Di Posting Oleh : PAKNAI
Kategori : Cerita
Samin tidak pernah merasa dirinya begitu kecil. Sejak anaknya sakit demam, dia hanya bisa menatap ketiadaan dengan mata kosong. Bantuan beras adalah sesuatu yang bisa meringankan beban keluarga, sesuatu yang dia tahu harus bisa didapatkan. Tetapi kepala desa, Pak Harsono, telah menutup pintu bagi dirinya.
“Bapak nggak memenuhi syarat. Program ini hanya untuk yang benar-benar membutuhkan,” kata Pak Harsono, sambil menggelengkan kepala. Matanya menatap dengan ragu, seolah ada sesuatu yang tak ingin dilihat Samin.
Samin berdiri lebih tegak. “Tapi saya... saya benar-benar membutuhkan. Anak saya sakit, istri saya tak bisa bekerja, saya tak punya uang. Saya hanya ingin sedikit beras untuk makan.”
Pak Harsono menarik napas panjang. “Ada banyak yang lebih membutuhkan dari Anda, Samin. Jangan buat saya kesulitan,” katanya, suara itu lebih keras dari biasanya, seolah menahan amarah.
Samin merasa sesuatu terputus di dalam dirinya. Ada sesuatu yang melesat, sebuah perasaan yang tidak bisa dijelaskan, seperti ada api yang menyala di dalam dada, tapi tak ada ruang untuk menyuarakannya. Perlahan, dia berbalik dan keluar dari ruangan, melangkah dengan kaki yang terasa lebih berat dari sebelumnya.
Di luar, gerimis semakin deras. Dia berjalan tanpa tujuan. Matanya kosong, pandangannya kabur oleh tetesan hujan. Sebuah suara dalam dirinya bertanya-tanya, apakah hanya dia yang tak cukup beruntung? Apakah hanya dia yang tak memenuhi syarat?
Dia menatap surat yang masih tergenggam erat di tangannya.
“Jika aku orang kaya,” bisiknya pelan.
Hari-hari berlalu dengan berat. Samin tak mampu mengusir perasaan kecewa dan cemas yang semakin menggerogoti pikirannya. Di sebuah kedai kopi yang sederhana, dia duduk dengan secangkir kopi hitam yang telah dingin. Sesekali dia melihat orang-orang di sekitarnya, yang tertawa dan berbicara seolah dunia mereka tidak pernah terhenti. Samin merasa terasing. Seolah dia bukan bagian dari dunia itu.
Suatu pagi, setelah menunaikan sholat subuh, Samin menemukan sebuah lembaran koran yang tertinggal di teras rumahnya. Tanpa pikir panjang, dia membacanya. Di dalamnya ada artikel tentang sebuah perusahaan besar yang baru saja membuka pabrik di desa sebelah. Perusahaan itu memberikan bantuan berupa barang kebutuhan pokok kepada warga desa yang berpenghasilan rendah. Artikel itu menyebutkan bahwa beberapa kepala desa telah mengajukan warganya untuk mendapatkan bantuan. Nama Pak Harsono tercantum di sana, mengklaim telah mengusulkan nama-nama yang membutuhkan, tetapi nama Samin tidak ada di daftar itu.
Samin merasa lidahnya kering. Pikirannya berputar-putar, membayangkan kemungkinan-kemungkinan yang menyesakkan dada. Jika dia kaya, apakah dia akan termasuk dalam daftar bantuan itu? Jika dia bisa memberikan sesuatu yang berharga, apakah kepala desa akan mendengarnya?
Seketika itu, Samin merasa kesepian yang luar biasa. Keinginannya untuk hanya mendapatkan beras bukan lagi sekadar tentang beras. Itu tentang pengakuan. Tentang menghargai dirinya sebagai manusia yang sama dengan orang lain. Dan pertanyaan itu, apakah jika dia orang kaya, semuanya akan berbeda? Seolah semua yang terjadi di sekitarnya hanya dipengaruhi oleh seberapa banyak uang yang bisa dia berikan.
