Di Posting Oleh : PAKNAI
Kategori : Cerita
“Jadi, kita bisa tambahkan sesi berbagi pengalaman pribadi di akhir acara. Itu akan memberi kesan mendalam untuk peserta,” ujar Rahma, suaranya bergetar tetapi penuh semangat.
Naufal tidak mengangkat pandangannya. Ibu jari tangannya bergerak cepat di layar. “Terlalu rumit. Kita cukup pasang dekorasi, panggil MC, dan selesai. Jangan bikin repot.”
Rahma menggigit bibirnya, mencoba menahan amarah. Matanya melirik teman-teman panitia lain yang duduk di sekitar meja. Beberapa tampak canggung, beberapa terlihat lelah, tapi tidak ada yang berbicara. Suasana terasa seperti perang dingin.
“Tapi ini acara terakhir sebelum kita lulus, Naufal. Apa tidak sebaiknya kita membuat sesuatu yang bisa dikenang? Sesuatu yang punya arti?” Rahma mencoba lagi, meski dia tahu dia akan bertemu tembok.
Naufal mengangkat bahu. “Yang penting selesai. Peserta senang, panitia nggak pusing. Lagian, siapa yang mau repot-repot mengenang acara kayak gini?”
Kalimat itu menusuk Rahma seperti pisau. Dia menatap Naufal dengan tatapan kosong, mencoba mencari secercah rasa peduli di wajah pemuda itu. Tidak ada. Hanya ada keacuhan yang dingin.
Hari-hari berikutnya, Rahma mencoba menghidupkan kembali harapannya. Dia mendatangi satu per satu anggota panitia, meyakinkan mereka untuk mendukung idenya. Namun, setiap kali dia menyebut nama Naufal, wajah mereka berubah tegang.
“Aku setuju sama idemu, Rahma, tapi... aku nggak mau berurusan sama Naufal. Dia bisa marah-marah kalau kita jalan tanpa persetujuannya,” kata salah satu anggota panitia dengan nada rendah.
Rahma mulai merasa terjebak. Naufal mengendalikan semuanya dengan sikap santainya yang tidak peduli, dan tidak ada yang cukup berani untuk melawan. Ketika akhirnya Rahma mencoba bicara lagi di rapat berikutnya, dia malah dipermalukan di depan semua orang.
“Rahma, kamu ini kenapa sih? Jangan sok idealis. Kita ini panitia, bukan artis yang mau bikin pertunjukan masterpiece,” ucap Naufal sambil tertawa kecil. Tawa itu disambut beberapa anggota lain yang tampaknya lebih memilih menghindari konflik daripada memihak.
Rahma keluar dari ruangan dengan hati yang berat. Di lorong yang sepi, dia menyandarkan kepala ke dinding dingin. Napasnya pendek-pendek. Matanya berkaca-kaca.
“Kenapa harus seperti ini? Kenapa tidak ada yang peduli?” bisiknya pada dirinya sendiri.
Di tengah kegalauannya, sebuah ide liar mulai merayap masuk ke pikirannya. Rahma membayangkan bagaimana rasanya jika Naufal tidak lagi punya kendali. Bagaimana jika dia menunjukkan kepada semua orang bahwa Naufal tidak pantas menjadi ketua?
Malam itu, Rahma duduk di kamarnya, menatap layar laptop yang bercahaya redup. Dia telah menghabiskan waktu berjam-jam menyusun sebuah rencana. Tangan Rahma sedikit gemetar saat dia mengetik pesan anonim yang akan dia kirimkan kepada anggota panitia lain. Pesan itu berisi tuduhan bahwa Naufal menggunakan dana acara untuk keperluan pribadi. Tuduhan itu memang tidak sepenuhnya benar, tapi Rahma tahu betul bagaimana memutar fakta kecil menjadi sesuatu yang terlihat meyakinkan.
Ketika hari rapat berikutnya tiba, suasana di ruangan terasa berat. Bisik-bisik memenuhi udara. Rahma duduk di pojok ruangan, memperhatikan Naufal yang terlihat lebih gelisah dari biasanya. Sesekali, dia memandang sekeliling, seolah mencoba membaca pikiran orang-orang.
“Siapa yang nyebar gosip nggak jelas kayak gini?” Suara Naufal memecah keheningan. Nada suaranya lebih tinggi dari biasanya, hampir seperti panik.
Rahma menunduk, menyembunyikan senyum kecil yang tumbuh di sudut bibirnya.
Namun, rencananya tidak berhenti di situ. Dia telah menyusun langkah berikutnya. Di akhir rapat, saat Naufal sedang merapikan barang-barangnya, Rahma mendekatinya dengan wajah polos.
“Naufal, aku tahu ini pasti berat buat kamu. Aku nggak percaya semua tuduhan itu. Kalau kamu butuh bantuan buat buktiin kamu nggak bersalah, aku bisa bantu,” ucapnya dengan nada tulus.
Naufal memandangnya dengan sorot mata yang sulit dibaca. Dia tidak mengatakan apa-apa, hanya mengangguk pelan sebelum pergi meninggalkan ruangan.
Di saat yang sama, Rahma merasakan dorongan rasa bersalah. Tapi dia segera menepisnya. Baginya, ini adalah satu-satunya cara untuk membuat Naufal mundur dari posisinya. Jika Naufal menyerah, dia bisa mengambil alih dan menjalankan acara sesuai dengan visinya.
Hari acara tiba. Dekorasi yang sederhana tapi elegan memenuhi aula. Rahma sibuk mengatur persiapan, memastikan semuanya berjalan lancar. Di sudut ruangan, dia melihat Naufal berdiri dengan ekspresi datar. Tuduhan itu tidak pernah terbukti, tapi dampaknya cukup untuk merusak reputasinya. Dia tetap hadir, namun tidak lagi memegang kendali penuh.
Saat sesi berbagi pengalaman berlangsung, Rahma berdiri di panggung, memandang peserta yang duduk di depannya. Ada senyum puas di wajahnya, tapi di dalam, hatinya bergolak. Suara tawa dan tepuk tangan mengisi ruangan, namun Rahma merasa kosong.
Setelah acara selesai, Naufal mendekatinya. Dia tidak lagi terlihat sombong seperti biasanya. Mata mereka bertemu sejenak, dan Rahma merasakan sorot mata itu seperti cermin yang memantulkan kesalahannya sendiri.
“Selamat. Acara ini sukses,” kata Naufal singkat sebelum pergi.
Rahma hanya berdiri di sana, diam. Ada sesuatu yang belum selesai, sesuatu yang tidak bisa dihapus oleh tepuk tangan atau pujian. Apa yang sebenarnya dia cari? Dan apakah ini layak?
Pertanyaan itu terus menggantung di udara, mengikuti Rahma seperti bayangan.
Posting Komentar
Posting Komentar