n1ljWYmZyLaHa1TMPYBBtiqVcQolSr0KLMIOwgVb

Cari Blog Ini

Laporkan Penyalahgunaan

Mengenai Saya

Berat di Tangan, Berat di Hati

Berat di Tangan, Berat di Hati
Di Posting Oleh : PAKNAI
Kategori : Cerita

cerita pendek
 Pagi itu, pintu rumah bergoyang diterpa angin, nyaris terlepas dari engselnya. Jendela-jendela terbuka, menampakkan dapur kecil dengan tungku kosong. Di sudut ruangan, suara sendok beradu dengan piring logam terdengar nyaring. Suara itu berasal dari Parjo, yang sedang mengaduk bubur tipis di mangkuknya. Bubur itu terlalu encer untuk disebut makanan, tetapi cukup untuk membuat perutnya berhenti berbunyi barang sejenak.

"Makannya jangan buru-buru. Kau hanya akan tambah lapar," suara istrinya, Ratmi, terdengar datar, penuh kehati-hatian. Dia duduk di tikar yang mulai robek, menatap suaminya dengan sorot mata tajam namun lelah.

"Ratmi, kita tidak punya cukup beras lagi," ujar Parjo, setengah bergumam, matanya terpaku pada mangkuk di tangannya. Ia tidak memandang Ratmi, seolah malu dengan kenyataan yang baru saja ia ucapkan.

Ratmi menghela napas panjang. "Aku tahu. Tapi aku tidak mau kau pergi ke balai desa itu."

Parjo mengangkat kepalanya, alisnya bertaut. "Kenapa? Beras bantuan itu hak kita, Mi. Kita sudah terdaftar."

Ratmi memalingkan wajah, matanya menatap lantai tanah yang mulai retak. "Aku tidak mau jadi bahan pembicaraan orang kampung. Kau tahu mereka suka bicara. Mereka akan bilang kita pemalas, hanya mengandalkan belas kasihan. Aku tidak mau."

Parjo berdiri, mangkuknya ia letakkan dengan sedikit terlalu keras di atas meja kecil di sampingnya. "Apa yang akan mereka katakan lebih penting dari perut kita yang kosong? Kau tidak lihat? Anak-anak kita bahkan sudah berhenti meminta makan karena mereka tahu tidak ada yang bisa dimakan!"

Ratmi tidak menjawab. Dia hanya menggeleng pelan, seolah mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa ini semua akan baik-baik saja.

Siang itu, tanpa sepengetahuan Ratmi, Parjo memutuskan untuk pergi ke balai desa. Ia berjalan melewati gang-gang sempit dengan kepala tertunduk, mencoba menghindari tatapan para tetangga. Langit mendung, seolah memantulkan rasa ragu yang menyelimuti hatinya.

Di tengah perjalanan, seorang lelaki tua yang sedang duduk di warung kecil memanggilnya. "Jo! Mau ke mana? Cari kerjaan, ya?" tanyanya dengan senyum mengejek.

Parjo hanya tersenyum tipis, menunduk, dan melanjutkan langkahnya tanpa menjawab. Kata-kata itu mengikutinya seperti bayangan, menambah beban di punggungnya yang sudah terasa berat.

Ketika ia tiba di balai desa, antrean panjang sudah mengular di depan pintu. Wajah-wajah penuh harap bercampur dengan ekspresi putus asa terlihat di antara kerumunan. Parjo bergabung di antrean, matanya menatap lurus ke depan, mencoba mengabaikan bisik-bisik di sekitarnya.

"Tuh, si Parjo. Akhirnya nyerah juga, ya?" suara seorang perempuan terdengar dari belakangnya.

"Ratmi nggak ikut? Biasanya dia paling keras soal harga diri," balas seorang pria.

Parjo mengepalkan tangannya, tetapi ia tetap diam. Kata-kata itu bagai duri yang menusuk kulitnya, tapi ia tahu, membalas hanya akan membuat luka itu semakin dalam.

Ketika akhirnya ia sampai di meja pembagian, kepala desa, Pak Suradi, menatapnya dengan sorot mata yang sulit dibaca. "Parjo, kau akhirnya datang juga," ucapnya sambil mengisi selembar formulir. "Ratmi tahu kau di sini?"

Pertanyaan itu seperti tamparan. Parjo terdiam, tak mampu menjawab.

"Kau tahu, bantuan ini hanya untuk yang benar-benar membutuhkan. Tapi aku tahu keluargamu, Jo. Aku tahu kau butuh," lanjut Pak Suradi sambil menyerahkan satu karung kecil berisi beras.

