Di Posting Oleh : PAKNAI
Kategori : Cerita
Payung merah di atas trotoar itu goyah, terancam roboh oleh hembusan angin yang mendadak menggila. Di bawahnya, seorang lelaki berumur empat puluhan tergesa-gesa merapikan jajanan gorengan yang terletak di atas meja lipat usang. Hujan baru saja mulai turun, rintik-rintiknya besar dan dingin, menghantam genting serta membentuk genangan yang cepat membesar. Wajah lelaki itu, yang biasanya tenang dan penuh senyum kepada pembeli, kini tegang, dipenuhi bayang-bayang khawatir yang sulit disembunyikan.
"Cepat, cepat, semuanya harus tertutup!" gumamnya, hampir seperti bicara sendiri.
Tangannya sibuk memasukkan pisang goreng, tahu isi, dan tempe mendoan ke dalam plastik. Lapisan minyak yang membekas di jari-jarinya membuat gerakannya sedikit kaku. Namun, ia tidak peduli. Dalam sekejap, dagangannya telah tertata rapi, aman dari hujan yang kini berubah deras.
Namun tidak ada pembeli.
Trotoar yang biasanya ramai dipenuhi orang-orang yang hendak pulang kerja mendadak sepi. Mereka berlari mencari tempat berteduh, meninggalkan jajaran kaki lima yang bersiap-siap menghadapi malam.
Ia, Pak Ramli, berdiri di situ, menggigil meski tidak basah. Matanya menatap langit abu-abu, mencari-cari jawaban yang tidak pernah datang. Ia pernah diajarkan oleh ayahnya, sejak kecil, bahwa hujan adalah rahmat. Namun di bawah langit yang basah ini, rahmat itu terasa seperti hukuman.
Di sudut jalan yang sama, seorang bocah laki-laki dengan jaket kedodoran melintas. Bocah itu berhenti sejenak, menatap Pak Ramli dari kejauhan. Sepasang mata mereka bertemu. Namun, bocah itu hanya mengangkat bahu dan berlari lagi, menghilang di balik tikungan. Pak Ramli menarik napas panjang, matanya terpejam sejenak. Perasaan itu kembali datang: ketidakpastian yang menyiksa.
Seminggu terakhir, hujan turun setiap sore. Dalam seminggu pula, dagangannya hampir tidak pernah habis terjual. Ia tidak tahu berapa lama lagi bisa bertahan. Uang tabungannya telah habis untuk membeli bahan-bahan. Minyak goreng mahal, dan gas elpiji melonjak. Tidak ada ruang untuk gagal.
Namun, hujan tidak pernah bertanya pada siapa pun. Dan kali ini, hujan memukulnya dengan lebih keras.
Pak Ramli menunduk, menatap gorengan yang tetap hangat di bawah tudung plastik. Di dalam hati, ada percikan kecil rasa putus asa, sesuatu yang ia benci untuk diakui. Apakah ini akan terus begini? Apakah rahmat yang diajarkan padanya hanya sekadar kata-kata kosong?
Suara hujan seperti bisikan yang tidak bisa diabaikan. Malam itu, Pak Ramli memutuskan untuk tidak pulang terlalu cepat. Ia duduk di bangku kayu dekat gerobaknya, memeluk lutut dan merenung. Sebuah payung besar yang sudah berlubang di beberapa tempat menaungi tubuhnya yang kelelahan.
Ia ingat kembali masa kecilnya. Ayahnya selalu berkata, "Hujan membawa rezeki, Ramli. Ingat itu. Jangan pernah membenci hujan."
Tapi di dunia yang sekarang, ia merasa hujan membawa kehampaan. Tidak ada pembeli. Tidak ada uang. Hanya kesendirian.
Dari kejauhan, bocah laki-laki yang sama kembali melintas. Kali ini, ia mendekat. Wajahnya kotor, bajunya basah kuyup. Ia berdiri diam di depan gerobak Pak Ramli, menatap gorengan yang masih hangat di balik plastik.
"Mau beli?" tanya Pak Ramli dengan suara datar.
Bocah itu menggeleng. "Aku nggak punya uang," katanya, lirih tapi jelas.
