Di Posting Oleh : PAKNAI
Kategori : Cerita
Di ujung gang, sebuah posko dengan papan nama bertuliskan “Program Bantuan Sosial Warga Pra-Sejahtera” berdiri. Suara gaduh warga yang mengantre terdengar riuh, seperti bisikan keras yang membuat telinganya panas. Semakin dekat ia melangkah, semakin berat tubuhnya, seolah-olah kaki sendiri menolak maju.
"Pak, jangan pergi."
Suara itu memanggil dari belakang. Ia berbalik. Siti, anak perempuannya yang masih remaja, berdiri memeluk adiknya, Rahman, yang baru berusia lima tahun. Napas mereka tersengal. Wajah Siti tegang, matanya memancarkan kemarahan yang hanya bisa lahir dari rasa cemas.
"Sudah kubilang, biar saja, Pak! Kita masih punya beras di rumah. Jangan seperti ini," ucap Siti dengan nada mendesak. Tangannya gemetar, meskipun ia berusaha menyembunyikannya.
Pak Raji menarik napas dalam-dalam, menyembunyikan kebimbangannya di balik wajah yang ia paksa tenang. "Beras kita tinggal secangkir, Siti," jawabnya, suaranya rendah, hampir tak terdengar. Ia tahu ini akan menjadi debat panjang, seperti pagi tadi sebelum ia keluar rumah.
"Tapi kalau orang-orang tahu? Kalau mereka lihat Bapak mengantre di sini?" Siti mendekat, berbisik keras. Ia menatap tajam ke arah surat di tangan ayahnya. "Apa mereka nggak bakal ngomong di belakang kita? Rahman bisa diejek teman-temannya nanti!"
Pak Raji meremas kertas itu, kepalanya tertunduk. "Siti, ini untuk kita makan, bukan buat mereka." Namun kata-katanya kehilangan kekuatan, tenggelam di antara keraguannya sendiri.
Langit di atas posko makin mendung, dan suara petir samar terdengar di kejauhan. Antrian semakin panjang. Beberapa orang saling mendorong, wajah-wajah penuh harap berubah kesal setiap kali petugas keluar membawa daftar nama penerima.
Pak Raji berdiri di tepi jalan, hanya beberapa langkah dari kerumunan itu. Jari-jarinya berkeringat, menggenggam surat lusuh yang terasa berat seperti batu. Ia belum berani bergabung.
Siti dan Rahman duduk di bangku kayu di belakangnya. Rahman mulai menangis, mengeluh lapar. Siti sibuk menenangkannya, meski pandangannya sesekali menusuk punggung ayahnya. "Pak, pulang aja. Kita masak apa yang ada dulu. Masih ada singkong," katanya, setengah berbisik.
Pak Raji diam. Ia memejamkan mata, mencoba menepis kata-kata Siti yang menusuk logikanya. Singkong? Singkong tinggal tiga biji kecil di dapur. Itu bahkan tak cukup untuk Rahman sendirian.
Tiba-tiba suara teriakan dari depan posko memecah lamunannya. Seorang ibu mengamuk, memprotes karena namanya tidak ada di daftar penerima. Petugas mencoba menenangkannya, namun perempuan itu tidak mau berhenti. "Kalau nggak dapat, anak-anakku makan apa?! Saya udah tiga hari nggak masak nasi!" jeritnya, suaranya bergetar antara marah dan putus asa.
Pak Raji menggigit bibir, dan tangannya mulai bergerak maju. Namun langkahnya tertahan oleh sebuah sentuhan kecil. Rahman menarik ujung bajunya. Mata bocah itu berkaca-kaca, tangannya mengusap perutnya. "Pak... lapar..." bisiknya, dengan suara lirih yang langsung menghantam dada Pak Raji.
"Siti..." bisik Pak Raji, tanpa menoleh. "Bapak nggak bisa pulang begitu saja." Ia melangkah perlahan, meninggalkan anak-anaknya.
