Di Posting Oleh : PAKNAI
Kategori : Cerita
"Kamu kenapa?" tanya Sarah dari dapur. Suaranya tenang, seperti selalu, tetapi ada sedikit nada heran yang Rahman kenali. Ia menoleh, mendapati istrinya sibuk mencuci piring, rambutnya yang hitam legam terikat rapi. Hujan deras tak membuatnya tampak gusar; justru sebaliknya, Sarah tampak menikmati suara hujan yang mendenting di atas genteng.
"Hujan lagi," gumam Rahman, suaranya serak. "Selalu begini. Membuat jalanan jadi banjir, orang-orang terjebak. Apa gunanya hujan kalau cuma menambah masalah?"
Sarah tersenyum samar, meletakkan piring terakhir ke rak. "Hujan itu anugerah, Mas. Tanpa hujan, kita nggak punya sawah, nggak punya air untuk diminum. Semua akan kering."
Rahman mendengus, berjalan ke sudut ruangan dan menyalakan kipas angin meski udara sudah dingin. "Kalau aku bisa, aku akan membuat dunia tanpa hujan. Langit biru sepanjang tahun."
Sarah berhenti, lalu menatapnya. Ada kilat emosi di matanya, tapi Rahman tak bisa menebak apakah itu kecewa, marah, atau sekadar simpati. "Dunia tanpa hujan?" ia mengulangi, nadanya datar, tetapi Rahman merasakan ketegangan yang tak biasa.
Rahman mengangguk tegas. "Bayangkan saja, nggak ada banjir, nggak ada jalanan becek. Semua jadi lebih mudah."
Sarah tak menjawab. Ia kembali ke dapur, mengambil cangkir teh dan membawanya ke ruang tamu. Duduk di sofa, ia mengaduk-aduk teh dengan sendok kecil sambil menatap hujan yang terus mengguyur. Keheningan di antara mereka menebal.
Malam itu, Rahman bermimpi aneh. Ia berjalan sendirian di tengah padang tandus, tanahnya retak-retak seperti kulit ular. Langit kelabu, tetapi tidak ada tanda-tanda hujan. Di kejauhan, ia melihat sosok Sarah berdiri, mengenakan gaun putih yang memudar. Ia ingin mendekat, tetapi semakin ia melangkah, sosok itu semakin jauh. Tiba-tiba, dari langit jatuh sesuatu—bukan air, tetapi abu. Rahman terbangun dengan keringat dingin membasahi dahinya.
Sarah sudah bangun lebih dulu, seperti biasa. Ia sedang menyiram tanaman di halaman belakang. Hujan telah reda, menyisakan bau tanah basah yang pekat. Rahman memperhatikan dari pintu kaca. Ada sesuatu yang berbeda dari cara Sarah bergerak—terlalu tenang, terlalu ringan, seolah-olah beban dunia tak pernah menyentuhnya. Hal itu justru membuat Rahman semakin gelisah.
"Kamu mimpi buruk lagi?" tanya Sarah saat Rahman bergabung dengannya di meja makan.
Rahman hanya mengangguk sambil menuangkan kopi hitam ke cangkirnya. Mereka makan dalam diam, tetapi keheningan itu menggantung seperti tali di udara.
"Mas, pernahkah kamu berpikir kenapa aku suka hujan?" tanya Sarah tiba-tiba.
Rahman mendongak, keningnya berkerut. "Kenapa?"
Sarah tersenyum kecil, tetapi kali ini senyumnya seperti menyembunyikan rahasia. "Hujan mengingatkanku pada hidup. Pada masa-masa sulit dan indah sekaligus. Dulu, waktu kecil, setiap kali hujan turun, ibuku akan menari di halaman. Bahkan saat kami hampir nggak punya apa-apa, hujan adalah alasan kami untuk tertawa."
Rahman tidak menjawab. Ia merasa dadanya sesak, tetapi ia tidak tahu kenapa. Ia tidak pernah memikirkan kenangan semacam itu, apalagi menghargainya. Baginya, hujan hanyalah gangguan.