Dia merasa kehadiran dirinya semakin tidak berarti. Dia bahkan tidak bisa menoleh kepada orang-orang terdekatnya. Istrinya semakin cemas, anaknya semakin lemah. Samin merasa seolah dia berdiri di atas sebuah tebing yang rapuh, dengan satu langkah lagi bisa jatuh ke dalam jurang yang dalam dan gelap.
Pagi itu, Samin memutuskan untuk pergi menemui Pak Harsono sekali lagi. Tetapi kali ini, dia tidak datang dengan tangan kosong. Dia tahu bahwa jika dia ingin didengar, dia harus membawa sesuatu yang berharga. Dia berjalan dengan langkah yang lebih mantap, seolah menguatkan diri.
Di depan balai desa, Samin berdiri lagi. Surat permohonan yang sudah ditulisnya kembali tergenggam erat di tangan. Sebelum mengetuk pintu kantor, dia melihat Pak Harsono sedang berbicara dengan seorang pria asing, yang mengenakan jas rapi dan membawa tas tangan yang mahal. Pak Harsono terlihat berbeda, lebih ramah, lebih terbuka. Wajahnya yang biasanya tegang tampak berseri.
Ketika Pak Harsono masuk ke dalam, Samin tak menunggu lama. Dia masuk tanpa izin, menatap kepala desa yang sedang duduk di mejanya.
“Pak Harsono,” kata Samin, suara tegang. “Ada yang perlu saya bicarakan.”
Pak Harsono memandangnya dengan mata yang setengah bingung. “Oh, Samin. Ada apa lagi?”
“Apa saya harus jadi kaya dulu untuk mendapatkan perhatianmu?” Suara Samin bergetar, namun ada ketegasan yang tak bisa disembunyikan. “Apa saya harus membawa uang, atau sesuatu yang berharga, baru kamu akan peduli?”
Pak Harsono terdiam. Wajahnya mulai merona. “Apa yang kamu maksud?”
“Kenapa nama saya tidak ada di daftar bantuan itu?” Samin melangkah lebih dekat, menatap Pak Harsono dengan tatapan tajam. “Kenapa yang lain bisa, sementara saya tidak?”
Pak Harsono terbatuk pelan, kemudian menatap ke meja. Di sana, ada amplop yang tertutup rapat. "Samin, kamu tidak mengerti situasinya," katanya pelan. "Ada banyak hal yang harus dipertimbangkan. Program ini tidak semudah itu. Kami harus mengutamakan yang benar-benar membutuhkan."
Samin merasa dadanya sesak. “Apakah saya tidak cukup membutuhkan?”
Pak Harsono menatapnya lebih lama. Sejenak, ruang di sekitar mereka terasa hampa. Waktu seakan berhenti. Seperti ada sebuah teka-teki yang tak terjawab, menggantung di udara.
Samin berdiri di sana, menatap kepala desa yang kini tampak lebih dingin, lebih jauh darinya. Semua harapan yang dulu dia rasakan mulai mencair menjadi ketidakpastian yang menakutkan. Apa yang akan terjadi padanya sekarang? Apa yang akan terjadi jika dia tetap berada dalam posisi ini? Jika dia terus dipandang sebelah mata?
Pak Harsono membuka amplop itu dan mengambil selembar surat. "Samin," katanya pelan, "ada kemungkinan lain, tetapi... itu hanya jika kamu bisa memberikan sesuatu yang lebih berharga."
Samin tak bisa menjawab. Pertanyaan itu kembali melayang di pikirannya. "Jika aku orang kaya... apakah semuanya akan berbeda?"
Namun, Pak Harsono hanya menunduk. Tidak ada lagi jawaban.
Di luar, hujan semakin lebat. Sebuah ketidakpastian yang semakin menguat.
Posting Komentar
Posting Komentar