Di Posting Oleh : PAKNAI
Kategori : Cerita
Hujan pertama malam itu turun dengan derasnya, mengguyur genting dan halaman yang dipenuhi daun-daun kering. Tik! Tik! Tik! Bunyi air yang merembes masuk melalui celah atap memecah keheningan di ruang tengah. Amran berdiri terpaku di depan jendela, matanya menatap butiran-butiran air yang mengalir seperti urat-urat yang menggurat kaca jendela.
"Hujan itu rahmat," suara ibunya terngiang di benaknya, hangat namun asing di tengah ketegangan yang menguasai dadanya. Namun, bagi Amran, hujan tak pernah menjadi rahmat. Di kampungnya, hujan adalah awal dari bencana. Parit-parit kecil akan meluap, menyatu dengan sungai yang menggila, lalu air akan menguasai setiap sudut kehidupan mereka.
Air sudah mulai menggenangi halaman. Amran merasakan desakan di dadanya, sesuatu yang lebih kuat dari sekadar kekhawatiran. Ia meraih ember dan sapu, mencoba mengarahkan air yang mulai masuk dari celah pintu. Tapi langkahnya terhenti saat suara retak terdengar di belakang rumah. Tangannya gemetar. Ia tahu suara itu: tanggul kecil di belakang mulai menyerah.
Hujan terus mengguyur tanpa jeda. Langit gelap seperti menggantungkan beban yang tak kunjung selesai. Amran menghela napas panjang, memandang pintu kamar di mana ibunya tertidur. Ia menggigit bibir, berpikir untuk membangunkannya, namun rasa takut menguasai hatinya. Biarkan, pikirnya. Biarkan ibu menikmati tidur yang damai untuk terakhir kalinya.
Amran menggeretakkan gigi, menyingsingkan celana dan berjalan ke dapur yang sudah mulai terendam. Ia menarik ember lain, berusaha menguras air. Namun, untuk setiap ember yang ia kosongkan, dua ember air baru mengalir masuk. Semakin keras ia berusaha, semakin sia-sia rasanya.
Kilatan petir menyambar di kejauhan, diikuti oleh gemuruh yang mengguncang lantai. Amran tersentak, tangannya basah dan gemetar. Ia merasa kecil, seperti perahu kayu yang terombang-ambing di tengah lautan tanpa tepi. Di luar, air mulai masuk lebih deras. Parit sudah tak terlihat, hanya ada aliran deras yang membawa ranting, plastik, dan lumpur.
"Amran!" suara ibunya tiba-tiba memanggil. Lemah, namun cukup untuk membuat dadanya mencelos.
Ia berlari ke kamar. Di sana, ibunya duduk di ranjang, tubuhnya gemetar, napas tersengal. "Air... sampai mana?"
"Belum tinggi, Bu," jawab Amran, meski ia tahu itu bohong. Air sudah mencapai lutut di ruang tengah.
"Hujan itu rahmat," kata ibunya lagi, seolah mantra itu cukup untuk mengusir rasa cemas. Mata tuanya berkaca-kaca, penuh keyakinan yang bagi Amran tampak seperti kebutaan. "Tuhan tak akan membiarkan kita tenggelam."
Amran ingin percaya. Namun, kenyataan yang ia hadapi setiap tahun selama musim hujan tak memberinya alasan untuk itu.
Malam merambat, tetapi hujan tak menunjukkan tanda akan reda. Amran mencoba menelepon ketua RT, namun sinyal terputus. Semua terasa seperti jebakan: langit, air, dan bumi bekerja sama menekan setiap celah harapan.
Pukul dua dini hari, air sudah mencapai paha. Amran tak punya pilihan selain membangunkan ibunya dan menggendongnya keluar dari kamar. "Kita harus pergi, Bu."
"Kemana?" Ibunya memandangnya dengan tatapan lemah. "Hujan adalah rahmat, Nak. Jangan lawan kehendak-Nya."