Parjo menggenggam karung itu erat, merasakan dinginnya butiran beras di telapak tangannya. "Terima kasih, Pak," ucapnya pelan, suaranya nyaris tenggelam dalam riuh rendah suasana di balai desa.

Saat Parjo tiba di rumah, ia mendapati Ratmi sedang menyapu halaman. Ia berhenti di depan pintu, karung beras itu menggantung di pundaknya.

Ratmi menatapnya, dan untuk beberapa detik, tidak ada kata-kata yang terucap. Hanya ada suara sapu lidi yang berhenti bergerak dan desau angin yang membawa debu ke udara.

"Kau tetap pergi," ujar Ratmi akhirnya, suaranya dingin, tetapi ada nada getir di dalamnya.

Parjo mengangguk. "Aku tidak bisa membiarkan kita kelaparan, Mi."

Ratmi mendekat, matanya memandangi karung itu dengan ekspresi yang sulit ditebak. "Apa yang mereka katakan di sana?" tanyanya pelan, hampir berbisik.

Parjo terdiam, mengingat bisik-bisik dan ejekan yang ia dengar sepanjang jalan. "Tidak penting apa yang mereka katakan. Yang penting, anak-anak kita bisa makan malam ini."

Ratmi menghela napas, wajahnya masih diliputi keraguan. Tapi sebelum ia bisa mengatakan sesuatu lagi, suara langkah kaki terdengar dari luar.

Pak Suradi muncul di depan rumah mereka, membawa sebuah buku catatan kecil. Ia mengetuk pintu, meskipun sudah jelas mereka ada di sana.

"Parjo, Ratmi," sapanya dengan senyum kecil. "Aku tahu ini mungkin sulit untuk kalian, tapi aku ingin bicara."

Ratmi melirik Parjo, yang berdiri kaku di tempatnya. "Apa yang ingin dibicarakan, Pak?" tanyanya, suaranya terdengar waspada.

Pak Suradi membuka buku catatannya, menunjukkan nama-nama yang tercantum di dalamnya. "Aku ingin memastikan, apakah kalian benar-benar tidak keberatan menerima bantuan ini? Ada yang bilang..."

"Siapa yang bilang?!" suara Ratmi memotong, tajam seperti pisau. Matanya menyala dengan api kemarahan, yang selama ini ia simpan rapat-rapat.

Pak Suradi tampak terkejut, tetapi ia tidak mundur. "Aku hanya ingin memastikan bahwa ini tidak akan menjadi beban untuk kalian. Kadang, rasa malu lebih berat daripada kelaparan, bukan?"

Parjo menunduk, tangannya menggenggam ujung karung dengan erat. Ia tahu, apa yang Pak Suradi katakan benar. Tapi di sisi lain, ia juga tahu bahwa kelaparan adalah musuh yang lebih kejam.

"Aku tidak peduli apa yang orang lain pikirkan," jawabnya akhirnya, suaranya tegas. "Yang aku pedulikan adalah keluargaku."

Pak Suradi mengangguk, seolah memahami. Ia menutup buku catatannya dan bersiap pergi. Namun sebelum melangkah, ia berhenti, menatap mereka berdua dengan sorot mata yang penuh simpati.

"Kalau begitu, jagalah ini baik-baik," ucapnya sambil melangkah pergi.

Setelah ia pergi, Ratmi berdiri diam, menatap punggung suaminya yang masih memegang karung beras itu. "Bagaimana kalau dia kasihan pada kita, Jo? Apa kau tidak malu kalau kita dianggap pengemis?"

Parjo menatapnya, matanya merah karena kelelahan dan emosi yang bercampur aduk. "Aku lebih malu kalau kita membiarkan anak-anak kita kelaparan. Ini bukan soal harga diri, Mi. Ini soal bertahan hidup."

Ratmi tidak menjawab. Dia hanya berdiri di sana, menatap karung beras itu dengan ekspresi yang sulit dibaca.

Malam itu, mereka duduk di meja kecil, menyantap nasi hangat yang dimasak dari beras bantuan itu. Tidak ada kata-kata yang terucap, hanya suara sendok beradu dengan piring. Di luar, angin membawa suara bisik-bisik yang samar, tetapi cukup keras untuk membuat Ratmi dan Parjo saling melirik dengan cemas.

Apakah ini akan menjadi akhir dari rasa malu mereka, atau justru awal dari beban baru? Tidak ada yang tahu. Tapi satu hal yang pasti, perjuangan mereka belum selesai.

Related Posts
SHARE

Related Posts

Subscribe to get free updates

Posting Komentar

Sticky Note