Ada sesuatu dalam cara bocah itu berbicara yang menghantam Pak Ramli. Ia menatap gorengan yang sudah ia jaga dengan hati-hati sepanjang hari, lalu menatap bocah itu kembali. Dalam beberapa detik, ia seperti berada di antara dua dunia.
Hatinya ingin memberikannya secara cuma-cuma. Tapi pikirannya menolak. Bagaimana bisa ia bertahan jika terus-menerus memberi?
Namun, perasaan aneh muncul. Sebuah ide liar yang merayap di benaknya. Bagaimana jika... bagaimana jika ia memberikan dagangannya secara gratis setiap kali hujan turun? Bukankah itu akan menarik perhatian? Bukankah itu bisa membuat orang-orang datang meski hujan mengguyur?
"Tunggu di sini," katanya kepada bocah itu. Ia mengambil sebungkus gorengan dari bawah plastik, lalu menyerahkannya begitu saja.
Bocah itu mengangkat alis, terkejut. "Gratis?"
Pak Ramli mengangguk. "Ya. Gratis. Tapi kamu harus bilang ke teman-temanmu, ya. Kalau hujan, datang ke sini."
Bocah itu tersenyum lebar, mengucapkan terima kasih dengan suara yang nyaris lenyap ditelan hujan, lalu berlari pergi. Pak Ramli berdiri diam, menatap gerimis yang terus berjatuhan, merasakan sesuatu yang tidak ia mengerti sepenuhnya.
Esoknya, hujan kembali turun tepat seperti yang diprediksi. Pak Ramli sudah bersiap-siap. Ia memutuskan untuk mencoba idenya. Papan kecil yang terbuat dari kayu bekas ia letakkan di depan gerobaknya. Dengan spidol hitam, ia menulis besar-besar: "Hujan Adalah Rahmat. Ambil Gorengan Gratis!"
Pada awalnya, tidak ada yang datang. Pun dengan anak yang berjanji semalam. Trotoar tetap kosong, suara hujan tetap mendominasi. Tapi setelah beberapa saat, seorang wanita paruh baya mendekat, memandangi tulisan itu dengan wajah penuh tanda tanya.
"Ini... betulan gratis?" tanyanya ragu-ragu.
Pak Ramli mengangguk. "Iya, Bu. Ambil saja."
Wanita itu mengambil satu bungkus gorengan, mengucapkan terima kasih dengan wajah yang tidak sepenuhnya percaya, lalu pergi. Pak Ramli duduk kembali di bangkunya, menatap meja yang kini sedikit lebih kosong.
Namun sesuatu yang aneh terjadi. Tidak lama setelah wanita itu pergi, orang-orang mulai berdatangan. Seolah-olah papan kecil itu menjadi magnet yang menarik perhatian. Dalam waktu singkat, gerobak Pak Ramli dipenuhi pembeli. Mereka tertawa, berbicara, dan mengunyah gorengan di tengah hujan yang tidak kunjung reda.
Meski gorengan itu gratis, beberapa orang mulai meninggalkan uang di meja tanpa diminta. Satu lembar, dua lembar, lalu semakin banyak. Pak Ramli tidak sempat menghitungnya. Yang ia tahu, hujan tidak lagi terasa seperti musuh.
Namun, di tengah keramaian itu, sebuah pertanyaan muncul di benaknya. Apakah ini akan berhasil untuk selamanya? Bagaimana jika orang-orang hanya datang karena gratis? Bagaimana jika... bagaimana jika ia tetap kehilangan semuanya pada akhirnya?
Malam itu, setelah hujan reda, Pak Ramli menghitung uang yang terkumpul. Jumlahnya lebih besar dari yang pernah ia dapatkan sebelumnya. Tapi ia tidak bisa sepenuhnya tenang. Rasa cemas itu masih ada, seperti bayangan yang enggan pergi.
Ia memandang langit yang gelap, berbisik pelan, "Apa ini jawaban dari rahmat-Mu?"
Di kejauhan, suara hujan mulai terdengar lagi.



Posting Komentar
Posting Komentar