Di Posting Oleh : PAKNAI
Kategori : Cerita
Dia mengerahkan seluruh tenaganya untuk menyeret ember, menyekat air yang merembes dari bawah pintu. Namun, setiap gayung yang dia buang ke saluran pembuangan terasa sia-sia. Air tetap merangkak naik, pelan tapi pasti, seperti monster lapar yang tak kenal ampun.
"Hujan adalah rahmat," kata ibunya dulu, suaranya penuh kelembutan. Namun, rahmat ini telah lama berubah menjadi neraka bagi Rosi. Sudah tiga tahun sejak banjir pertama melanda rumah kecil peninggalan almarhum ayahnya, dan sejak itu setiap hujan deras adalah pertarungan tanpa akhir. Tapi kali ini, hujan datang lebih garang, lebih liar.
Ketukan keras di pintu memecah pikirannya. Rosi membuka pintu, dan di sana berdiri seorang pria dengan mantel hujan lusuh, wajahnya setengah tertutup oleh bayangan dari kap penutup kepala.
"Mbak Rosi, air dari kali sudah mulai meluap," kata pria itu, suaranya datar, hampir tanpa emosi. "Sebaiknya Mbak segera evakuasi."
Rosi mengangguk tanpa banyak bicara. Dia tahu pria itu, Sukri, salah satu tetangga yang selalu sigap memperingatkan orang-orang di sekitar setiap kali ada potensi banjir besar. Tapi kali ini, Rosi tidak beranjak. Dia hanya menatap pintu yang tertutup lagi, mendengar langkah Sukri menjauh diiringi gemuruh air.
Ada sesuatu di dalam dirinya yang mulai bergolak. Sesuatu yang menuntut lebih dari sekadar bertahan.
Malam itu, air mencapai lutut. Rosi terduduk di sofa tua yang setengah tenggelam, matanya terpaku pada lampu yang berayun pelan di langit-langit. Listrik sudah mati sejak petang, dan rumahnya kini hanya diterangi cahaya lilin kecil di sudut meja. Bayangan bergoyang-goyang di dinding, menciptakan ilusi bentuk-bentuk aneh yang terus berubah.
Dia memejamkan mata, mendengar bunyi tetesan dari plafon yang mulai bocor, derasnya air dari selokan, dan angin yang berteriak memaksa masuk. Di sela-sela itu, terdengar gemerisik suara yang lain. Bukan dari luar, tapi dari dalam pikirannya sendiri.
Kenapa harus begini? Kenapa hujan yang disebut rahmat justru menjadi penghukuman?
Rosi teringat masa kecilnya, saat ibunya mengajarinya berdoa setiap kali hujan turun. Dengan tangan kecil yang saling bertaut, mereka memohon rezeki, kesuburan, dan perlindungan. Ibunya selalu tersenyum, yakin bahwa hujan membawa kebaikan. Tapi keyakinan itu perlahan terkikis, bersama setiap banjir yang menghancurkan barang-barang, menghanyutkan kenangan, dan menyisakan trauma.
Air makin tinggi, dan Rosi mulai merasakan dinginnya menusuk tulang. Dengan langkah berat, dia meraih tas yang sudah dipersiapkan sejak awal musim penghujan. Tapi, kali ini dia tak segera melangkah keluar. Matanya terpaku pada jendela. Di luar, hujan turun tanpa belas kasihan.
Bagaimana jika hujan bukan rahmat? pikirnya tiba-tiba. Pikiran itu menggigit lebih tajam daripada dinginnya air di kakinya. Bagaimana jika hujan adalah kutukan?
Rosi membiarkan pikirannya liar, membayangkan setiap tetes air yang jatuh sebagai simbol kebencian. Pada siapa? Entahlah. Mungkin pada dirinya sendiri. Pada rumah ini. Pada semua doa yang dulu pernah dia panjatkan.
Dia membuka pintu belakang, menatap air yang berputar-putar seperti pusaran kecil di selokan. Satu ide gila melintas di kepalanya. Dia mengambil sekop tua yang tersandar di dinding gudang. Dengan tenaga yang entah dari mana datangnya, dia mulai menggali di tanah belakang rumahnya yang sudah berlumpur.
Hujan masih deras saat lubang itu selesai. Napas Rosi tersengal-sengal, tubuhnya basah kuyup dan berlumur lumpur. Lubang itu cukup besar, cukup dalam untuk menampung sesuatu yang lebih dari sekadar air. Dia berdiri di tepinya, menatap ke dalam dengan mata yang penuh teka-teki. Lubang itu seperti mulut hitam yang terbuka, menunggu untuk diberi makan.
Apa yang akan kau lakukan, Rosi? suara dalam dirinya bertanya. Tapi dia tidak menjawab. Dia hanya mengambil satu langkah kecil, lalu satu lagi, mendekati pinggiran lubang.
Tiba-tiba, suara ketukan di pintu terdengar lagi. Lebih keras kali ini, lebih mendesak. Sukri memanggil dari luar, suaranya hampir tertelan oleh hujan.
"Mbak Rosi! Mbak Rosi! Air sudah sampai jalan utama, ayo cepat keluar!"
Tapi Rosi tidak bergerak. Dia menatap lubang itu dengan tatapan kosong, tangan gemetar memegang sekop. Di matanya, lubang itu bukan sekadar lubang. Itu adalah simbol perlawanan, tempat dia akan mengubur semua rasa takut, semua kenangan buruk, semua hal yang membuat hujan ini terasa seperti kutukan.
Ketukan Sukri semakin keras. "Mbak! Jangan di situ! Bahaya, Mbak!"
Dengan satu gerakan tiba-tiba, Rosi menjatuhkan sekopnya. Dia berlutut di pinggir lubang, tangannya meraih air yang menggenang di sekitarnya. Dia berbisik pelan, hampir tak terdengar di antara derasnya hujan.
"Kalau memang kau kutukan, maka aku juga akan jadi kutukanmu."
Dan saat itu, sesuatu di dalam dirinya berubah. Sebuah keberanian yang aneh, hampir seperti kegilaan, menyelimuti hatinya. Dia bangkit berdiri, menatap langit yang gelap dengan tatapan menantang.
Ketukan di pintu berhenti. Tidak ada lagi suara dari luar. Hanya hujan, hanya air, hanya dingin yang menusuk tulang. Tapi Rosi tidak peduli. Dia tahu, saat hujan berhenti, sesuatu yang baru akan lahir dari lubang itu. Sesuatu yang dia sendiri belum tahu bentuknya.
Hujan terus turun, menenggelamkan malam dalam gelap. Dan Rosi berdiri di sana, di tepi lubang, menunggu dengan sabar. Apa yang akan datang berikutnya adalah misteri yang hanya hujan yang tahu.
Posting Komentar
Posting Komentar