Di Posting Oleh : PAKNAI
Kategori : Cerita
Langit seperti kain tua yang tersobek, meneteskan air perlahan namun konsisten. Pria itu, Arif, berdiri di balik jendela kaca rumahnya yang mulai berkabut oleh embusan napasnya. Tangan kanannya mengusap jendela, membuka pemandangan samar ke halaman yang mulai basah. Di luar sana, Tania, anak perempuannya yang berusia tujuh tahun, sedang melompat-lompat di genangan air kecil yang baru saja terbentuk.
"Ayah, ayo!" teriak Tania dengan suara jernih, melambai padanya dengan senyum lebar. Tangan kecilnya menggapai-gapai udara, mengajak Arif untuk bergabung.
Jantung Arif berdetak kencang. Seluruh tubuhnya tegang seperti tali yang ditarik terlalu kencang. Bayangan dari masa lalu menyergapnya tanpa permisi: kilat menyambar pohon di dekatnya, suara petir yang membelah langit, dan hujan deras yang menutup seluruh indra dengan rasa dingin yang menusuk. Kaki kecilnya dulu terpaku di lumpur saat itu, diiringi teriakan panik ibunya yang jauh dari jangkauan.
"Tidak, Tania. Jangan main hujan," ucapnya dengan suara berat. Namun, Tania hanya tertawa kecil, seperti tidak mendengar. Dia berlari ke arah taman yang penuh genangan, memutar-mutar tubuhnya dengan penuh kebebasan.
Arif ingin memanggilnya kembali, tetapi ada sesuatu yang menahan kata-kata di tenggorokannya. Ketakutannya lebih besar dari keberaniannya untuk menahan gadis kecil itu. Hujan yang mulai deras mengirimkan suara gemuruh yang samar, seperti pukulan-pukulan kecil di atap rumah.
Malam datang terlalu cepat, membawa serta dingin yang mengendap di sela-sela dinding. Tania duduk berselimut di ruang tengah, rambut basahnya diusap pelan oleh ibunya. Arif duduk di sudut ruangan dengan punggung kaku, matanya terpaku pada sisa-sisa air yang menetes dari rambut putrinya ke lantai.
"Kenapa Ayah nggak mau ikut main tadi? Hujannya seru banget," tanya Tania tiba-tiba, memecah keheningan. Matanya penuh rasa ingin tahu, namun tanpa sedikit pun prasangka.
Arif menelan ludah. Bibirnya membuka sedikit, lalu menutup lagi. "Ayah nggak suka hujan," jawabnya singkat.
"Kenapa nggak suka?" desak Tania.
Arif tak menjawab. Sebaliknya, dia berdiri dan berjalan ke dapur, membiarkan pertanyaan itu menggantung di udara. Tapi dia tahu, Tania tidak akan berhenti bertanya. Anak itu seperti hujan; tak bisa dihentikan, hanya bisa diterima.
Ketika malam semakin larut, Arif duduk sendirian di ruang tamu. Suara detak jam di dinding menjadi satu-satunya irama yang menemani pikirannya yang kusut. "Bagaimana jika aku menularkan ketakutanku pada Tania?" pikirnya. Gagasan itu seperti lubang hitam, menarik seluruh pikirannya ke arah yang sama. Dia memejamkan mata, mencoba melawan bayangan masa lalu yang kembali membanjiri dirinya.
Keesokan harinya, hujan turun lagi, kali ini lebih deras dari sebelumnya. Tania berdiri di dekat pintu depan, mengenakan jas hujan biru yang terlalu besar untuk tubuh mungilnya. Dia memegang payung kecil berwarna kuning dan menghadap ke Arif dengan tatapan memohon.
"Ayah, sekali ini saja. Ayah nggak perlu main air, cuma nemenin aja." Suaranya lembut, tapi ada nada ketegasan di dalamnya.
