Di Posting Oleh : PAKNAI
Kategori : Cerita
Angga menendang pintu depan rumahnya dengan siku, tangan sibuk menggenggam payung yang basah. Di luar, hujan menderu seperti tamu tak diundang yang nekat ingin masuk. Deras, bising, tak kenal jeda. Ia mendongak ke langit kelabu, tertawa kecil, kemudian melangkah ke teras sambil menampung tetes hujan di telapak tangan.
Hujan adalah perayaan kecil bagi Angga. Ia mencintai bagaimana air itu menciptakan simfoni di atap seng, menghidupkan bau tanah, dan membuat dunia terasa lebih hidup. Ketika orang-orang berlarian mencari tempat berteduh, Angga memilih berdiri di tengah guyuran, membiarkan tubuhnya diterpa dingin dan deras. Ada kenyamanan dalam keheningan yang hujan ciptakan.
Sore itu, ia memutuskan untuk berjalan menuju hutan kecil di belakang desa. Itu adalah ritualnya sejak lama, setiap kali hujan turun. Di sana, ia bisa merasakan suara-suara hujan yang lebih murni, lebih tajam. Langkah kakinya meninggalkan jejak di jalanan berlumpur. Sepanjang jalan, ia melambai pada seorang anak kecil yang melongok dari balik jendela dan tersenyum pada kakek tua yang menambal dinding warungnya yang mulai rapuh.
Angga berhenti di tepi sungai kecil yang melintasi desa. Airnya beriak deras, membawa dedaunan kering yang terlepas dari hutan di hulu. Ia menutup payung dan duduk di atas batu besar. “Seperti konser tanpa penonton,” gumamnya sambil memejamkan mata, menikmati alunan hujan yang menghantam permukaan air.
Namun, ada sesuatu yang berbeda sore itu. Sebuah suara gemuruh samar muncul dari arah hulu. Ia membuka matanya dan menoleh, tetapi hanya terlihat pohon-pohon yang bergoyang tertiup angin. Angga mencoba mengabaikannya. Tapi perasaan tak nyaman mulai menyusup.
Act 2: Deras yang Menghancurkan
Hujan semakin deras. Suara gemuruh yang tadi samar kini menjadi dentuman keras. Angga berdiri, mencoba mencari sumber suara. Di kejauhan, ia melihat gumpalan cokelat besar meluncur cepat di sepanjang sungai. Air, lumpur, dan pecahan kayu bercampur menjadi satu.
Longsor.
“Astaga!” serunya, tubuhnya kaku beberapa detik sebelum akhirnya ia berlari menyusuri tepi sungai.
Hati Angga berdegup kencang. Ia tahu longsoran ini akan sampai ke desa. Sungai kecil itu bukan lagi sekadar aliran air; ia berubah menjadi naga buas yang melahap segalanya. Ia berteriak, memanggil warga. “Longsor! Pergi dari sini!”
Di desa, beberapa orang mendengar teriakannya dan keluar dari rumah, kebanyakan dengan wajah bingung. Angga menunjuk ke arah air yang mendekat. “Cepat, cari tempat tinggi!”
Namun, tidak semua mendengar tepat waktu. Longsoran itu datang dengan kekuatan tak tertahan, menghantam rumah-rumah yang berada di dekat sungai. Sebuah rumah kayu terangkat dari fondasinya, terbawa arus bersama suara jeritan yang tercekik. Angga mematung di tempatnya, napasnya pendek-pendek.
Satu demi satu, ia menyaksikan apa yang tak pernah ingin ia lihat: wajah-wajah panik, teriakan yang menggantung di udara, tubuh-tubuh yang berusaha bertahan. Air bah membawa segalanya, menciptakan kehancuran dalam hitungan detik.
Setelah air mulai surut, Angga berjalan melewati puing-puing. Matanya menangkap sesuatu di antara lumpur. Sebuah tangan kecil. Ia menggali dengan gemetar, dan menemukan seorang anak yang ia kenal. Nafasnya terhenti; tubuh itu tak lagi bergerak. Hujan terus turun, seolah menolak berhenti.
Malam itu, Angga duduk di depan reruntuhan rumah-rumah yang luluh lantak. Ia tidak tahu berapa banyak yang selamat, berapa banyak yang tidak. Tubuhnya lelah, kotor, dan dingin, tetapi pikirannya tidak berhenti berputar. Ia mencintai hujan, tetapi hujan telah merenggut segalanya dari mereka yang ada di sini.
“Jika aku tak mencintai hujan, mungkin aku bisa membencinya,” bisiknya kepada dirinya sendiri. Ia menunduk, meremas tanah basah di tangannya. “Tapi... aku tidak bisa.”
Langit terus menangis. Angga melihat tetes-tetes air yang jatuh dari ujung atap yang tersisa. Ia teringat bagaimana dulu ia tertawa di bawah rintik-rintik ini, bagaimana ia merasa begitu hidup.
Ia menoleh ke arah sungai yang kini kembali tenang, seperti monster yang telah puas melahap mangsanya. Di sana, seorang pria tua duduk termenung, memandangi air. Mereka saling menatap dalam keheningan. Angga ingin mengatakan sesuatu, tapi suaranya tercekat.
Bagaimana jika ia tetap mencintai hujan? Bagaimana jika, meski semua kehancuran ini terjadi, ia masih tak mampu membenci sesuatu yang telah menjadi bagian dari jiwanya? Apakah itu dosa?
Pikiran itu membuat dadanya sesak. Ia berdiri perlahan, melangkah ke arah hutan, membiarkan hujan menyapu tubuhnya. Langkah kakinya berat, tapi ia terus berjalan.
Angga berhenti di tengah jalan setapak, mendongak ke langit yang tak henti-hentinya menjatuhkan air. Hujan itu dingin, tajam, dan tanpa ampun. Tapi juga lembut, menenangkan, dan abadi.
Hujan masih turun, dan Angga tetap berdiri di bawahnya. Ia merentangkan tangan, membiarkan air hujan mengalir di sepanjang wajahnya, mencuci luka-luka yang tak terlihat.
Posting Komentar
Posting Komentar