n1ljWYmZyLaHa1TMPYBBtiqVcQolSr0KLMIOwgVb

Cari Blog Ini

Laporkan Penyalahgunaan

Mengenai Saya

Di Bawah Hujan, Di Dalam Banjir

Di Bawah Hujan, Di Dalam Banjir
Di Posting Oleh : PAKNAI
Kategori : Cerita

 

Cerita Pendek
Langit kelabu menggantung rendah, menyisakan napas lembap yang memenuhi paru-paru. Pria itu berdiri di ambang pintu rumah kayunya yang kecil. Tangannya menjulur keluar, menampung tetesan pertama hujan. Butir-butirnya dingin, segar, mengalir di sela-sela jari seperti sesuatu yang hidup. Ia tersenyum kecil, senyum yang tidak pernah ia tunjukkan kepada siapa pun kecuali hujan.

Dia bernama Iksan, seorang pria sederhana yang hidup di ujung desa yang terhimpit sawah dan sungai kecil. Bagi Iksan, hujan adalah lagu yang tak pernah membosankan. Hujan menyelimuti dunia dalam keheningan, menghapus semua suara gaduh yang biasa ia hindari. Tapi, setiap kali hujan bertambah deras, sebuah ketakutan diam-diam merayap dalam hatinya. Sungai kecil di dekat rumahnya mulai meluap.

Air mulai menggenang di jalan setapak, merangkak masuk ke pekarangannya. Namun, meskipun ia tahu bahwa genangan ini akan segera menjadi banjir, ia tetap tidak bisa menahan diri untuk keluar, berdiri di bawah derasnya hujan, merasakan dingin yang menggigit kulitnya. Setiap tetesan hujan yang membasahi tubuhnya seperti bisikan lembut yang berkata, "Ini aku, hanya untukmu."

Malam itu, Iksan menatap sungai yang mulai memuntahkan air ke ladang. Cahaya bulan yang pudar memantulkan bayangan kelam dari permukaan yang bergolak. Ia berdiri di sana cukup lama, hingga tubuhnya menggigil. Di dalam kepalanya, dua suara bertarung: cinta pada hujan yang murni dan benci pada banjir yang datang sebagai bayangannya.

Keesokan paginya, banjir telah mencapai pintu rumah. Air kotor bergelombang pelan, membawa ranting dan sampah dari hulu. Iksan duduk di atas meja dapur, mengangkat kakinya dari air yang mulai masuk ke rumah. Hujan masih turun, deras, penuh energi. Tapi ada sesuatu yang berbeda kali ini. Ia tidak merasa damai.

Selama dua hari, air terus naik. Desa mulai tenggelam. Orang-orang mengungsi ke tempat yang lebih tinggi, namun Iksan memilih tinggal. Ia berkata kepada tetangga yang datang menawarkan tumpangan, "Aku akan baik-baik saja." Dalam hati, ia tahu alasan sebenarnya: ia ingin tetap bersama hujan, bahkan jika itu berarti menghadapi banjir.

Namun, banjir adalah makhluk yang tak kenal ampun. Pada malam ketiga, air telah mencapai dada Iksan. Rumahnya sudah menjadi bagian dari sungai yang meluap. Iksan mendayung rakit kecil yang terbuat dari potongan kayu yang ia ikat seadanya. Ia melayang di tengah genangan air yang berbau tanah dan busuk. Tapi hujan masih turun, deras, menari di permukaan air dengan irama yang memesona.

Satu malam, di atas rakitnya, Iksan menatap hujan yang tak henti-henti. Air merembes masuk ke celah-celah rakit, membuatnya bergoyang tak stabil. Tubuhnya lelah, tapi matanya terpaku pada tetes-tetes hujan yang jatuh seperti berlian dari langit. Ia berbicara, bukan pada dirinya sendiri, tetapi pada hujan.

"Kenapa kau harus membawa banjir? Kenapa tidak cukup menjadi dirimu sendiri?"

Tapi hujan tidak menjawab. Ia hanya terus jatuh, dingin dan keras, mengguyur kepala Iksan.

Pada malam itu, ketika langit terbelah oleh kilatan petir, sebuah pikiran aneh merayap ke dalam benaknya. Bagaimana jika ia menenggelamkan diri dalam banjir? Bagaimana jika ia mencoba mencintai banjir seperti ia mencintai hujan? Mungkin banjir hanyalah bagian dari hujan, sisi yang tak bisa dipisahkan. Mungkin, jika ia bisa menerima banjir, ia akhirnya bisa menerima hujan sepenuhnya.

Malam itu, Iksan berdiri di atas rakitnya, membiarkan tubuhnya basah kuyup oleh hujan. Ia merasa ringan, hampir seperti tubuhnya sudah menjadi bagian dari air. Sungai yang meluap kini adalah hamparan luas tanpa tepi, sebuah dunia yang hanya terdiri dari air dan hujan.

Ia mengambil langkah pertama ke dalam air. Rakitnya bergoyang dan hanyut. Air setinggi pinggang itu dingin, membuat tubuhnya gemetar. Tapi Iksan terus melangkah. Setiap langkah membawanya lebih dalam, hingga air mencapai dadanya, lalu lehernya.

"Jika aku mencintai hujan, aku harus mencintai banjir," gumamnya.

Ketika air menutup kepalanya, ia merasakan keheningan total. Dunia luar menghilang. Tidak ada suara, tidak ada cahaya, hanya air yang mengelilinginya. Ia membuka matanya, tapi yang terlihat hanyalah kegelapan keruh. Napasnya tertahan, dada terasa terbakar, namun ia tidak mencoba naik ke permukaan. Ia membiarkan dirinya tenggelam lebih dalam, mencari sesuatu yang ia sendiri tidak mengerti.

Lalu, dalam keheningan yang penuh tekanan itu, ia merasa seperti mendengar suara. Bukan suara manusia, bukan suara hujan, tetapi sesuatu yang lebih dalam, lebih tua. Sebuah bisikan yang tidak menggunakan kata-kata.

Tubuhnya menggigil, paru-parunya menjerit meminta udara, tapi ia tidak bergerak. Dalam detik-detik terakhir sebelum kesadaran hilang, ia bertanya pada dirinya sendiri: apakah ini cinta? Apakah ini cara untuk memahami banjir seperti ia memahami hujan?

Ketika tubuhnya akhirnya terapung ke permukaan, hujan masih turun, deras dan tanpa henti. Tapi Iksan tidak tahu apakah ia masih menjadi bagian dari dunia itu. Apakah ia telah menemukan jawabannya, atau apakah ia hanya tersesat lebih jauh?

Epilog:

Pagi datang dengan perlahan. Hujan reda, menyisakan kabut tebal di atas air yang masih menggenangi desa. Seorang anak kecil yang mengungsi di bukit melihat sesuatu terapung di kejauhan. Orang-orang berkerumun, menatap benda itu dengan cemas.

Namun, sebelum mereka mendekat, benda itu tenggelam ke dalam air, seolah tidak ingin ditemukan.

Pertanyaannya tetap menggantung di udara: jika kita mencintai sesuatu yang indah tetapi membawa kehancuran, apakah cinta itu bisa menyelamatkan kita? Atau justru menenggelamkan kita?

Related Posts
SHARE

Related Posts

Subscribe to get free updates

Posting Komentar

Sticky Note