Di Posting Oleh : PAKNAI
Kategori : Cerita
Matanya menyapu kantor desa yang lengang. Hanya suara angin yang menggoyang daun pintu kayu di sana. Tak ada antrean, tak ada keramaian seperti yang ia bayangkan. “Cepat selesai, cepat pulang,” pikirnya.
Namun, ketika ia melangkah masuk, tubuhnya berhenti di ambang pintu. Di belakang meja yang ditutupi tumpukan berkas, Pak Herman—kepala desa—mengangkat wajahnya perlahan. Senyuman kecil mengembang di bibir lelaki paruh baya itu, senyuman yang membuat punggung Raka terasa dingin.
“Kamu mau apa, Raka?” suara itu lembut, tapi menusuk seperti duri.
Raka menggigit bibirnya. Ia mengulurkan formulir itu tanpa banyak bicara.
“Beras?” Pak Herman menatap kertas itu, lalu menatap Raka. “Apa keluargamu tahu kau ke sini?”
Raka menggeleng pelan. Suara hujan rintik mulai terdengar lagi di luar, mengisi celah sunyi yang memanjang di antara mereka.
“Keluargamu kan cukup mampu. Tanah warisan mereka luas. Kenapa tidak minta dari mereka saja?” Pak Herman menyandarkan tubuhnya di kursi kayu itu, matanya tajam menelisik.
Raka tahu pertanyaan itu akan datang, tapi tetap saja dadanya terasa sesak mendengarnya. Tangannya mengepal. “Saya cuma butuh... sedikit saja, Pak. Anak-anak saya belum makan sejak kemarin.”
Pak Herman tertawa kecil, tawa yang lebih mirip ejekan. “Apa mereka tahu kau mengemis begini?”
Malam itu, Raka duduk di teras rumahnya. Lampu minyak berkedip-kedip, bayangan nyalanya memantul di wajah kedua anaknya yang tertidur di sudut ruangan. Bau singkong rebus yang mulai dingin menguar dari piring kecil di lantai.
Ia menatap gelap yang melingkupi rumahnya. Jauh di seberang sawah, ia bisa melihat lampu terang dari rumah pamannya. Rumah yang megah dengan halaman luas, tempat di mana keluarganya sering berkumpul. Raka ingat betul bagaimana keluarganya selalu mengulurkan tangan ketika ia kesulitan. Tapi ada harga yang harus ia bayar—harga yang tak pernah ia sebutkan pada istrinya.
Kata-kata itu masih berputar-putar di kepalanya. Setiap bantuan yang mereka berikan selalu datang dengan beban yang membekas. Kali ini, ia ingin mencoba berdiri sendiri, meski dengan cara yang mungkin dianggap hina oleh keluarganya. Tapi bagaimana jika mereka tahu? Bagaimana jika mereka merasa dipermalukan?
Hujan turun lagi. Raka masuk ke dalam, menarik selimut usang yang menutupi tubuh anak-anaknya. Istrinya, Mira, duduk di sudut ruangan, menggulung benang untuk membuat tas anyaman.
“Kau jadi mengajukan bantuan itu?” Mira bertanya tanpa menoleh.
Raka tak segera menjawab. Ia hanya duduk di lantai, menatap piring singkong yang tak lagi disentuh.
“Mereka pasti akan tahu,” Mira melanjutkan. “Keluargamu... mereka selalu tahu.”
Raka mengangguk pelan. Ia tahu Mira benar. Selalu ada seseorang yang akan berbicara, menyampaikan kabar ke keluarga besarnya.
“Aku tak punya pilihan,” gumamnya.
“Selalu ada pilihan, Raka. Kau hanya terlalu takut untuk memilihnya,” jawab Mira dengan nada dingin.
Pagi berikutnya, Raka berdiri di depan pintu rumah Pak Herman lagi. Kali ini, antrean sudah mengular. Ia bisa merasakan tatapan heran dari beberapa orang yang mengenalnya, tapi ia berpura-pura tak peduli.
Ketika namanya dipanggil, ia melangkah masuk dengan langkah berat. Pak Herman sudah menunggunya dengan senyuman yang sama seperti kemarin.
“Raka, akhirnya kau kembali,” katanya sambil menyandarkan tubuhnya di kursi. “Sudah kuproses permohonanmu. Tapi...”
“Tapi apa, Pak?”
Pak Herman menggeser map di mejanya, memperlihatkan formulir yang sudah ditandatangani. “Ada yang harus kau lakukan untukku.”
Raka menatap map itu, jantungnya berdegup kencang. “Apa maksud Bapak?”
Pak Herman mengeluarkan secarik kertas lain dari lacinya. “Ada satu tanah yang akan dilelang minggu depan. Aku dengar itu masih bagian dari warisan keluargamu. Aku ingin kau bantu meyakinkan mereka untuk menjualnya padaku.”
“Tanah itu?” Raka merasa darahnya mengalir dingin. “Itu milik bersama. Aku tak punya hak memutuskan soal itu.”
Pak Herman tertawa kecil. “Kau tak perlu memutuskan. Kau hanya perlu membicarakan hal ini di pertemuan keluarga. Lakukan itu, dan beras ini menjadi milikmu.”
Raka menggenggam kursi di depannya. Keringat dingin mengalir di pelipisnya. Ia tahu konsekuensi dari tindakan ini. Jika keluarganya tahu ia memanfaatkan mereka untuk keuntungan pribadinya, mereka tak akan pernah memaafkannya. Tapi anak-anaknya? Mereka membutuhkan makanan hari ini, bukan besok.
“Bagaimana, Raka?” suara Pak Herman memecah pikirannya.
Raka menunduk. Tangannya gemetar saat ia menandatangani kertas itu. Di luar, hujan kembali turun, menyelimuti desa dengan dingin yang tak kunjung reda.
Epilog:
Malam itu, Raka duduk di meja ruang tengah bersama keluarganya. Wajah-wajah mereka terlihat tegang, seperti menunggu bom yang akan meledak.
“Kamu mengajukan bantuan beras?” suara pamannya memecah keheningan.
Raka menatap piring di depannya, tak berani mengangkat kepala.
“Kenapa tidak bilang pada kami dulu? Apa kamu malu pada keluargamu sendiri?” tanya pamannya lagi, nadanya meninggi.
Raka menggenggam tangan Mira di bawah meja, mencoba mencari kekuatan. Tapi Mira hanya diam, matanya menatap lantai.
“Raka, jawab!” suara pamannya semakin keras.
Raka mengangkat wajahnya perlahan. “Aku... aku hanya ingin mencoba sendiri.”
Ruangan itu menjadi sunyi, hanya terdengar suara angin yang menerobos celah jendela.
“Dan soal tanah itu...” suara pamannya tiba-tiba berubah dingin. “Kami dengar dari Pak Herman. Apa benar kamu setuju untuk membicarakan penjualannya?”
Pertanyaan itu menggantung di udara, seperti pisau yang siap jatuh. Raka merasakan napasnya tercekat. Ia ingin menjelaskan, tapi suara itu tak keluar dari mulutnya.
Hujan terus turun di luar. Di dalam, semua mata tertuju padanya, menunggu jawaban yang tak pernah datang.
Posting Komentar
Posting Komentar