n1ljWYmZyLaHa1TMPYBBtiqVcQolSr0KLMIOwgVb

Cari Blog Ini

Laporkan Penyalahgunaan

Mengenai Saya

Jejak Sepatu di Lorong Malam

Jejak Sepatu di Lorong Malam
Di Posting Oleh : PAKNAI
Kategori : Cerita

cerita pendek
 Suara gerimis mengetuk atap seng dengan irama resah, seolah menggambarkan apa yang ada di hati Rian malam itu. Ia berdiri di depan kios kecil di sudut gang, menggenggam erat uang lusuh senilai lima puluh ribu rupiah di tangannya. Uang itu adalah sisa terakhir dari hasil kerja serabutan sebagai kuli angkut di pasar pagi. Angin malam menyelinap dingin ke tubuhnya yang hanya dibalut kaos tipis. Pandangannya terbelah antara dua pilihan yang menghantui: membeli beras atau sepatu untuk Dika, anak semata wayangnya.

Esok, Dika akan mengikuti lomba lari di sekolah. Anak itu sudah lama mengidam-idamkan sepatu olahraga baru, menggambar bentuknya di sudut-sudut buku pelajaran. Namun, beras di rumah habis sejak kemarin sore. Perut mereka kosong, hanya diisi dengan air hangat dan janji-janji Rian yang entah kapan bisa ditepati.

“Bagaimana jika dia mencuri sepatu?” Pertanyaan itu berdesir tiba-tiba di kepalanya, menghantam logikanya seperti gelombang ganas.

Rian menggigit bibir, menatap ke arah toko sepatu di ujung jalan besar yang remang-remang. Lampu neon toko itu berkedip-kedip, memanggilnya dengan godaan samar. Jam menunjukkan pukul sembilan malam, dan toko itu hampir tutup. Pemiliknya sudah dikenal Rian, seorang lelaki tua yang sering berbicara sinis kepada pelanggan miskin.

Tanpa sadar, Rian melangkah menuju toko itu. Gerimis semakin deras, membuat langkahnya nyaris tak terdengar di atas aspal yang basah. Tangan kanannya menggenggam erat uang lima puluh ribu, sedangkan tangan kirinya masuk ke dalam saku celana, meraba-raba sesuatu yang tidak nyata: keberanian untuk melakukan sesuatu yang salah.


Rian berdiri di depan etalase toko. Sepasang sepatu biru dengan garis putih mencolok terpampang di sana, seolah menatapnya kembali. Sepatu itu terlihat ringan dan kokoh, sempurna untuk Dika yang sering berlari tanpa alas kaki di tanah berbatu. Harga yang tertera di bawahnya membuat hati Rian tenggelam. Dua ratus ribu.

“Ada yang bisa dibantu?” Suara pemilik toko membuyarkan lamunannya.

Rian mengangkat kepala. Lelaki tua itu berdiri di balik meja kasir, mengenakan kemeja kusam dengan kancing yang hilang di bagian atas. Tatapannya penuh curiga, seolah ia tahu niat yang tersimpan di hati Rian.

“Ah… saya hanya lihat-lihat,” jawab Rian gugup, suaranya hampir tenggelam oleh derasnya hujan.

Pemilik toko mendengus, kembali ke kursinya tanpa berkata apa-apa.

Rian menatap sekeliling toko. Tidak ada pelanggan lain. Jam di dinding menunjukkan pukul sembilan lewat sepuluh menit. Lelaki tua itu mulai merapikan barang dagangannya, bersiap untuk menutup toko.

“Bagaimana jika dia mencuri sepatu?” Pertanyaan itu kembali menggema, kali ini lebih lantang, lebih menusuk.

Rian menelan ludah. Ia tahu itu salah. Ia tahu risikonya. Tapi ia juga tahu, senyum Dika yang penuh harap saat mengucapkan, “Ayah, aku pasti menang kalau punya sepatu baru,” tidak akan bisa ia jawab hanya dengan alasan kemiskinan.

Rian memutuskan untuk tetap tinggal, pura-pura melihat-lihat sepatu lainnya. Ia berjalan perlahan ke sudut toko, memperhatikan rak demi rak dengan perhatian palsu. Matanya terus melirik pemilik toko yang sibuk membungkus beberapa pasang sepatu di meja kasir.

