n1ljWYmZyLaHa1TMPYBBtiqVcQolSr0KLMIOwgVb

Cari Blog Ini

Laporkan Penyalahgunaan

Mengenai Saya

Gema di Tengah Sepi

Gema di Tengah Sepi
Di Posting Oleh : PAKNAI
Kategori : Cerita

cerita pendek
Dina menatap layar ponsel yang menampilkan daftar pekerjaan. Matanya merah, entah karena begadang atau menahan air mata yang sudah tak mampu ia tumpahkan lagi. Di sudut ruangan kontrakan kecilnya, sebuah tumpukan gelas plastik bekas kopi instan mengingatkan bahwa ia telah berada di sini terlalu lama tanpa hasil. Ponselnya bergetar.

"Din," suara Rina terdengar di ujung telepon, sedikit terlalu ceria, "Kamu ngapain? Aku lagi di warung. Yuk sini, ngobrol sebentar."

Dina menghela napas. Bukan karena malas bertemu, tapi ia tahu, pertemuan ini takkan lebih dari rentetan pertanyaan atau saran yang membuatnya semakin tertekan. Namun, ia tidak bisa menolak Rina. Mereka sahabat lama, dan satu-satunya yang masih bertahan di sisinya saat hidup mulai menghimpit.

"Sebentar lagi aku ke sana," jawab Dina akhirnya, memaksakan nada yang terdengar santai.

Setibanya di warung kecil tempat Rina menunggu, Dina disambut dengan segelas teh manis. Rina tersenyum lebar, tapi matanya penuh kewaspadaan, seperti sedang mengukur suasana hati Dina.

"Din, aku kepikiran sesuatu buat kamu," katanya tanpa basa-basi. "Kenapa nggak coba jualan kue online? Aku yakin pasti laku. Kamu kan dulu suka bikin bolu waktu kita masih kuliah."

Dina hanya memutar gelas teh di tangannya, menghindari tatapan sahabatnya. Ia tahu maksud baik Rina, tapi saran seperti ini—seberapa pun tulusnya—hanya menambahkan beban pada pikirannya yang sudah penuh.

"Aku nggak tahu, Rin. Modal dari mana? Lagian, kayaknya itu nggak cocok buat aku."

"Tapi kamu nggak tahu kalau nggak nyoba, kan?" Rina mendesak, matanya berbinar dengan semangat. "Atau coba ini deh, jualan masker kain! Tetangga aku bisa dapet untung gede dari situ."

Dina hanya mengangguk, tapi di dalam kepalanya ia sudah kehilangan minat untuk mendengarkan.

Hari-hari berikutnya, Rina semakin sering menghubungi Dina dengan ide-ide baru. Jualan keripik pedas, buka jasa titip, atau bahkan coba jadi reseller barang impor. Dina menghindari panggilan itu sebanyak mungkin, tapi Rina selalu punya cara untuk menemukannya—entah datang langsung ke kontrakan atau menunggunya di warung biasa.

Di satu sore yang gerimis, Rina muncul lagi dengan segudang semangat. Namun kali ini, wajahnya tampak sedikit berbeda. Ada sesuatu di balik senyumnya yang tampak terlalu dipaksakan.

"Kamu kenapa, Rin?" tanya Dina akhirnya, suaranya hampir tenggelam oleh suara hujan di luar.

"Aku? Nggak apa-apa," jawab Rina cepat. Tapi tangannya terus menggenggam cangkir kopi dengan erat, seperti mencari pijakan.

Dina tahu ada yang tidak beres, tapi ia memilih diam.

"Mungkin aku harus mulai berhenti kasih kamu saran-saran, ya?" kata Rina tiba-tiba, setengah bercanda.

Dina menoleh, kaget. "Kenapa kamu ngomong gitu?"

"Karena mungkin aku nggak lebih baik dari kamu." Rina tertawa kecil, tapi suaranya terdengar goyah.

"Kamu ngomong apa sih, Rin?"

Rina hanya mengangkat bahu. Namun, saat itu juga, Dina merasa seperti ada sesuatu yang berubah. Rina tidak lagi terlihat seperti seseorang yang berdiri lebih tinggi darinya. Malah sebaliknya, Rina tampak rapuh, hampir seperti seorang anak kecil yang takut kehilangan sesuatu.

Beberapa hari setelah percakapan itu, Dina menemukan Rina duduk sendirian di warung biasa mereka. Tidak ada daftar ide di tangan, tidak ada energi ceria yang biasanya menyelimuti keberadaannya.

"Rin, kamu kenapa?" Dina bertanya dengan nada khawatir.

Rina mengangkat wajahnya perlahan. Matanya sembab, kantung matanya dalam seperti lubang yang tak berdasar.

"Aku dipecat," bisiknya, seperti mengakui dosa.

Dunia Dina berhenti sejenak. "Apa?"

"Aku nggak bilang karena… aku nggak mau kamu tahu aku juga lagi susah. Aku nggak mau kamu mikir aku nggak bisa bantu kamu."

Dina terdiam. Selama ini, ia selalu menganggap Rina sebagai sosok yang kokoh, tak tergoyahkan. Tapi sekarang, semuanya terasa terbalik.

"Aku kira kalau aku kasih kamu saran, aku bisa bikin kamu… lebih baik. Tapi ternyata aku cuma bohong sama diri sendiri," Rina melanjutkan, suaranya bergetar.

"Kamu nggak perlu bohong, Rin," kata Dina akhirnya. "Kamu nggak harus pura-pura kuat buat aku."

Mereka duduk di sana dalam diam. Hujan di luar semakin deras, seolah ikut menelan kata-kata yang tersisa di antara mereka.

"Jadi, apa yang akan kita lakukan sekarang?" Rina bertanya, matanya menatap Dina penuh harap.

Dina tidak punya jawaban. Tapi untuk pertama kalinya, ia merasakan sesuatu yang berbeda. Bukan saran atau tekanan, melainkan keheningan yang memberi ruang untuk berpikir.

Minggu berikutnya, Dina dan Rina berjalan kaki menyusuri pasar, bukan untuk berbelanja, tapi hanya untuk melihat-lihat. Keduanya sama-sama tak punya rencana pasti.

Di salah satu sudut pasar, mereka berhenti di depan seorang pedagang kaki lima yang menjual buku-buku bekas. Dina meraih salah satu buku, membuka halaman-halamannya yang penuh dengan catatan tangan pemilik sebelumnya.

"Kamu pikir kita bisa mulai dari sini?" Dina bertanya, setengah bercanda.

Rina tersenyum kecil, meskipun masih ada bayang-bayang kecemasan di matanya. "Entahlah. Tapi mungkin kita harus mencoba."

Dan dengan itu, keduanya mengambil langkah pertama mereka ke dalam ketidakpastian. Tidak ada janji kesuksesan, hanya keyakinan bahwa mereka tidak lagi berjalan sendiri.

Related Posts
SHARE

Related Posts

Subscribe to get free updates

Posting Komentar

Sticky Note