Di Posting Oleh : PAKNAI
Kategori : Cerita
Ardi mendobrak pintu kafe kecil di sudut Jalan Melati, hujan mengguyur deras di belakangnya. Jaket hitamnya basah kuyup, meneteskan air di lantai ubin yang kusam. Ia langsung mendapati Dion duduk di pojok ruangan, seorang diri, dengan kopi yang nyaris tak tersentuh di depannya.
“Lo nggak bisa kayak gini terus!” Ardi langsung duduk tanpa basa-basi, suaranya menusuk di antara suara hujan di luar.
Dion hanya melirik, sejenak, lalu kembali memandangi kopinya. Jemarinya mengetuk gelas dengan gerakan pelan dan monoton. "Gue baik-baik aja, Di," katanya, datar.
Ardi mendesah, menyeka rambut basahnya dengan tangan. Ia melirik meja Dion yang penuh dengan koran lusuh, beberapa lowongan pekerjaan dilingkari, tapi tinta hitamnya mulai luntur oleh tetesan air dari gelas.
"Baik-baik gimana? Udah setahun lo kayak gini. Cari kerja nggak serius, hidup lo... kosong." Suaranya melemah di akhir kalimat.
“Lo nggak ngerti,” jawab Dion pendek, tanpa mengangkat kepala.
Ardi menggeleng, giginya mengatup. Ia sudah mempersiapkan diri untuk hari ini, untuk percakapan yang pasti akan sulit. Tapi menghadapi sikap Dion yang apatis seperti menghadapi dinding beton. Ia ingin menghancurkannya, tapi tak tahu harus mulai dari mana.
“Gini, gue udah mikirin ini lama. Gue punya beberapa ide usaha yang bisa lo jalanin. Lo pinter, lo bisa—"
Dion mendongak, matanya dingin. “Udah, Di. Gue nggak tertarik sama itu.”
“Dengerin dulu!” Ardi membentak. Suaranya sedikit terlalu keras, menarik perhatian beberapa pelanggan lain. Ia menurunkan nada suaranya, mencondongkan tubuh ke depan. “Lo mau kayak gini terus? Hidup lo ngambang. Gue cuma mau bantu.”
Tapi Dion hanya tertawa kecil, pahit. "Bantu gimana? Dengan ide-ide konyol lo yang nggak akan berhasil?"
Kalimat itu seperti tamparan. Tapi Ardi tidak menyerah.
Tiga hari kemudian, Ardi kembali menemui Dion. Kali ini, ia membawa sebuah presentasi sederhana di laptopnya. Mereka duduk di ruang tamu Dion, di apartemen sempit yang penuh dengan barang-barang berdebu. Televisi menyala tanpa suara, hanya menampilkan bayangan abu-abu yang berganti-ganti.
“Gue serius, Dion. Gue riset soal ini. Lo bisa buka kedai kopi kecil. Nggak perlu modal besar, dan lo punya sense yang bagus soal rasa. Kita bisa mulai dari hal kecil,” jelas Ardi, menunjuk layar laptopnya.
Dion memandangi layar itu dengan ekspresi kosong. “Dan kenapa menurut lo gue mau ngelakuin itu?”
“Karena ini lebih baik daripada nggak ngapa-ngapain!” Suara Ardi pecah. Ia menatap Dion dengan tatapan putus asa. “Lo dulu orang paling ambisius yang gue kenal. Lo suka tantangan, lo nggak pernah takut buat mulai sesuatu.”
“Dulu,” Dion menekankan kata itu. Ia berdiri, berjalan menuju jendela dan menatap ke luar, ke lampu-lampu kota yang buram di tengah hujan gerimis. “Dulu gue percaya sama diri gue sendiri. Sekarang? Gue nggak yakin gue bisa ngelakuin apa-apa.”
Ardi terdiam, dadanya sesak. Ia tahu apa yang terjadi dengan Dion setahun lalu—pekerjaan yang hilang, pengkhianatan dari rekan-rekan kerjanya, mimpi besar yang hancur di depan matanya. Tapi sampai kapan Dion akan membiarkan masa lalunya menelan hidupnya?
