n1ljWYmZyLaHa1TMPYBBtiqVcQolSr0KLMIOwgVb

Cari Blog Ini

Laporkan Penyalahgunaan

Mengenai Saya

Di Bawah Langit Kelabu

Di Bawah Langit Kelabu
Di Posting Oleh : PAKNAI
Kategori : Cerita

 

cerita pendek
Gemuruh pertama itu datang, rendah dan berat, mengguncang udara di atas kota yang basah. Alena menutup bukunya dan melangkah keluar ke teras. Hujan sudah mulai turun, tetes-tetes kecil yang memantul di atas aspal seperti ribuan kaki menari. Ia menarik napas dalam-dalam, aroma tanah basah menyergap indranya, menusuk hingga ke dada. Senyumnya perlahan terukir, bukan karena sesuatu yang ia mengerti, melainkan sesuatu yang selalu ia rasakan.

Di ujung jalan, seorang anak kecil berlarian, tertawa, menghindari genangan air. Alena berdiri di sana, diam seperti patung, membiarkan air menyentuh kulitnya. Hujan memiliki daya tarik yang aneh baginya, magnet yang tak terjelaskan. Setiap kali awan gelap berkumpul, tubuhnya terasa ringan, seperti ada sesuatu yang memanggilnya. Tapi memanggil ke mana? Ia tak pernah tahu.

Semua dimulai saat Alena kecil. Ia ingat dirinya berlari di tengah hujan, melompat di genangan air dengan gaun merah yang basah kuyup. Ibunya menjerit dari ambang pintu, memanggilnya untuk masuk, tapi ia pura-pura tak mendengar. Saat itu, ia merasa bebas. Namun, tak ada yang spesial dari kenangan itu; setidaknya, tidak menurutnya. Semua anak suka bermain hujan, bukan? Tapi mengapa sensasi itu tak pernah pergi? Mengapa hujan tak pernah menjadi sekadar hujan baginya?

Suatu sore, Alena kembali berjalan tanpa payung, membiarkan hujan menetes dari rambut hingga ke lehernya. Ia berbelok ke taman kecil dekat rumahnya, sebuah kebiasaan yang entah sejak kapan ia lakukan. Sebuah pohon tua berdiri di tengah taman, cabangnya melengkung seperti payung raksasa. Ia duduk di bawahnya, mendengar hujan mengguyur daun-daun di atas kepalanya.

Dan saat itu, ia merasakan sesuatu.

Sebuah dorongan, samar tapi kuat, seperti tangan tak terlihat menariknya ke arah tertentu. Ia menoleh ke kiri, lalu ke kanan, tapi taman itu kosong. Ia berdiri, mengikuti dorongan itu, langkahnya tergesa meski ia tak tahu apa yang dicarinya. Sebuah suara samar terdengar di telinganya, atau mungkin hanya gema pikirannya sendiri: Ikuti saja.

Tapi ke mana?

Hari berikutnya, Alena memutuskan untuk mencari tahu. Ia mulai mencatat setiap kali hujan turun, berapa lama ia merasa dorongan itu, dan ke arah mana tubuhnya ingin pergi. Tapi jawabannya selalu kabur. Dorongan itu berubah-ubah, seperti angin yang berputar tanpa pola.

Pada suatu malam, hujan deras mengguyur kota tanpa henti. Alena terbangun dari tidurnya dengan keringat dingin. Mimpi yang samar tapi menekan baru saja menghantuinya. Dalam mimpinya, ia berdiri di sebuah jalan yang tak dikenalnya, di bawah hujan lebat, dengan bayangan seseorang berdiri jauh di depannya. Ketika ia mencoba mendekat, bayangan itu menghilang.

"Apa ini?" bisiknya pada dirinya sendiri.

Ia memutuskan untuk keluar. Jam menunjukkan pukul 2 pagi, tapi ia tak peduli. Ia mengenakan jaket tipis dan sepatu bot, lalu keluar ke jalan yang sepi. Langit menggelegar lagi, seperti memberi isyarat. Dan sekali lagi, dorongan itu datang.

Langkahnya membawanya ke sebuah lorong sempit di dekat pusat kota. Ia tak pernah ke sana sebelumnya, tapi tempat itu terasa familiar, seperti ia sudah pernah mengunjunginya dalam mimpi. Di ujung lorong itu, ia menemukan sebuah pintu kayu tua dengan tulisan pudar di atasnya: Rumah Kenangan.