Tiba-tiba, listrik padam. Toko itu gelap gulita, hanya disinari cahaya temaram dari lampu jalan di luar. Pemilik toko mengumpat pelan, meraba-raba meja untuk mencari senter.

Saat itulah, jantung Rian berdegup kencang. Ini kesempatan.

Dengan tangan gemetar, ia meraih sepatu biru yang diidamkan Dika. Sepatu itu terasa ringan di tangannya, tapi berat di hati. Ia memasukkannya ke dalam jaketnya yang longgar, lalu melangkah perlahan menuju pintu keluar.

Namun, langkahnya terhenti oleh suara pemilik toko.

“Hei! Kamu ngapain di situ?”

Rian membeku. Tubuhnya kaku seperti patung. Ia tidak berani menoleh, tidak berani menjawab. Pemilik toko mendekat, membawa senter kecil yang sinarnya menusuk ke arah Rian.

“Buka jaketmu,” perintah lelaki tua itu dengan nada curiga.

Rian tahu dia tidak punya jalan keluar. Tangan kirinya meraba-raba kantong, mencari sesuatu—apa saja—yang bisa menyelamatkannya. Jari-jarinya menyentuh pisau kecil yang biasa ia gunakan untuk bekerja di pasar.

“Jangan sampai aku gunakan ini,” pikirnya, tapi ketakutan telah menguasai.


Pemilik toko semakin mendekat. Rian mundur selangkah, lalu dua langkah, sampai punggungnya menyentuh rak di belakangnya. Pisau kecil itu kini tergenggam erat di tangannya, tersembunyi di balik jaket.

“Buka jaketmu!” Pemilik toko kembali berteriak, kali ini lebih keras.

Dalam sekejap, semuanya terjadi begitu cepat. Rian mendorong rak di belakangnya dengan seluruh kekuatannya, membuat barang-barang di atasnya berjatuhan dan menciptakan kekacauan. Pemilik toko terkejut, kehilangan keseimbangan, dan jatuh terduduk.

Rian berlari keluar toko, menerobos hujan yang semakin deras. Sepatu di dalam jaketnya bergoyang mengikuti langkahnya yang tergesa-gesa. Ia tidak menoleh ke belakang, tidak peduli pada suara teriakan pemilik toko yang semakin mengecil di kejauhan.

Sesampainya di rumah, Rian terengah-engah. Ia membuka jaketnya dan menatap sepatu itu dengan campuran lega dan ketakutan. Sepatu biru itu terlihat begitu sempurna, begitu tak tersentuh oleh noda dosa yang baru saja ia lakukan.

Dika berlari keluar dari kamar kecil mereka, matanya berbinar melihat apa yang dipegang ayahnya.

“Sepatu baru, Yah?” tanyanya dengan suara penuh kebahagiaan.

Rian mengangguk, mencoba tersenyum meski dadanya terasa sesak.

“Besok aku pasti menang, Yah. Terima kasih,” ujar Dika sambil memeluk ayahnya erat-erat.

Namun, malam itu Rian tidak bisa tidur. Hatinya terus bergulat dengan rasa bersalah. Bagaimana jika pemilik toko melaporkannya? Bagaimana jika polisi datang? Bagaimana jika Dika tahu kebenarannya?

Keesokan paginya, Dika berangkat ke sekolah dengan semangat menggebu. Rian hanya bisa mengantar dari jauh, takut bertemu tetangga atau orang-orang yang mungkin mendengar tentang kejadian di toko sepatu tadi malam.

Namun, saat ia kembali ke rumah, suara ketukan keras di pintu membuatnya terlonjak.

“Rian! Kami tahu kau ada di dalam!” Suara itu dingin, tegas, penuh ancaman.

Rian berdiri mematung di tengah ruangan, tubuhnya gemetar. Ia tahu ini adalah akhir dari pelariannya. Tapi ia tidak tahu apakah akhir ini juga berarti kehancuran bagi Dika.

Ketukan itu semakin keras, semakin tak sabar. Rian menarik napas panjang, melangkah perlahan ke arah pintu. Namun sebelum ia sempat membukanya, pandangannya tertuju pada foto Dika di dinding. Senyum anak itu seolah memberinya kekuatan terakhir untuk mengambil keputusan.

Ia menggenggam gagang pintu, membukanya perlahan, dan…

(…)

Related Posts
SHARE

Related Posts

Subscribe to get free updates

Posting Komentar

Sticky Note