Di Posting Oleh : PAKNAI
Kategori : Cerita
"Bapak kerja di mana, Bu?" tanya Arya saat ia masuk ke dapur. Ibunya, yang sedang menumis bawang, hanya mengangkat bahu sambil tersenyum tipis.
"Di luar kota," jawabnya pendek.
Jawaban itu, seperti biasa, mengambang di udara tanpa kepastian.
Arya memandang ke arah pintu depan yang masih sedikit terbuka, seperti mengundang. Selama bertahun-tahun, ia hanya tahu bapaknya pergi setiap pagi sebelum ayam berkokok dan pulang larut malam, sering kali dengan pakaian yang berbau tanah atau kadang minyak. Tidak pernah ada jawaban tentang apa yang dikerjakan bapaknya. Dan kali ini, rasa ingin tahu itu mulai menjadi bara yang membakar di dalam dadanya.
Malamnya, saat bapaknya sudah pulang dan langsung mengunci diri di kamar, Arya memberanikan diri untuk mengintip. Ia menekan telinganya ke pintu kamar yang sedikit retak. Suara samar terdengar—gemerisik kertas, desisan sesuatu yang sulit dipahami, lalu keheningan.
Mata bapaknya mengamatinya sejenak, lalu pintu kembali tertutup. Arya berlari ke kamarnya, dada berdegup. Malam itu, ia memutuskan, ia harus tahu.
Hari-hari berikutnya, Arya mulai mengamati. Ia mencatat jam keberangkatan bapaknya, langkah-langkah kecil apa yang dilakukan sebelum pergi, bahkan cara lelaki itu merapatkan jaket tuanya yang hampir robek di bagian siku. Di suatu pagi, Arya nekat mengikutinya.
Dengan hati-hati, ia menyelinap di balik semak-semak, menunggu bapaknya menjauh sebelum berjalan cepat di belakangnya. Jalur yang diambil bapaknya tidak seperti biasanya—melewati jalan setapak di tepi sungai, lalu masuk ke jalan sempit yang diapit tembok-tembok tinggi. Arya merasa kakinya gemetar, tapi rasa penasarannya lebih kuat daripada rasa takut.
Bapak berhenti di depan sebuah gudang tua yang catnya sudah mengelupas. Ia mengetuk pintu tiga kali, lalu seseorang membukakan pintu dan membiarkannya masuk. Pintu itu tertutup, dan Arya hanya bisa memandangi dari kejauhan.
Ia menunggu lama, namun bapaknya tak kunjung keluar. Saat ia mencoba mendekat untuk mengintip, seseorang menyapanya dari belakang. "Kamu anak siapa? Ngapain di sini?"
Hari berikutnya, Arya menemukan sesuatu yang menggetarkan hatinya. Sebuah kantong plastik hitam tergeletak di bawah meja makan. Isinya, tumpukan uang yang dilipat rapi, bersama sebuah pisau kecil dengan ukiran di gagangnya. Tangan Arya gemetar saat ia meraba benda-benda itu.
"Bapak... pencuri?" bisiknya pada dirinya sendiri, meskipun ia tahu tidak ada jawaban.
Saat malam tiba, Arya kembali mendengar bapaknya bersiap-siap pergi. Ia sudah memutuskan, malam ini ia akan mendapatkan jawaban. Ia mengikuti bapaknya lagi, namun kali ini ia membawa keberanian yang lebih besar.
Bapaknya berjalan lebih jauh dari biasanya, menembus gang-gang gelap yang membuat bulu kuduk Arya meremang. Akhirnya, lelaki itu berhenti di depan sebuah rumah besar dengan jendela-jendela gelap. Ia melihat bapaknya melongok ke dalam, lalu merogoh sesuatu dari dalam jaketnya—kunci.
Arya menahan napas. Ia melihat bapaknya membuka pintu perlahan, melangkah masuk tanpa suara. Dengan jantung berdebar, Arya mendekat dan mengintip dari celah pintu.
Di dalam, bapaknya berjalan pelan, seperti bayangan yang menyelinap di antara furnitur mahal. Ia membuka laci-laci, mengambil sesuatu—entah apa.
Tiba-tiba, suara dari lantai atas terdengar. Langkah kaki seseorang mendekat. Bapaknya membeku, lalu berlari ke arah pintu. Arya langsung menyembunyikan diri, menahan napas saat bapaknya keluar dan melesat ke dalam bayang-bayang malam.
Arya tidak bisa bergerak. Apakah ia baru saja melihat bapaknya mencuri? Apa yang harus ia lakukan sekarang?
Ia pulang dengan hati kacau, namun ketika tiba di rumah, ia mendapati bapaknya sudah duduk di meja makan, menatapnya dengan wajah yang tak bisa dibaca. Di depan bapaknya, ada kantong plastik hitam yang sama seperti yang ia temukan pagi tadi.
Namun, sebelum bapaknya sempat bicara, ketukan keras di pintu depan menggema di seluruh rumah. Arya menoleh dengan kaget, namun bapaknya tetap duduk, wajahnya tegang. "Kamu ke kamar," perintahnya dengan suara dingin.
Ketukan itu berubah menjadi gedoran. Arya mundur, lalu berlari ke kamarnya, menutup pintu rapat-rapat. Dari celah jendela, ia melihat cahaya lampu senter menari-nari di halaman.
Di dalam kamar, Arya memeluk lututnya. Pikirannya dipenuhi pertanyaan. Apakah bapaknya seorang pencuri? Ataukah semua ini hanya salah paham? Namun, apa pun jawabannya, sejak malam itu, hidupnya tidak akan pernah sama lagi.
Di luar, suara gaduh terus terdengar. Arya memejamkan mata, namun ia tahu, pertanyaan yang membakar di dadanya tidak akan pernah terjawab sepenuhnya—atau mungkin, ia sebenarnya tidak ingin tahu jawabannya.
Posting Komentar
Posting Komentar