Arif berdiri di tempatnya, merasa seperti dihimpit dinding yang tak terlihat. Dia ingin mengatakan "tidak," tetapi pandangan Tania membuatnya berhenti. Wajah gadis itu penuh harap, seperti tak ada yang lebih penting di dunia ini selain ayahnya ikut bersamanya.
Langkah pertama ke luar terasa seperti menembus tembok es. Hujan mengguyur tubuh Arif meski dia memegang payung. Tania tertawa kecil, menarik tangannya ke halaman.
"Lihat, Ayah. Nggak serem, kan?" Tania menengadahkan wajahnya, membiarkan hujan mencium pipinya. Wajahnya bercahaya, penuh kebahagiaan yang murni.
Arif memandangnya, tetapi dadanya terasa semakin berat. Hujan ini tidak hanya di luar; hujan ini ada di dalam dirinya, membanjiri setiap sudut pikirannya dengan ketakutan yang tidak pernah benar-benar hilang. Dia ingin tersenyum, ingin ikut merasakan kegembiraan Tania. Namun, tubuhnya terasa kaku.
Tania melompat ke genangan air, menciptakan percikan kecil yang mengenai celana Arif. Dia terkekeh, lalu melompat lagi, kali ini lebih besar. "Ayah, coba juga!" serunya.
Arif melangkah mundur, menggeleng pelan. Tapi Tania tidak menyerah. Dia meraih tangan Arif dan menariknya ke tengah genangan air.
"Nggak apa-apa, Ayah. Lihat, aku nggak takut," kata Tania, matanya berbinar-binar.
Arif ingin mengatakan sesuatu, tapi mulutnya terasa berat. "Bagaimana jika aku menghancurkan keberanian ini?" pikirnya. Dia menunduk, melihat genangan air di bawah kakinya. Di situ, dia melihat bayangannya sendiri, wajah yang dipenuhi ketakutan dan keraguan. Lalu, dia melihat bayangan Tania di sebelahnya, penuh kegembiraan dan keberanian.
Saat itu, kilat menyambar di kejauhan, diikuti oleh suara gemuruh yang memecah langit. Tubuh Arif mengejang, refleks ingin menarik Tania masuk ke dalam rumah. Tapi Tania berdiri diam, menatap langit dengan mulut sedikit terbuka.
"Bagus banget, Ayah! Kayak suara drum besar," kata Tania tanpa sedikit pun rasa takut.
Arif memandangnya, matanya membelalak. Bagaimana mungkin? Bagaimana mungkin anak kecil ini, darah dagingnya sendiri, bisa begitu berbeda darinya? Apakah dia bisa mempertahankan ini, kebebasan yang Tania miliki? Atau akankah ketakutannya, yang seperti racun, meresap ke dalam jiwa anaknya?
Tania melompat lagi ke genangan air, menciptakan percikan yang tinggi. Arif tetap berdiri kaku, tubuhnya membatu seperti pohon yang dihantam badai. Tapi di dalam kepalanya, badai yang lebih besar sedang berlangsung.
Epilog:
Arif menatap Tania yang masih bermain, seolah-olah tidak ada apa pun di dunia ini yang lebih penting selain saat ini. Hujan semakin deras, membuat semuanya terlihat seperti kabur, seperti mimpi yang tak jelas batasnya.
Di dalam hati, Arif bertanya pada dirinya sendiri, "Bagaimana jika aku hanya diam? Bagaimana jika aku membiarkan dia tetap bebas, meski itu berarti aku harus terus memikul ketakutan ini sendirian?"
Tania tertawa lagi, suaranya mengisi udara dengan kehangatan yang tak bisa dijelaskan. Arif tetap berdiri di sana, bingung, terjebak di antara keinginannya untuk melindungi dan ketakutannya untuk merusak.
Lalu, dia berpikir, "Apa yang akan terjadi jika aku mencoba melangkah masuk ke dalam hujan ini, bukan untuk dirinya, tapi untuk diriku sendiri?"
Posting Komentar
Posting Komentar