"Tapi, Bu…" Amran menghentikan kata-katanya, merasakan tubuh ibunya semakin berat dalam pelukannya. Ia melangkah menuju pintu, membuka kunci, dan menyaksikan dunia yang nyaris lenyap. Rumah-rumah tetangga sudah tenggelam hingga jendela. Pohon-pohon terlihat seperti bayangan kelam yang bergetar di permukaan air.
Ia membawa ibunya ke kursi tinggi di dapur. Ia harus berpikir cepat, tapi pikirannya seperti lumpur: berat dan lamban. Amran memandang genangan yang semakin tinggi, mendengar suara-suara benda yang terbawa arus menghantam tembok rumah.
Dalam kilatan petir, ia melihat sepeda motor tetangga terseret. Amran menghela napas panjang, lalu kembali masuk ke kamar, mencari sesuatu. Sebuah tali tambang tua. Ia mengikatkan tali itu ke pinggangnya, lalu ke kursi tempat ibunya duduk. Jika air naik lebih tinggi, ia bisa menarik ibunya keluar. Setidaknya, itu rencananya.
Namun, air terus naik, dan setiap kali ia mencoba memperbaiki tambang atau membersihkan aliran air, ia bertanya-tanya: "Bagaimana jika hujan ini menenggelamkan kami?"
Ia tidak bisa melawan pertanyaan itu. Dalam pikirannya, ia membayangkan air terus naik, mengisi setiap celah hingga tidak ada lagi ruang untuk bernapas. Bayangan itu membuat tubuhnya menggigil lebih dari air yang dingin. Apakah hujan benar-benar rahmat, ataukah ia adalah hukuman yang perlahan merenggut segalanya?
Menjelang subuh, hujan mulai mereda, tapi air tak kunjung surut. Langit perlahan memucat, tetapi tidak membawa ketenangan. Amran menyandarkan kepala di dinding, matanya memandangi air yang kini hampir mencapai kursi ibunya.
"Nak," suara ibunya pelan, hampir tak terdengar. "Lepaskan saja aku. Pergilah, selamatkan dirimu."
Amran tersentak. "Apa maksud Ibu? Tidak! Kita keluar sama-sama."
"Aku sudah tua, Amran. Hujan ini rahmat. Jika memang waktuku, maka biarkan aku tenggelam dalam rahmat ini."
Amran merasakan amarah, kesedihan, dan ketakutan bercampur menjadi satu. "Ibu salah. Rahmat apa kalau kita mati karenanya?" suaranya pecah, tubuhnya gemetar.
Namun, sebelum ibunya menjawab, suara gemuruh lain terdengar. Amran memandang ke arah pintu dan menyadari bahwa arus mulai membawa benda-benda besar: potongan kayu, tong, bahkan seekor kambing yang mati terhanyut. Air yang semula naik perlahan kini menjadi gelombang kecil yang menghantam dinding rumah.
Amran tahu ia harus bertindak. Dengan segala tenaga, ia menarik ibunya ke atas meja dapur. Air kini mencapai dada. Ia memanjat, memeluk ibunya, menatap langit yang mulai terang.
"Tuhan," ia berbisik, "jika hujan ini rahmat, biarkan aku melihat harinya berhenti. Jika tidak, tenggelamkan aku bersama ibuku."
Air terus naik, tetapi pelan-pelan mulai melambat. Suara gemuruh berkurang, menyisakan denting air yang menjatuhi genangan. Matahari akhirnya muncul, memantulkan cahaya ke permukaan air yang luas seperti lautan kecil. Namun, Amran tidak merayakan.
Ia tetap memegang ibunya, diam dalam ketidakpastian. Rahmat atau bukan, ia tahu hujan ini telah mengubah segalanya.
Amran memandang kearah langit dan bertanya-tanya: apakah akan ada hari di mana hujan benar-benar membawa rahmat, ataukah itu hanya ilusi yang terus ia genggam tanpa akhir?
Posting Komentar
Posting Komentar