n1ljWYmZyLaHa1TMPYBBtiqVcQolSr0KLMIOwgVb

Cari Blog Ini

Laporkan Penyalahgunaan

Mengenai Saya

Sisa-Sisa Imajinasi

Sisa-Sisa Imajinasi
Di Posting Oleh : PAKNAI
Kategori : Cerita

cerpen

Malam sudah larut. Hujan mengetuk-ngetuk kaca jendela kamar Rafie, menambah sunyi yang enggan beranjak dari sudut ruang sempitnya. Cahaya kuning dari lampu meja menyorot kertas kosong di hadapannya, seolah menantangnya untuk menorehkan sesuatu.

Ia menggerakkan pena, mencoret satu kalimat. Membacanya lagi. Mengernyit. Menyelipkan ujung bolpoin di sela gigi, lalu menghapus tulisan itu dengan gerakan kasar. Kertas lain di sekitarnya sudah penuh dengan goresan tak beraturan, seperti luka yang gagal sembuh.

Rafie meremas rambutnya sendiri.

"Apa yang salah?" gumamnya.

Pikirannya terasa buntu. Kata-kata berlarian dalam benaknya, tapi tak satu pun yang mau menetap. Ia ingin menulis sesuatu yang berarti, sesuatu yang bisa membuat pembacanya terhanyut. Namun, ia selalu terhenti di tengah jalan, seperti mobil mogok yang kehilangan bahan bakar.

Mungkin ia tidak berbakat.

Tidak, itu bukan alasannya. Rafie tahu cara menulis. Ia sudah membaca banyak buku, memahami struktur cerita, dan belajar tentang teknik sastra. Tapi ada satu hal yang menghambatnya: imajinasi.

Ia tak mampu membayangkan dunia yang unik, karakter yang hidup, atau konflik yang menggigit. Setiap kali mencoba menciptakan sesuatu, hasilnya terasa hambar, seperti kopi tanpa gula.

Ponselnya bergetar. Sebuah pesan dari Bayu, temannya yang juga seorang penulis.

Bayu: Nulis apa hari ini?

Rafie: Sampah. Seperti biasa.

Bayu: Yah, lebih baik sampah daripada enggak nulis sama sekali.

Rafie mendengus.

Ia bangkit dari kursi, membuka lemari, lalu mengambil sebuah buku usang. Di dalamnya ada catatan kecil dari ibunya sebelum meninggal:

"Menulis bukan soal imajinasi, Rafie. Menulis adalah soal bertahan."

Ia menatap tulisan itu lama, sebelum kembali duduk.

Lalu ia mulai menulis lagi.

Keesokan harinya, Rafie duduk di kafe bersama Bayu. Di atas meja, ada dua cangkir kopi yang mulai mendingin dan satu laptop yang layarnya penuh dengan kalimat setengah jadi.

"Kau selalu menulis, tapi selalu merasa gagal," kata Bayu, mengaduk kopinya malas. "Kenapa masih bertahan?"

"Aku nggak tahu," Rafie menghela napas. "Mungkin karena aku nggak bisa berhenti."

Bayu tertawa kecil. "Aku heran, kau selalu mengeluh nggak punya imajinasi, tapi kau tetap menulis. Seolah-olah ada sesuatu yang menggerakkan tanganmu meski kepalamu kosong."

Rafie diam. Ia tak bisa menjawab.

Bayu menyandarkan tubuh. "Apa yang sebenarnya kau cari dalam menulis?"

Rafie mengalihkan pandangan ke luar jendela. Orang-orang berjalan dengan tergesa, mobil-mobil berderet di lampu merah. Di dalam kepala Rafie, tak ada suara. Tak ada cerita. Hanya kesunyian.

"Entahlah," katanya akhirnya.

Bayu tersenyum miring. "Mungkin karena kau bukan sedang menulis cerita, tapi sedang menulis dirimu sendiri."

Rafie terdiam.

Malam itu, ia menulis sesuatu yang berbeda. Ia tidak berusaha menciptakan dunia yang baru atau karakter yang menarik. Ia hanya menuliskan perasaannya sendiri—tentang ketidakmampuannya, tentang kebuntuannya, tentang kecemasannya.

Dan entah bagaimana, tulisan itu terasa jujur.

Ketika ia membacanya ulang, sesuatu di dalam dirinya bergetar.

Tapi masih ada yang mengganggu.

"Kalau menulis bukan soal imajinasi, lalu apa?" tanyanya pada diri sendiri.

Ia tidak tahu jawabannya.

Dua minggu kemudian, Rafie mendapati sesuatu yang mengejutkan.

Sebuah cerita pendek yang ia kirimkan ke kompetisi sastra—sebuah cerita yang ia tulis dengan jujur tanpa berusaha menjadi "kreatif"—menjadi finalis.

Ia membaca ulang cerita itu. Tidak ada dunia fantasi, tidak ada tokoh yang eksentrik, tidak ada plot yang mengejutkan. Itu hanya kisah tentang seorang pemuda yang merasa tersesat dalam hidupnya, yang menulis meski tidak tahu alasannya.

Ia menang bukan karena imajinasi, tetapi karena kejujuran.

"Apa aku selalu berpikir salah selama ini?" gumamnya.

Bayu tertawa saat mendengar kabar itu. "Kau ingin jadi penulis dengan imajinasi liar, tapi kau malah menang karena menulis sesuatu yang nyata. Ironis, ya?"

Rafie tersenyum samar.

Ia akhirnya mengerti.

Menulis bukan hanya soal imajinasi. Menulis adalah soal bertahan, soal mencari arti dalam kekosongan, soal menemukan diri sendiri di antara kata-kata yang berantakan.

Di dalam ruangan kecilnya yang sunyi, Rafie kembali duduk di depan meja.

Di hadapannya, kertas kosong menunggu.

Ia mengangkat pena.

Lalu ia mulai menulis.

"Kalau menulis bukan soal imajinasi, lalu apa?"

Related Posts
SHARE
Terbaru Lebih lama

Related Posts

Subscribe to get free updates

Posting Komentar

Sticky Note