Di Posting Oleh : PAKNAI
Kategori : Cerita
"Bu, hujan mulai turun!" serunya, penuh semangat. Kedua matanya berbinar, seperti bola kaca yang memantulkan cahaya dari kilatan petir di kejauhan.
"Tutup jendela, Risa! Nanti anginnya masuk," jawab ibu dari dapur, suaranya tajam namun tenang. Ada ketegangan yang selalu menyertai nada itu setiap kali hujan turun.
Risa menghela napas panjang, tapi ia patuh. Ia menutup jendela dengan enggan, menyisakan celah kecil untuk mengintip. Hujan semakin deras. Butiran-butiran air menari di atas genting, membentuk aliran kecil yang mengalir deras ke tanah. Di dalam hati, ia berdoa agar ibunya tidak melihat celah itu.
"Bu, kenapa aku nggak boleh main hujan? Semua teman-teman di sekolah selalu cerita kalau mereka main hujan. Katanya seru!" tanyanya, mencoba mencuri perhatian ibunya.
Ibu tidak langsung menjawab. Hanya terdengar dentingan piring dan sendok yang bertemu. Setelah jeda panjang, suara itu datang, rendah dan hampir berbisik.
"Hujan itu bukan untuk bermain-main, Risa. Hujan bisa membawa bahaya."
Bahaya apa? Risa tidak tahu. Tapi ia merasa ada sesuatu yang disembunyikan. Ibunya selalu melarang keras, setiap kali hujan turun. Dan itu membuat rasa penasaran dalam dirinya tumbuh seperti biji yang diam-diam disirami air.
Keesokan harinya, hujan kembali datang. Kali ini lebih deras. Angin kencang meniupkan aroma tanah basah yang memenuhi udara. Risa duduk di ruang tamu, memperhatikan ibunya yang sedang melipat kain. Suasana begitu hening, hanya suara hujan yang memecah keheningan.
"Bu, kenapa takut sekali sama hujan?" pertanyaan itu keluar dengan nada berani. Jauh di dalam hati, ia tahu ibunya tidak suka ditanya soal ini. Tapi hari ini, rasa ingin tahu mengalahkan rasa takutnya.
Ibu menghentikan gerakannya. Matanya menatap tajam ke arah Risa, tapi ada sesuatu yang berbeda. Kilatan itu bukan kemarahan, melainkan semacam kecemasan yang sulit dijelaskan. Ibu mendesah, membuang pandangan ke jendela, lalu berkata singkat, "Nanti kalau kamu besar, kamu akan mengerti."
Jawaban itu seperti pintu yang ditutup rapat di hadapan Risa. Ia mendengus kesal. Jawaban itu bukan jawaban. Itu hanya alasan.
Hari itu juga, ia memutuskan sesuatu. Saat hujan berikutnya datang, ia akan keluar. Ia akan mandi hujan seperti teman-temannya. Ia ingin tahu apa yang begitu menakutkan dari tetes-tetes air yang terlihat begitu indah itu.
Kesempatan datang dua hari kemudian. Langit kembali menangis, kali ini dengan lebih muram. Ibunya sedang sibuk di dapur, punggungnya menghadap pintu. Dengan langkah ringan, Risa membuka pintu depan dan melangkah keluar.
Hujan menyambutnya dengan dingin yang menusuk, tapi ia tidak peduli. Ia mendongak, membiarkan butiran air membasahi wajahnya. Rasa bahagia meluap di dadanya. Tertawa kecil, ia berputar-putar di halaman seperti kupu-kupu yang baru menemukan bunga.
Namun, tawa itu segera memudar ketika ia merasakan sesuatu. Bukan rasa dingin. Bukan rasa basah. Tapi sesuatu yang aneh, hampir tidak terlihat. Tetesan hujan di kulitnya terasa... berat? Seperti ada sesuatu di dalamnya.
Ketika ia menunduk, ia melihatnya. Pada genangan kecil di kakinya, air hujan tidak jernih seperti yang ia bayangkan. Ada warna merah samar. Merah darah.
Panik, ia berlari masuk. Ibunya menoleh, mata terbelalak melihat kondisi Risa yang basah kuyup.
"Kenapa kamu keluar?!" suara ibunya melengking, penuh kemarahan bercampur ketakutan.
"Bu, air hujannya... aneh," jawab Risa terbata, tangannya gemetar menunjuk ke pintu. "Ada darah di dalamnya!"
Wajah ibu seketika pucat. Dengan langkah cepat, ia menghampiri Risa, menariknya ke dalam pelukan. "Kamu nggak apa-apa? Kamu lihat apa lagi?"
"Nggak, cuma itu. Tapi kenapa ada darah?"
Ibu tidak menjawab. Pelukan itu semakin erat, seolah ingin melindungi Risa dari sesuatu yang tidak terlihat.
Malam itu, ibu tidak berkata apa-apa. Risa duduk di kamarnya, meringkuk di bawah selimut. Suara hujan masih terdengar di luar, namun terasa berbeda. Seperti ada sesuatu di luar sana, mengintai. Mengamati.
Ketika akhirnya ia tertidur, mimpinya dipenuhi bayangan kabur. Ada hujan, ada darah, dan ada suara-suara aneh yang tidak ia mengerti. Di tengah-tengah mimpi itu, ia melihat ibunya. Berdiri di bawah hujan, memandangnya dengan tatapan kosong.
Keesokan paginya, Risa menemukan ibunya duduk di meja makan dengan wajah yang letih. Lingkaran hitam di bawah matanya seperti luka yang tidak bisa disembuhkan.
"Bu, aku mimpi aneh tadi malam," kata Risa pelan.
Ibu mengangkat pandangan, menatap Risa lama. Ada kesedihan yang dalam di matanya. Akhirnya, dengan suara yang hampir tidak terdengar, ia berkata, "Dulu, ada sesuatu yang hilang dalam hidup Ibu. Sesuatu yang hujan bawa pergi."
"Apa itu?"
Ibu tidak menjawab. Sebaliknya, ia berdiri, berjalan menuju jendela, dan menatap ke luar. Hujan masih menggantung di udara, meski tidak turun. Langit tetap kelabu.
Risa tidak tahu harus berkata apa. Ia hanya bisa menatap ibunya yang berdiri membelakanginya, tubuhnya terlihat rapuh dalam balutan kain lusuh.
"Bu, apa yang sebenarnya terjadi?" tanyanya akhirnya, dengan suara yang nyaris pecah.
Ibu hanya berbisik, nyaris tidak terdengar.
"Bagaimana kalau hujan itu bukan cuma air?"
Kata-kata itu menggantung di udara, meninggalkan rasa dingin yang menelusup ke dalam tulang. Risa hanya bisa diam, pikirannya penuh dengan pertanyaan yang tidak berjawab.
Di luar sana, rintik pertama hujan mulai jatuh lagi. Apakah yang disembunyikan ibunya tentang hujan? Dan, lebih penting lagi, apakah rahasia itu lebih besar dari apa yang bisa ia pahami?
Posting Komentar
Posting Komentar