Di Posting Oleh : PAKNAI
Kategori : Cerita
Langit abu-abu menggantung rendah di atas desa kecil itu, memeras udara dari kehangatan. Angin lembab berembus pelan, membawa aroma tanah yang mulai merekah. Di balik jendela kaca yang penuh bercak debu, Raka duduk memeluk lututnya. Matanya terpaku pada garis-garis air yang mulai merayap di luar. Hujan sudah mulai turun.
Ia menarik napas pendek, dada kecilnya naik-turun tak beraturan. Tetesan pertama selalu menandai dimulainya ketakutan yang menghantui dirinya sejak kecil. Ada sesuatu tentang suara gemuruh, petir yang membelah langit, dan hujan yang terus-menerus memukul-mukul jendela. Semua itu seperti tangan tak kasat mata yang menjalar, mencengkeram erat hingga napasnya seolah dicabut perlahan.
"Raka! Kenapa kamu sembunyi di situ lagi?" Suara Bayu terdengar di pintu. Tanpa mengetuk, anak itu masuk dengan langkah-langkah besar. Dengan rambut ikal yang basah oleh gerimis, Bayu membawa jejak lumpur ke dalam rumah.
Raka tidak menjawab. Ia menggeser posisi, seolah ingin menghilang dari pandangan temannya itu. Namun Bayu selalu tahu cara menyeretnya keluar. "Lihat kamu, seperti anak kecil saja. Takut hujan? Serius, Kakak pasti bakal ketawa dengar ini!" Suara Bayu terdengar tajam, seperti cambukan kecil yang tak bisa Raka hindari.
"Sudah kubilang, aku nggak suka hujan," gumam Raka pelan.
"Nggak suka? Atau takut?" Bayu mendekat, meletakkan tangannya di pinggang, matanya berkilat penuh ejekan. "Jadi ini alasan kenapa kamu nggak pernah keluar waktu hujan? Kamu kira hujan itu monster yang bakal melahap kamu?"
Raka merasakan telinganya memanas. "Kamu nggak ngerti." Suaranya pecah.
Bayu tertawa keras. "Coba ceritakan apa yang menakutkan dari air yang jatuh dari langit. Atau mungkin kamu takut basah? Lucu sekali, Raka si penakut hujan!"
Raka memalingkan wajah. Namun di dalam dadanya, ada sesuatu yang mulai berkumpul, seperti pusaran air yang terus menghisap setiap ejekan Bayu. Kata-kata itu tidak berhenti menghantuinya, bahkan setelah Bayu pergi.
Hujan terus turun sepanjang sore, menciptakan genangan-genangan kecil di halaman belakang. Di dalam kamarnya, Raka duduk diam, menatap tetesan air yang mengalir perlahan dari atap ke dalam ember tua. Sementara itu, di kepalanya, bayangan ejekan Bayu terus mengiang. Bagaimana jika Bayu merasakan ketakutan yang sama? Mungkinkah ia akan berhenti tertawa?
Raka menggigit bibirnya. Sebuah ide mulai membentuk di kepalanya. Awalnya, ia mengusir pikiran itu jauh-jauh. Tapi seperti hujan yang tak bisa dihindari, ide itu kembali, lebih deras dan lebih nyata. Malam itu, ia tidak tidur. Matanya terus terbuka lebar, menatap gelap yang menyelimuti langit-langit.
Esok harinya, saat langit cerah kembali, Raka mendapati Bayu sudah menunggu di depan pintu rumahnya. "Ayo main," ajak Bayu, menyeringai seperti biasa. Raka mengangguk tanpa sepatah kata. Tapi ada sesuatu di sorot matanya yang membuat Bayu menatap lebih lama dari biasanya. Raka berjalan mendahului, melangkah menuju pinggiran desa, tempat kebun bambu yang lebat berdiri seperti benteng hijau.
"Ke sana? Kenapa?" tanya Bayu, menyusul di belakang.