Alena ragu. Tangannya terulur ke gagang pintu, tapi berhenti di tengah jalan. Bagaimana jika aku menemukan jawabannya? pikirnya. Pertanyaan itu muncul begitu saja, seperti ledakan dalam pikirannya. Ia tak yakin apa yang lebih menakutkan: tidak tahu, atau tahu.

Dengan napas tertahan, ia mendorong pintu itu. Engselnya berdecit, membuka jalan ke sebuah ruangan kecil yang dipenuhi aroma kayu basah dan sesuatu yang lebih tua, lebih asing. Di tengah ruangan, sebuah meja bundar berdiri dengan buku-buku tebal berserakan di atasnya. Foto-foto hitam putih tergantung di dinding, sebagian sudah memudar. Di salah satu sudut ruangan, ia melihat sebuah payung tua berdiri di atas gantungan. Warnanya merah, persis seperti gaunnya dulu.

"Siapa di sana?" suara seorang pria tua tiba-tiba terdengar dari bayangan di belakang rak buku.

Alena melompat, memutar tubuh ke arah suara itu. Seorang pria dengan rambut putih lebat muncul, mengenakan mantel panjang yang basah kuyup.

"Aku... aku tidak tahu kenapa aku di sini," kata Alena, suaranya bergetar. "Tapi hujan membawaku ke sini."

Pria itu tersenyum samar, matanya yang redup menatapnya seolah mengenali sesuatu.

"Kau tak tahu, ya?" katanya pelan. "Hujan selalu tahu ke mana membawa orang yang terikat padanya."

"Apa maksudmu?" tanya Alena. Ia ingin melangkah mundur, tapi kakinya terpaku.

Pria itu mendekat, menepuk-nepuk payung merah yang berdiri di sudut. "Ini milik ibumu," katanya. "Dia juga seperti kau, selalu mencari sesuatu di balik hujan. Tapi dia tak pernah menemukan jawabannya."

Alena terdiam. Ibunya tak pernah bercerita apa pun tentang hujan, kecuali menyuruhnya untuk masuk rumah setiap kali hujan turun. Kenapa ibunya tidak pernah menyebutkan ini?

Pria itu melanjutkan, "Hujan bukan hanya air. Ia adalah penjaga kenangan, penghubung antara apa yang nyata dan yang tersembunyi. Dan kau, Alena, memiliki kunci untuk membuka pintunya."

"Kunci?" Alena berbisik.

Pria itu mengangguk, lalu mengarahkan tangannya ke sebuah buku di atas meja. Ia membukanya, menunjukkan halaman penuh dengan tulisan tangan dan gambar awan gelap. Salah satu gambar itu menunjukkan sosok seorang perempuan kecil yang berdiri di tengah badai, dengan garis-garis hujan yang melingkar di sekelilingnya.

"Ibumu meninggalkan ini untukmu," kata pria itu. "Hujan selalu tahu kapan waktunya untuk menyerahkan jawabannya. Tapi ingat, jawaban itu bisa menjadi berkah atau kutukan. Kau siap?"

Alena menatap gambar itu, napasnya tertahan. Pikirannya dipenuhi ribuan pertanyaan, tapi satu hal yang pasti: ia sudah melangkah terlalu jauh untuk mundur.

Di luar, gemuruh kembali mengguncang langit, diikuti oleh kilatan cahaya yang menembus celah-celah pintu. Hujan semakin deras, seolah mendesak Alena untuk segera memutuskan.

Ia mengulurkan tangannya, menyentuh buku itu. Dan saat jemarinya menyentuh halaman pertama, sesuatu dalam dirinya terasa pecah, terbuka, mengalir seperti derasnya hujan. Ia menutup matanya, membiarkan perasaan itu membawanya lebih dalam, lebih jauh.

Saat ia membuka matanya, pria itu sudah menghilang. Ruangan itu kosong, hanya menyisakan suara hujan yang menetes di luar jendela. Dan di tangannya, ia menggenggam sesuatu yang belum ia pahami sepenuhnya.

Di bawah langit kelabu, Alena melangkah keluar, payung merah ibunya kini berada di tangannya. Hujan mengguyur tubuhnya, tapi ia tak peduli. Langkahnya membawa ke jalan yang tak ia kenal, tapi terasa seperti rumah. Hatinya berdegup kencang, seolah menjawab panggilan hujan yang terus bergema.

Di kejauhan, bayangan seseorang berdiri, menantinya.

Ia mempercepat langkah. Dan hujan, seperti biasa, memeluknya erat.

Related Posts
SHARE

Related Posts

Subscribe to get free updates

Posting Komentar

Sticky Note