n1ljWYmZyLaHa1TMPYBBtiqVcQolSr0KLMIOwgVb

Cari Blog Ini

Laporkan Penyalahgunaan

Mengenai Saya

Bayangan di Malam Hari

Bayangan di Malam Hari
Di Posting Oleh : PAKNAI
Kategori : Cerita

cerita pendek
Suara tangisan itu datang lagi. Lirih, seolah-olah dibungkus oleh malam yang berat, namun cukup jelas untuk membangunkan Arya dari tidurnya. Ia membuka mata, menoleh ke sisi ranjang, tempat istrinya, Ratna, tidur dengan punggung menghadapnya. Ia mengintip jam dinding—pukul 2.45 pagi. Tangisan itu berasal dari kamar sebelah, kamar anak mereka, Sita. Arya bangkit, meraih sandal rumahnya, dan melangkah menuju pintu.

Di ambang kamar, ia berhenti. Cahaya bulan yang masuk melalui celah jendela menerangi tubuh kecil yang duduk di atas tempat tidur. Sita menangis dengan suara pelan, bahunya bergerak-gerak mengikuti isaknya. Arya tersenyum tipis, setengah lega dan setengah bingung. Ia melangkah mendekat.

“Ada apa, Nak?” tanyanya lembut, berlutut di samping tempat tidur.

Sita mengangkat wajahnya. Mata anak itu sembab, tetapi tatapannya kosong, seolah menembus Arya. Ia mengangkat tangannya, seolah meminta digendong. Arya segera meraih anaknya, tetapi suara keras dari belakang menghentikan gerakannya.

“Jangan!” Ratna berdiri di ambang pintu. Wajahnya pucat, rambutnya berantakan. “Jangan gendong dia!” katanya, hampir berteriak.

Arya tertegun. “Ratna, dia menangis. Dia butuh aku—”

“Jangan,” ulang Ratna, nadanya lebih tegas kali ini. Ia berjalan cepat, mendekat, dan menarik Arya menjauh dari Sita. “Biarkan dia sendiri.”

Arya tak pernah memahami alasan Ratna melarangnya. Sejak Sita lahir, Ratna selalu melarangnya menggendong anak mereka, selalu dengan alasan yang tak jelas. Ia mendengar suara Ratna melantunkan doa di kamar itu setelah ia dipaksa keluar.

Di ranjang mereka, Arya berusaha tidur kembali, tetapi tangisan Sita terus terdengar di telinganya. Ia merasa ada yang aneh—sebuah rahasia yang disembunyikan Ratna darinya.

Hari-hari berikutnya, larangan Ratna semakin tegas. Arya mulai menyimpan kemarahan dalam dirinya. Ia ingin memeluk anaknya, menggendong Sita seperti ayah-ayah lain. Namun setiap kali ia mencoba mendekat, Ratna selalu muncul, seperti bisa membaca pikirannya.

“Dia hanya anak kecil,” protes Arya suatu malam.

Ratna menunduk, matanya tak berani menatap Arya. “Kamu tidak akan mengerti.”

“Lalu buat aku mengerti! Apa salahnya kalau aku memeluk anakku sendiri?”

Ratna terdiam lama. Kemudian, dengan suara pelan, ia berkata, “Ada hal-hal yang lebih besar daripada cinta seorang ayah, Arya.”

Jawaban itu tidak memuaskan Arya. Ia mulai mencari jawaban sendiri. Ia mengamati Ratna dengan seksama, memperhatikan bagaimana istrinya seringkali melirik Sita dengan pandangan takut. Ia mendengar Ratna membaca doa-doa panjang di malam hari, seperti orang yang sedang memohon perlindungan.

Suatu malam, Arya memutuskan untuk mengabaikan larangan Ratna. Saat ia mendengar Sita menangis, ia bangkit diam-diam dan menuju kamar anaknya. Ia menemukan Sita di sudut kamar, duduk di lantai. Wajahnya setengah tertutup bayangan, tetapi tangisannya berhenti saat Arya masuk.

“Ayah di sini, Sita,” bisik Arya, melangkah mendekat. Kali ini, ia tidak akan ragu. Ia meraih tubuh kecil itu, mengangkatnya ke dalam pelukannya.

Tapi sesuatu terasa salah.

