n1ljWYmZyLaHa1TMPYBBtiqVcQolSr0KLMIOwgVb

Cari Blog Ini

Laporkan Penyalahgunaan

Mengenai Saya

Di Ambang Cahaya

Di Ambang Cahaya
Di Posting Oleh : PAKNAI
Kategori : Cerita

cerita pendek

 Malam menggantung berat di atas langit Jakarta. Gerimis tipis membasahi jalanan, memantulkan lampu jalan yang temaram. Di ujung gang sempit, Ardi berdiri di depan masjid kecil yang kusam, napasnya pelan tapi berat. Hujan yang membasahi wajahnya bercampur dengan keringat dingin. Tangan kanannya gemetar, memegang tasbih kayu yang baru saja ia beli di pasar minggu lalu. Langkahnya ragu-ragu.

"Ardi? Lo beneran mau sholat, Di?" Tanya suara dari belakangnya. Itu Beni, sahabat lamanya yang masih akrab dengan dunia kelam. Dia merapatkan jaket kulitnya sambil menggigil, rokok yang terselip di bibirnya menyala merah di kegelapan.

Ardi menoleh perlahan. Mata mereka bertemu, tapi Ardi tidak menjawab. Ia hanya mengangguk kecil sebelum akhirnya masuk ke dalam masjid. Bau karpet tua bercampur debu menyambutnya. Di sana hanya ada dua orang tua yang sibuk berzikir, suara lirih mereka bergema lembut.

Setelah salam, Ardi duduk di pojok masjid, menatap hampa pada dinding yang mulai retak. Ia memejamkan mata, mencoba mencari kekuatan. Bayangan masa lalu menyeruak tanpa ampun. Jeritan korban, suara tembakan, dan wajah-wajah orang yang pernah ia khianati berkelebat di benaknya. Ia membuka matanya lagi, napasnya memburu.

"Gue nggak bisa terus begini," bisiknya pada diri sendiri. Namun, bagaimana caranya membawa teman-temannya ke jalan yang sama? Pikiran itu mengganggu, berputar seperti gasing di kepalanya.

Hari itu, Ardi memutuskan untuk menemui teman-teman lamanya. Ia tahu, jika dirinya ingin berubah sepenuhnya, ia harus mengajak mereka juga. Tanpa mereka, dosa yang ia bawa terasa belum terangkat.

Di sebuah kafe kecil di pinggir kota, Ardi duduk menghadap tiga orang. Beni, Reno, dan Jamal. Mereka adalah bagian dari masa lalunya. Masih mengenakan pakaian mencolok dan tertawa dengan suara keras, seakan dunia ini milik mereka.

"Kenapa lo manggil kita, Di?" Reno membuka percakapan sambil memutar gelas kopinya.

Ardi menunduk sejenak, lalu mengangkat wajahnya. Ada keberanian di sana, meskipun ia tahu risikonya besar.

"Gue mau kita berhenti. Udahan. Dunia kita yang dulu, itu salah." Kata-katanya pelan, tapi setiap hurufnya menggantung di udara, membuat suasana menjadi berat.

Ketiganya terdiam. Mereka saling pandang sebelum meledak dalam tawa keras. Jamal bahkan sampai memukul meja.

"Lo ngelawak ya? Lo beneran serius ngomong ini?" Beni menyandarkan tubuhnya ke kursi, rokok di tangannya mengepul pelan.

"Gue serius," jawab Ardi. Tatapannya tak bergeming. "Kita nggak bisa terus begini. Gue udah capek. Gue udah liat terlalu banyak orang yang hancur gara-gara kita. Ini salah, Ben. Salah besar."

Wajah Beni berubah, tawanya memudar perlahan. Tapi bukan karena ia setuju. Ada kemarahan di sana, kemarahan yang ditekan bertahun-tahun.

"Jadi lo mau kita jadi apa? Jadi kayak lo? Rajin sholat, jalan lurus? Buat apa? Surga? Jangan naif, Di! Dunia kita nggak ada jalan mundur!"

