Di Posting Oleh : PAKNAI
Kategori : Cerita
Di sudut rumahnya yang sederhana, sebuah mobil mewah tampak terparkir. Tak ada orang yang tahu bahwa rumah ini bukan rumah biasa. Bukan rumah dari orang miskin yang membutuhkan bantuan. Rumah ini adalah rumah milik Suryani, seorang wanita yang telah menikah dengan seorang pengusaha kaya. Hanya saja, Suryani bukanlah seorang yang bangga dengan kemewahannya. Meskipun terlihat mewah, dia selalu berusaha menyembunyikan kekayaannya, menganggap bahwa itu adalah beban. Dan dalam dunia yang dipenuhi kesulitan ekonomi, dia tahu bahwa jika orang-orang mengetahui bahwa dia memiliki segala yang diinginkan banyak orang, dia bisa kehilangan segalanya.
Pikirannya melayang. Bagaimana jika kepala desa tahu siapa dia sebenarnya? Bagaimana jika identitasnya yang sebenarnya dibongkar? Bagaimana jika pembicaraan di desa menyebar lebih cepat dari api? Apa yang akan terjadi pada reputasinya? Apakah dia akan diterima atau justru dicemooh?
Akhirnya, Suryani tiba di balai desa. Di depan pintu, dia berdiri sebentar, menarik napas panjang. Semua yang dilihatnya kini menjadi sesuatu yang asing. Desa ini bukan lagi tempat yang dulu penuh keakraban. Kini, dengan segala keinginan, keraguan, dan ketakutannya, desa ini terasa menekan, seperti sekumpulan mata yang menilai dan menunggu kesalahan.
Pintu terbuka. Kepala desa, Pak Suryanto, duduk di depan meja dengan beberapa orang lainnya, sesama pejabat desa. Suryani merasakan tatapan mereka saat dia masuk. Beberapa orang tidak mengenalnya. Namun, Pak Suryanto mengenalinya dengan jelas, seolah-olah dia adalah bagian dari cerita yang lebih besar yang tak pernah dia dengar sebelumnya.
“Selamat pagi, Ibu Suryani,” kata Pak Suryanto dengan suara rendah. “Apa yang bisa saya bantu?”
Suryani merasakan suara gemeretak di tenggorokannya. "Saya ingin mengajukan permohonan bantuan beras dari pemerintah," jawabnya dengan hati-hati.
Pak Suryanto memandangnya sejenak, matanya berbinar, mungkin sedikit bingung, mungkin sedikit curiga. “Bantuan beras? Dari pemerintah?” Dia memiringkan kepalanya, seolah mengukur sesuatu yang tidak tampak. “Apakah Ibu yakin bahwa ini adalah bantuan yang Ibu butuhkan?”
Suryani mengangguk dengan cepat. “Ya, Pak. Kami sedang mengalami kesulitan.” Meskipun kata-kata itu keluar dari bibirnya, Suryani merasa seolah-olah ia sedang mengkhianati dirinya sendiri. Namun, di dalam hatinya, dia tahu bahwa dia sedang mencoba untuk menutupi sesuatu yang lebih besar. Semua itu berhubungan dengan status sosialnya yang tidak ingin terungkap.
Kepala desa mendesah pelan, matanya meneliti surat yang dibawa Suryani. “Kami akan memverifikasi data ini,” katanya singkat. “Tunggu beberapa waktu, Ibu.” Tetapi Suryani merasakan sesuatu yang ganjil dari cara Pak Suryanto berbicara. Ada penundaan dalam suaranya, dan dia bisa merasakan ketegangan di udara.
Beberapa hari berlalu, dan Suryani semakin merasa gelisah. Setiap kali dia keluar rumah, dia merasa seperti ada yang mengamatinya. Mungkin dia terlalu cemas, pikirnya. Tapi kenyataannya, cemasnya semakin besar, dan semakin tidak terkendali. Wajah-wajah yang biasa tersenyum padanya kini tampak berbeda. Entah kenapa, dia merasa seperti mereka tahu lebih banyak daripada yang mereka tunjukkan.
Pada suatu malam, Suryani terbangun dari tidur. Dalam gelap, dia merasakan suatu tekanan yang tak bisa dijelaskan. Tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu. Itu Pak Suryanto. Wajahnya tidak berseri-seri seperti biasanya. Dia hanya masuk tanpa menunggu undangan.