Seminggu berlalu. Hujan datang hampir setiap hari. Rahman semakin murung, sementara Sarah semakin sering menghabiskan waktu di luar saat hujan turun. Ia mulai memperhatikan sesuatu yang tak biasa. Sarah tidak hanya menikmati hujan—ia tampak seperti sedang mencari sesuatu di dalamnya. Seolah-olah hujan berbicara padanya.
Suatu malam, ketika Rahman pulang dari kantor, ia menemukan Sarah duduk di ruang tamu dengan koper kecil di sampingnya. Langit di luar gelap, petir menyambar jauh di kejauhan. Rahman berhenti di ambang pintu, tubuhnya kaku.
"Sarah, apa yang kamu lakukan?" tanyanya.
Sarah mendongak, matanya basah oleh air mata, tetapi bibirnya melengkungkan senyum tipis. "Aku nggak tahu, Mas, apakah aku bisa hidup di dunia yang kamu inginkan. Dunia tanpa hujan."
Rahman merasa darahnya berhenti mengalir. "Apa maksudmu?"
Sarah menghela napas panjang, lalu berdiri. "Aku nggak pernah merasa kamu benar-benar mengerti apa artinya hujan buatku. Bukan cuma air dari langit. Tapi pengingat, harapan, kehidupan. Kalau kamu ingin dunia tanpa hujan, itu berarti kamu ingin dunia tanpa aku."
"Kamu nggak serius, kan?" Rahman mendekat, suaranya pecah.
Sarah tak menjawab. Ia mengambil koper itu dan berjalan ke pintu. Rahman berdiri terpaku, hatinya kacau. Hujan mulai turun di luar, deras, menghantam bumi dengan gemuruh yang memekakkan telinga.
Rahman tidak tidur malam itu. Ia duduk di sofa, menatap jendela yang basah oleh air hujan. Pikirannya berkecamuk. Ia ingin marah, tetapi kepada siapa? Kepada Sarah yang pergi tanpa memberikan jawaban pasti, atau kepada dirinya sendiri yang tak pernah mencoba memahami istrinya?
Hari-hari berlalu, tetapi Rahman tidak bisa lepas dari bayang-bayang Sarah. Hujan kini terasa lebih menyakitkan daripada sebelumnya. Ia membenci setiap tetesnya, tetapi ia juga tidak bisa mengabaikannya. Hujan mengingatkannya pada tawa Sarah, pada cara istrinya menatap langit dengan penuh kekaguman.
Satu bulan setelah kepergian Sarah, Rahman melakukan sesuatu yang belum pernah ia lakukan. Ia keluar di bawah hujan. Tanpa payung, tanpa jas hujan. Air yang dingin menghantam wajahnya, meresap ke pakaian, membuatnya menggigil. Ia berjalan tanpa tujuan di tengah jalan yang lengang.
Di tengah hujan itu, ia berhenti. Menengadah. Langit tampak tak berujung, kelam tetapi penuh energi yang tak bisa ia pahami. Rahman memejamkan mata. Untuk pertama kalinya, ia mencoba mendengar. Benarkah hujan menyimpan suara, seperti yang selalu dikatakan Sarah? Apakah ada kehidupan di dalamnya yang selama ini ia abaikan?
Ketika ia membuka mata, Rahman merasakan sesuatu yang berbeda. Hujan masih deras, tetapi ia tidak lagi merasa sesak. Ia merasa basah, dingin, tetapi juga... hidup.
Sarah kembali setelah tiga bulan. Ia mengetuk pintu saat hujan turun deras. Rahman membuka pintu, melihat sosok istrinya yang basah kuyup. Mata mereka bertemu, dan Rahman tahu bahwa ada banyak hal yang belum selesai di antara mereka.
"Aku ingin pulang," kata Sarah, suaranya gemetar.
Rahman menatapnya lama, lalu mengangguk. "Hujan sudah berubah buatku," katanya pelan. "Tapi, bisakah aku berubah untukmu?"
Sarah tidak menjawab, tetapi ia tersenyum. Hujan terus turun, seolah dunia ikut berbicara melalui setiap tetes yang jatuh.
Posting Komentar
Posting Komentar