"Ada," Ardi memotong tegas. "Selalu ada jalan. Gue udah mulai. Kita bisa mulai bareng-bareng."

Reno mengangkat tangan, menghentikan percakapan. "Denger, Di. Lo temen gue. Kita semua udah kayak saudara. Tapi kalo lo maksa kita buat ikut jalan lo, itu nggak bakal berhasil. Dunia kita beda."

Ardi hanya diam. Ketika mereka bangkit dan meninggalkan meja satu per satu, ia tidak mencoba mengejar. Tapi hatinya terasa berat, seperti tertindih batu besar. Ia memandang tasbih di tangannya, memainkannya pelan sambil menggumamkan doa.

Malam berikutnya, Ardi memutuskan langkah yang lebih ekstrem. Ia menunggu mereka di gudang tua, tempat mereka biasa berkumpul untuk menyusun rencana pekerjaan kotor. Lampu redup di dalam gudang memancarkan bayangan menyeramkan. Ia duduk di kursi kayu reyot, tasbih masih di tangannya.

Saat mereka tiba, ekspresi mereka langsung berubah. Beni terlihat geram, Reno dan Jamal terlihat lebih waspada.

"Apa lagi sekarang?" Beni mendekat, suaranya rendah tapi mengancam.

Ardi berdiri perlahan, tubuhnya yang kurus terlihat kecil di hadapan mereka. Tapi ada sesuatu di matanya yang membuat mereka tidak langsung melangkah lebih jauh.

"Gue nggak akan berhenti sampai lo semua ngerti. Ini soal hidup dan mati, Ben. Gue nggak peduli lo nggak suka, tapi lo harus denger."

"Ardi, berhenti. Serius, berhenti," Reno memperingatkan, tapi Ardi sudah melanjutkan.

"Kalian mau sampai kapan hidup begini? Sampai kapan lo ngerusak hidup orang lain buat keuntungan sendiri? Gue nggak peduli kalo lo semua nggak percaya sama Tuhan atau surga, tapi pikirin ini: lo mau mati dengan cara ini?"

"Gue nggak takut mati!" Suara Beni meledak, tapi ada getaran samar di sana.

Ardi mendekat, pelan tapi pasti. "Lo nggak takut sekarang. Tapi nanti? Ketika lo sendirian, tanpa apa-apa, lo akan takut. Gue tau itu, Ben."

Ketegangan memuncak. Jamal mengeluarkan pisau kecil dari sakunya, berjaga-jaga. Ardi tidak mundur. Ia berdiri diam, menatap mereka satu per satu.

"Gue nggak akan nyerah," ucapnya akhirnya. "Tapi gue juga nggak bisa maksa lo. Pilihan ini cuma bisa lo ambil sendiri. Gue cuma mau lo semua tahu: masih ada waktu."

Beni membuang napas panjang, menunduk sebentar. Jamal menyimpan pisaunya kembali. Reno memalingkan wajah, menatap dinding gudang yang penuh coretan.

Ardi melangkah mundur, lalu pergi tanpa sepatah kata lagi. Tapi langkahnya terasa berat, seolah setiap tapak menggali kuburan bagi dirinya sendiri. Ia tahu, tindakannya hari itu mungkin akan membawa konsekuensi besar.

Malam itu, Ardi berdiri sendirian di jembatan kota, memandang sungai hitam yang mengalir tenang. Ia menggenggam tasbihnya erat, mulutnya bergerak-gerak dalam doa. Dari kejauhan, bayangan tiga orang mendekat perlahan.

"Apa lo pikir kita bakal bener-bener ninggalin ini semua?" Suara Beni terdengar samar dalam deru angin malam.

Ardi tidak menoleh. Ia hanya menatap sungai, membiarkan pertanyaan itu menggantung di udara.

Bagaimana jika mereka memilih tetap di jalan mereka? Bagaimana jika, pada akhirnya, semua ini sia-sia?

Ardi memejamkan mata, tapi jawabannya tetap kabur, seperti bayangan bulan yang pecah di atas permukaan air.

Related Posts
SHARE

Related Posts

Subscribe to get free updates

Posting Komentar

Sticky Note