“Kalau gitu, gimana kalau lo mikir lebih besar?” Ardi mencoba nada yang lebih lembut, meski nada suaranya masih tegang. “Gimana kalau lo bayangin... lo CEO dari sesuatu? Lo nggak cuma buka kedai kopi. Lo bikin jaringan kafe. Lo jadi bos besar.”
Dion berbalik, menatap Ardi dengan sorot mata tajam yang sulit dibaca. Ada sesuatu yang bergerak di dalamnya—kemarahan, mungkin, atau ironi. “CEO, ya? Lo pikir gue bisa jadi CEO sekarang, Di?”
“Kenapa nggak?” Ardi melangkah mendekat. “Lo pernah punya mimpi besar. Lo bisa mimpi lagi. Gue akan bantu.”
Ada jeda panjang, sunyi. Dion tertawa pelan, sebuah tawa yang terdengar lebih seperti napas yang pecah. “Lo nggak tahu apa-apa soal gue.”
“Tapi gue tahu lo bisa,” jawab Ardi dengan suara bergetar.
Keesokan harinya, Ardi bangun dengan rasa gelisah. Ia tidak yakin apakah pembicaraannya dengan Dion membuahkan hasil atau hanya memperburuk segalanya. Tapi sore itu, sebuah pesan singkat muncul di ponselnya.
“Datang ke taman dekat apartemen gue. Jam 6.”
Ketika ia tiba, Dion sudah menunggu di bangku kayu yang menghadap danau kecil. Wajahnya tetap muram, tapi ada sesuatu yang berbeda dalam posturnya—seperti seseorang yang akhirnya menemukan pijakan di tanah yang bergoyang.
“Gue udah mikirin kata-kata lo,” kata Dion tanpa basa-basi, tangannya menyelip di saku jaketnya. “Dan gue sadar satu hal.”
Ardi menahan napas, menunggu kelanjutannya.
“Gue benci dengerin ide-ide lo.” Dion menatap lurus ke arah Ardi, senyumnya tipis, hampir tidak terlihat. “Tapi mungkin, cuma mungkin... gue benci itu karena gue tahu lo bener.”
Ardi tertegun. Ia membuka mulut, tapi tak ada kata-kata yang keluar.
“Tapi kalau gue mau mulai sesuatu,” lanjut Dion, “gue nggak akan mulai dari hal kecil. Gue nggak mau buka kedai kopi kecil atau jadi bos dari jaringan kafe. Kalau gue mau, gue mau sesuatu yang lebih besar dari itu.”
“Seperti apa?” suara Ardi hampir berbisik.
Dion tersenyum. Kali ini, senyumnya lebih nyata, meski ada ketegangan di baliknya. “Gue nggak tahu. Tapi gue akan cari tahu.”
Hening menggantung di antara mereka, hanya suara angin yang menyapu permukaan danau. Ardi merasa dadanya lega, sekaligus berat. Ia tahu jalan Dion masih panjang dan penuh ketidakpastian, tapi setidaknya, Dion telah bergerak.
“Lo serius?” Ardi bertanya.
Dion mengangguk, matanya kembali memandang ke danau. “Ya. Tapi kalau gue gagal lagi... lo nggak usah datang buat nyelamatin gue, oke?”
Ardi menggeleng pelan, senyum kecil terbentuk di sudut bibirnya. “Lo tahu itu nggak mungkin.”
Dan di bawah langit yang mulai gelap, mereka duduk dalam diam, masing-masing tenggelam dalam pikiran. Tapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda—sebuah kemungkinan, sebuah langkah pertama ke arah yang tidak mereka ketahui.
Seminggu kemudian, Ardi menerima sebuah e-mail. Subjeknya hanya satu kata: “Dimulai.”
Lampirannya berisi rencana kasar sebuah proyek yang Dion sedang coba bangun. Ardi membaca setiap kata dengan teliti, rasa cemas dan antusiasme bercampur menjadi satu.
Di layar ponsel, ia mengetik balasan pendek: “Gue siap bantu.”
Dan ia tahu, ini baru permulaan dari perjalanan yang penuh kerikil.
Posting Komentar
Posting Komentar