n1ljWYmZyLaHa1TMPYBBtiqVcQolSr0KLMIOwgVb

Cari Blog Ini

Laporkan Penyalahgunaan

Mengenai Saya

Jalan yang Berbunyi

Jalan yang Berbunyi
Di Posting Oleh : PAKNAI
Kategori : Cerita

cerita pendek
Langit senja merekah merah di atas aspal yang panas. Debur angin menghantam tubuh Reno saat ia memacu motor modifikasinya di jalan raya desa itu, menciptakan suara gemuruh yang memecah keheningan. Anak-anak yang bermain layangan di pinggir jalan melompat ke tepi, teriakan ibu-ibu yang memanggil mereka tenggelam oleh deru knalpot yang meraung. Reno tersenyum lebar di balik helmnya. Bagi dia, suara itu adalah musik, ritme kebebasan.

Namun, saat ia menghentikan motornya di depan warung kopi, mata-mata tajam dari para warga mulai menusuknya. Reno turun, melepas helm, dan mengibaskan rambut basahnya. Beberapa pria paruh baya yang sedang bermain domino di sudut warung berhenti sejenak, pandangan mereka seperti sebuah tuduhan tak bersuara.

Reno tahu, tapi dia tidak peduli. Ini bukan pertama kalinya. Lagipula, ini jalan umum, bukan milik siapa-siapa. Bukankah aspal ini dibangun untuk dilalui?

Seorang lelaki tua bertongkat mendekatinya. Langkahnya lambat, tapi sikapnya tegas. Pak Darto, tokoh desa yang dihormati, mengangkat tangannya, menunjuk Reno.
“Anak muda, berhentilah main-main di jalan ini. Kau sudah membuat orang takut. Ini bukan arena balapan.”

Reno menahan tawa, memandang pria tua itu dengan mata penuh tantangan. “Pak, jalan ini lebar, mulus. Kalau bukan untuk dipakai balapan, untuk apa?”

Suara lelaki itu rendah, hampir berbisik, tapi ada sesuatu yang membuat Reno sedikit kaku.
“Jalan ini punya cerita, Nak. Tidak semua hal di dunia ini milikmu.”

Reno tertawa keras, seolah ucapan itu tak masuk akal. Ia melompat kembali ke atas motor dan memacunya pergi, meninggalkan debu beterbangan di belakangnya.


Act 2: Konflik Memanas

Reno tidak berhenti. Seminggu kemudian, ia mengumpulkan teman-temannya dari kota. Malam itu, mereka berkumpul di jalan raya desa, lampu-lampu motor memancar seperti sorotan panggung. Reno berdiri di tengah, mengangkat tangan seperti seorang komandan perang.

“Lihat ini,” katanya kepada teman-temannya, menunjuk jalan lurus sepanjang tiga kilometer. “Arena balapan kita. Tak ada polisi, tak ada gangguan. Ini tempat kita.”

Suara sorak-sorai memenuhi udara. Namun, di balik bayang-bayang pohon, beberapa warga berdiri memperhatikan. Wajah mereka tegang, tangan mereka mengepal. Reno tahu mereka ada di sana, tapi ia tak peduli. Dia memutar kunci kontak motornya, dan suara knalpot yang meledak memulai perlombaan.

Balapan pertama berjalan mulus. Mereka tertawa, merayakan kemenangan kecil di bawah bintang-bintang. Tapi di balapan kedua, semuanya berubah. Reno, yang memimpin, tiba-tiba mendengar suara sirene kecil—bukan dari polisi, tapi dari ambulan desa yang melaju dengan kecepatan tinggi ke arah yang berlawanan. Para pembalap panik, membubarkan diri ke sisi jalan.

Di kejauhan, suara tangis seorang perempuan menggema. Reno menghentikan motornya, menoleh ke arah ambulan yang berhenti mendadak. Seorang bocah kecil digendong keluar, darah menetes dari kepala kecilnya. Anak itu terjatuh saat mencoba menghindari salah satu motor yang melaju kencang.

Warga mulai berkerumun, sorakan berganti dengan kutukan dan kemarahan. Reno terdiam, dadanya sesak, tapi tak satu kata pun keluar dari bibirnya.
“Ini salah kalian!” suara seseorang menggema di kerumunan. Pak Darto berdiri di tengah mereka, menatap Reno tajam.