"Ada sesuatu yang ingin kutunjukkan," jawab Raka datar. Langkahnya mantap, tapi tangan kecilnya sedikit bergetar di samping tubuh. Ia tidak pernah mengajak siapa pun ke kebun itu, tempat yang selalu dihindarinya setiap kali hujan turun.
Sesampainya di sana, mereka berdiri di bawah kanopi bambu yang melengkung rapat. Cahaya siang berjuang keras menembus dedaunan yang rimbun. Raka berhenti di tengah, menatap Bayu dengan wajah yang sulit dibaca. "Kamu berani, kan?"
Bayu mendongak, bibirnya melengkung menjadi senyuman mengejek. "Tentu saja."
"Tunggu di sini," ucap Raka. Sebelum Bayu sempat bertanya lebih lanjut, Raka berlari, meninggalkan temannya sendirian. Bayu memanggil namanya beberapa kali, tapi tak ada jawaban.
Langit yang tadi cerah mulai gelap perlahan. Bayu menatap ke atas. Daun-daun bambu yang bergerak pelan kini berbisik lebih keras. Gemuruh samar terdengar dari kejauhan. "Raka! Apa-apaan ini?" suaranya kini lebih tinggi, penuh dengan kebingungan.
Hujan mulai turun. Tetesan kecil berubah menjadi jarum-jarum air yang deras. Bayu mencari perlindungan, tapi setiap langkahnya seperti membawa dia lebih jauh ke dalam kebun yang tak berujung. Udara menjadi dingin. Bayu menggigil. Setiap gemuruh petir terdengar lebih keras, seperti mengepungnya. Matanya mencari-cari Raka, tapi hanya bayangan hitam yang menjulang di antara bambu.
Tiba-tiba, Bayu mendengar suara langkah. "Raka?" Ia berteriak, suaranya pecah. Sosok kecil muncul dari balik pohon, tapi wajahnya terlihat berbeda, lebih gelap, seperti dihantui bayangan yang tidak wajar.
"Kamu takut, Bayu?" tanya Raka. Suaranya tenang, hampir seperti bisikan yang dibawa oleh hujan.
Bayu menelan ludah. "Ini nggak lucu. Ayo keluar dari sini."
Raka hanya berdiri di sana, matanya menatap kosong. "Apa kamu tahu rasanya takut setiap kali hujan? Rasanya seperti dunia ini ingin menelanmu. Sekarang kamu tahu, kan?"
Petir menyambar tak jauh dari mereka. Bayu melompat mundur, kakinya tergelincir di tanah yang basah. "Raka, hentikan! Ini gila!"
Namun Raka tidak bergerak. Ekspresinya tetap datar. "Kamu nggak akan pernah ngerti kalau nggak merasakannya sendiri."
Bayu mencoba berdiri, tapi lututnya gemetar. Hujan deras membuat pandangannya kabur. Di tengah kekacauan itu, suara Raka kembali terdengar, kali ini lebih dekat. "Sekarang kamu takut, kan?"
Bayu memejamkan mata, berharap semua ini hanya mimpi buruk. Ketika ia membukanya lagi, Raka sudah tidak ada di sana. Hanya ada hujan, suara gemuruh, dan bayang-bayang bambu yang bergerak seperti makhluk hidup.
"Raka!" teriaknya sekali lagi, tapi yang menjawab hanya gema suaranya sendiri. Dengan hati yang berat, Bayu merangkak menuju arah yang ia anggap sebagai jalan keluar. Tapi setiap langkah seperti membawanya lebih jauh ke dalam kegelapan.
Di ujung lain kebun, Raka berdiri di bawah pohon besar, tubuhnya basah kuyup. Wajahnya tidak lagi penuh ketakutan, tapi juga tidak menunjukkan kepuasan. Ia hanya menatap ke dalam hujan, membiarkan tetesan air menghapus semua jejak air mata dari pipinya.
Posting Komentar
Posting Komentar