"Pak!" teriak Siti, tapi suaranya tertelan oleh hiruk-pikuk kerumunan. Ia meraih tangan Rahman, mendekapnya erat, dan hanya bisa memandang punggung ayahnya yang semakin jauh.
Di dalam posko, bau keringat dan kelelahan bercampur dengan udara lembab. Pak Raji berdiri di barisan paling belakang, menundukkan kepala. Surat lusuh di tangannya kini terlipat begitu kecil hingga hanya sebesar kotak korek api. Ia tidak berani menatap siapa pun, bahkan saat ia merasa pandangan-pandangan tajam tertuju padanya.
"Raji, ya?"
Ia terkejut mendengar namanya dipanggil. Seorang petugas perempuan, mengenakan rompi biru muda, melirik ke arah surat di tangannya. "Surat itu udah diverifikasi belum? Kalau belum, harus antre lagi di loket depan."
Pak Raji tergagap, keringat dingin mengalir di pelipisnya. "Belum... belum, Bu," jawabnya pelan, suaranya pecah.
"Antre di depan, Pak. Lama nih, orang-orang lain juga nunggu." Petugas itu menggeleng pelan sebelum melanjutkan pekerjaannya.
Pak Raji melangkah mundur, semakin terbenam dalam keraguan. Apakah ini semua sepadan? Apakah setengah karung beras ini layak ditukar dengan rasa malu yang mencekiknya? Bayangan wajah Siti—marah, kecewa—menghantui pikirannya. Tapi kemudian, wajah Rahman muncul, dengan tatapan lapar yang tak terucapkan. Bagaimana jika anak itu kelaparan?
Ia berdiri mematung, seperti patung yang menunggu nasib. Petugas memanggil nama lain, kerumunan terus bergerak.
Saat ia hendak menyerah, terdengar suara seseorang memanggil namanya dari arah luar. Ia menoleh. Siti berdiri di pintu posko, napasnya memburu. Di sampingnya, Rahman meringkuk kecil, tertidur di pelukan kakaknya.
"Bapak... kita pulang saja," ucap Siti, suaranya bergetar.
Pak Raji tak menjawab. Matanya terfokus pada Rahman yang tertidur. Mulut bocah itu terbuka sedikit, seolah ia bermimpi sedang makan. Perut kecilnya tampak kempis di balik baju yang sudah kumal.
Tiba-tiba, Pak Raji melangkah ke arah petugas loket depan. Tidak peduli pada bisikan orang-orang yang mungkin menghakimi, ia menyerahkan suratnya dengan tangan gemetar. "Tolong... saya butuh," katanya singkat, hampir tanpa suara.
Petugas melirik surat itu, mencatat sesuatu, lalu menyerahkan setengah karung beras. Beratnya menekan bahu Pak Raji saat ia memanggulnya keluar. Tapi anehnya, langkahnya terasa lebih ringan daripada sebelumnya.
Di ujung gang, Siti menunggu dengan Rahman di pelukannya. Saat melihat ayahnya mendekat dengan karung beras di punggung, ia tidak berkata apa-apa. Pak Raji berhenti di depan mereka, meletakkan karung itu di tanah.
"Siti..." Pak Raji membuka mulut, tetapi tidak ada kata-kata yang keluar. Ia hanya menatap putrinya, mencoba membaca apa yang ada di balik wajah dinginnya.
Siti memandang karung itu, lalu ke arah ayahnya. Ada keheningan panjang yang mencekam, sebelum akhirnya ia mengangguk kecil. "Ayo pulang, Pak," katanya.
Pak Raji mengangkat karung itu lagi. Ia tidak tahu apakah Siti sudah memaafkannya, atau apakah anak itu benar-benar memahami pilihannya. Tapi ia tahu satu hal pasti: Rahman malam ini tidak akan tidur dalam kelaparan.
Namun, di dalam dirinya, pertanyaan itu tetap mengintai: Berapa lama setengah karung beras ini bisa bertahan?
Posting Komentar
Posting Komentar