balasan kepada Pak Herman.
“Pak, saya mohon maaf. Laporan ini akan saya selesaikan malam ini, dari rumah. Saat ini, saya harus bersama anak saya.”
Dia menekan tombol ‘kirim’ tanpa berpikir panjang. Beban di dadanya seolah terangkat, meskipun ia tahu konsekuensinya mungkin berat. Tapi Wawan yakin dengan keputusannya.
“Raka, ayo pulang. Kita bisa makan bakso di rumah sambil nonton film,” katanya.
Anak itu mengangguk antusias, tanpa tahu bahwa ayahnya baru saja membuat keputusan besar.
Mereka berjalan pulang bersama, meninggalkan taman yang kini mulai sepi. Di belakang mereka, suara notifikasi handphone Wawan terus berbunyi, tapi dia memilih untuk mengabaikannya. Dunia terus bergerak, namun malam itu, prioritasnya hanya satu: kebahagiaan Raka.
Posting Komentar
Posting Komentar