Tubuh Sita terasa dingin, lebih dingin dari udara malam yang menusuk. Tubuh kecil itu kaku, seperti memeluk patung es. Dan kemudian Sita mengangkat wajahnya, menatap Arya dengan senyum yang tak wajar, senyum yang terlalu lebar untuk ukuran wajah anak kecil.

“Ayah sudah terlambat,” kata Sita dengan suara yang bukan miliknya.

Arya membeku. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Ratna tiba-tiba muncul di pintu, berteriak sambil memanggil namanya. Tapi Arya tidak bisa bergerak, tidak bisa melepaskan Sita dari pelukannya. Dunia di sekitarnya seolah memudar, dan ia hanya bisa melihat wajah anaknya yang tersenyum dingin.

Arya terbangun dengan keringat dingin membasahi tubuhnya. Ia kembali berada di ranjang, dengan Ratna duduk di sampingnya, menggenggam tangannya erat-erat. Ia menatap istrinya, yang wajahnya penuh kecemasan.

“Kamu... kamu tidak boleh menggendongnya lagi,” kata Ratna, suaranya hampir seperti bisikan. “Sita bukan lagi... dia bukan lagi Sita.”

Arya menatap istrinya dengan bingung. “Apa maksudmu? Dia anak kita.”

Ratna menggeleng. Ia mulai menangis, air mata mengalir tanpa henti. “Aku tidak pernah ingin memberitahumu. Aku tidak ingin kamu tahu. Tapi Sita... dia sudah pergi, Arya. Sudah lama.”

Kata-kata itu menghantam Arya seperti palu. Ia tidak percaya. Ia menatap ke arah kamar Sita, yang pintunya sedikit terbuka. “Tidak mungkin,” gumamnya. “Aku baru saja menggendongnya. Aku baru saja—”

Ratna menutup mulutnya dengan tangannya. “Kamu hanya melihat bayangannya. Sita meninggal lima tahun lalu, Arya. Saat kamu bekerja malam itu. Aku tidak pernah memberitahumu karena aku tahu kamu tidak akan sanggup menerimanya.”

Arya berdiri. Ia tidak bisa mendengar lagi. Ia berjalan menuju kamar Sita, membuka pintunya lebar-lebar. Kamar itu kosong. Tidak ada tempat tidur, tidak ada boneka, tidak ada jejak anak kecil. Hanya ruangan kosong dengan dinding yang berdebu.

“Aku tidak percaya ini,” kata Arya, berbalik ke arah Ratna yang berdiri di ambang pintu. “Aku mendengarnya menangis setiap malam. Aku melihatnya. Aku menggendongnya!”

Ratna menangis lebih keras. “Itu bukan Sita. Itu hanya bayangan, Arya. Bayangan yang menolak pergi.”

Arya memejamkan matanya, mencoba memahami semuanya. Namun di tengah kesunyian malam itu, ia mendengar suara yang membuat darahnya membeku: suara tangisan Sita, pelan, memanggil-manggilnya dari kamar kosong itu.

“Ayah...”

Arya menoleh perlahan. Di sudut kamar yang gelap, ia melihat bayangan tubuh kecil. Sita berdiri di sana, memandangnya dengan mata yang tak lagi memiliki kehidupan.

“Bagaimana jika dia ternyata hantu?” pikir Arya dalam keheningan yang memekakkan telinga.

Langkahnya mundur perlahan, tetapi suara itu semakin mendekat. “Ayah, kenapa tidak mau menggendongku lagi?”

Ratna menarik tangannya, memaksanya keluar dari kamar. Ia menutup pintu dengan keras dan merapal doa-doa yang semakin kacau. Arya berdiri di sana, tubuhnya gemetar, pikirannya dipenuhi pertanyaan yang tak mampu ia jawab.

Di luar, malam semakin sunyi, tetapi tangisan itu terus terdengar, seolah-olah berasal dari tempat yang tak dapat dijangkau. Arya menatap pintu kamar dengan tatapan kosong. Ia tahu sesuatu telah berubah, tetapi ia tak tahu apa yang harus dilakukan.

Dan suara itu terus memanggil.

Related Posts
SHARE

Related Posts

Subscribe to get free updates

Posting Komentar

Sticky Note