“Ada yang perlu saya sampaikan,” kata Pak Suryanto, duduk di depan Suryani tanpa basa-basi. “Setelah memeriksa dokumen yang Anda berikan, ada beberapa kejanggalan yang perlu saya klarifikasi.”
Suryani menelan ludah, tubuhnya terasa kaku. Apa yang akan dia katakan? Bagaimana jika dia benar-benar tahu? Bagaimana jika desa ini tahu siapa dirinya?
“Apakah Anda ingin mengatakan sesuatu?” tanya Pak Suryanto, sorot matanya lebih tajam dari sebelumnya. “Bantuan beras memang untuk yang membutuhkan. Tapi saya rasa Anda tidak kekurangan, Ibu Suryani.”
Suasana di ruang tamu yang semula nyaman kini terasa seperti pengadilan yang berat. Di luar, angin bertiup kencang, menggoyangkan daun-daun pohon yang di luar jendela. Sebuah ketidakpastian menguar di udara, lebih tebal daripada kabut pagi.
Suryani menggigit bibirnya. “Saya hanya ingin membantu mereka yang lebih membutuhkan,” ujarnya, suaranya hampir hilang. “Saya memang... tidak sering memperlihatkan semuanya. Tapi saya... tidak ingin merasa bersalah.” Kata-katanya tidak meyakinkan. Ada sesuatu yang terputus di antara mereka. Sesuatu yang tak terucapkan, tapi Suryani bisa merasakannya.
Pak Suryanto terdiam. Matanya menyelidiki, mencari tahu kebenaran yang tidak tampak. Suryani tahu bahwa ketidakpastian ini tidak akan berakhir hanya dengan sebuah jawaban. Sebuah pertanyaan besar mulai bergema di benaknya. "Apa yang akan terjadi jika semua orang tahu tentang dirinya? Apa yang akan mereka pikirkan?"
Pak Suryanto akhirnya berdiri, menatapnya dengan penuh arti. “Jika saya membongkar status Anda yang sebenarnya... apakah Anda siap menerima konsekuensinya?”
Suryani tidak menjawab. Hanya ada detakan jantung yang menggema di telinganya. Sesuatu di dalam dirinya menjerit untuk berkata “Tidak”, tapi dia tetap diam. Dia tidak tahu apakah jawaban itu akan membawa kedamaian atau justru semakin memperburuk keadaan.
Pagi harinya, desa mulai gempar. Ada rumor yang tersebar cepat, lebih cepat daripada yang bisa dibendung. Wajah-wajah yang dulu begitu ramah kini menyembunyikan senyum sinis, tatapan curiga, dan bisikan-bisikan yang semakin jelas terdengar di setiap sudut.
Suryani berjalan perlahan menuju balai desa, tapi langkahnya terasa lebih berat dari sebelumnya. Suasana di desa menjadi semakin tegang, seperti anak panah yang siap melesat. Semua mata mengarah padanya, dan dia merasakan ketakutan itu, yang semakin mendalam. Apa yang harus dia lakukan? Haruskah dia mengakui semuanya atau menyembunyikan kebenaran? Apa yang akan terjadi jika dia mengungkapkan siapa dirinya yang sebenarnya?
Setibanya di balai desa, suasana hening. Pak Suryanto berdiri di depan, matanya menatap langsung ke Suryani. Semua orang menunggu, menahan napas.
"Saya tahu bahwa kalian sudah mendengar berbagai rumor tentang saya," Suryani akhirnya berkata, suaranya bergetar. "Tapi saya... saya hanya mencoba membantu. Tidak lebih."
Dia menatap mata Pak Suryanto, yang kini memandangnya dengan penuh pertanyaan. Tanpa kata-kata lebih lanjut, keputusan besar itu terukir di udara.
Di baliknya, sebuah pilihan terbuka. Seperti dua jalur yang terbentang di hadapannya, tapi tidak ada yang tahu mana yang akan dipilih.
Begitulah cerita ini berakhir, dengan pertanyaan yang masih menggantung di udara: “Bagaimana jika kepala desa membongkar statusnya?”
Dan Suryani, dengan segala ketidakpastian yang menyelubungi dirinya, tetap berjalan menuju masa depannya yang belum jelas.
Posting Komentar
Posting Komentar