“Sudah kukatakan, jangan main-main di jalan ini!”

Reno mencoba membuka mulut, tapi tak ada pembelaan yang terdengar. Teman-temannya sudah menghilang, meninggalkan dia sendirian di hadapan amarah warga desa. Saat itu, Reno merasa jalan yang tadi tampak mulus dan panjang kini berubah menjadi labirin penuh duri.

Malam itu, Reno duduk di depan rumah kecil milik ayahnya di pinggir desa. Angin dingin menggigilkan kulitnya. Di kejauhan, suara-suara warga masih terdengar samar. Ayahnya, Pak Sudarmono, muncul dari dalam rumah. Ia menyalakan sebatang rokok dan berdiri di samping anaknya, tanpa berkata sepatah kata pun.

Setelah beberapa saat, Pak Sudarmono akhirnya bicara. “Kau tahu, Reno. Jalan yang kau pakai untuk balapan itu… dulu dibangun dengan darah dan keringat.”

Reno mengerutkan kening. “Maksud Bapak apa?”

Ayahnya menghisap rokok dalam-dalam sebelum melanjutkan. “Waktu kau kecil, aku dan beberapa warga berjuang untuk mendapatkan izin pembangunan jalan itu. Tapi perusahaan yang mengerjakannya… mereka curang. Material murah, tenaga kerja tak digaji. Aku berusaha melawan. Mereka mengancam. Tapi aku tidak mundur.”

Reno menatap ayahnya, tapi wajah pria tua itu tetap dingin, seperti sebuah monumen yang menyimpan luka. “Mereka memukulku, mengusirku. Tapi aku tetap berjuang. Pada akhirnya, jalan itu selesai, tapi dengan harga yang mahal. Banyak yang kehilangan pekerjaan, ada yang kehilangan nyawa.”

Hati Reno mencelos. Ia tidak pernah tahu cerita ini. Bagi dia, jalan itu hanya sekadar jalan. Tapi bagi ayahnya, bagi warga desa, itu adalah simbol perjuangan, luka yang tak pernah sembuh.

“Jadi, Nak,” kata Pak Sudarmono, matanya menatap jauh ke kegelapan. “Jangan kira jalan itu tak punya pemilik. Setiap inci aspal itu punya harga yang lebih dari sekadar uang.”

Reno terdiam lama setelah ayahnya masuk ke dalam rumah. Kata-kata itu berputar di kepalanya. Apa maksud ayahnya? Apakah jalan itu miliknya? Milik ayahnya? Atau milik semua orang yang berjuang untuk membangunnya?

Pertanyaan-pertanyaan itu terus menghantuinya saat ia berjalan kembali ke tempat balapan. Jalan raya itu sunyi, hanya suara jangkrik yang menemani. Reno berdiri di tengah jalan, menatap aspal hitam yang memantulkan sinar bulan. Untuk pertama kalinya, ia merasa ada sesuatu yang lebih besar dari dirinya—sesuatu yang tidak bisa ia sentuh, tapi tetap bisa ia hancurkan.

Seminggu kemudian, Reno berdiri di tengah jalan raya itu lagi, kali ini sendirian. Suara motor-motor bising teman-temannya tak lagi terdengar. Sebuah bendera kecil berkibar di tangannya—simbol yang ia buat sendiri sebagai tanda bahwa jalan ini bukan tempat untuk balapan.

Namun, saat ia menancapkan bendera itu di pinggir jalan, sebuah motor melintas. Temannya, Bagas, berhenti di sampingnya.

“Reno, kau serius dengan semua ini?”

Reno menoleh, tapi tidak menjawab. Bagas mendengus, memutar gas motornya, dan melaju kencang, meninggalkan Reno di belakang. Reno memandangnya pergi, lalu menatap jalan yang kembali sunyi.

Di kejauhan, suara motor lain mulai terdengar, semakin dekat, semakin kencang. Reno berdiri tegak, tubuhnya kaku. Ia tak tahu apa yang akan terjadi.

Namun, ia tidak bergerak. Jalan itu bukan lagi miliknya untuk dikuasai. Tapi apakah ia mampu menghentikan semuanya?

Kegelapan menelan jawabannya.

Related Posts
SHARE

Related Posts

Subscribe to get free updates

Posting Komentar

Sticky Note