n1ljWYmZyLaHa1TMPYBBtiqVcQolSr0KLMIOwgVb

Cari Blog Ini

Laporkan Penyalahgunaan

Mengenai Saya

Bayangan di Balik Jendela

Bayangan di Balik Jendela
Di Posting Oleh : PAKNAI
Kategori : Cerita

cerita pendek
 Langit senja merah membara, menggantung berat di atas genting rumah tua itu. Riko berdiri di depan cermin kamar, dasinya tergantung lemas di leher. Napasnya pendek-pendek, jemarinya gemetar saat menyentuh amplop putih di meja rias. Surat itu sudah ditulis. Hanya butuh tanda tangan.

Dari dapur, bunyi panci beradu terdengar samar. Aroma bawang goreng dan serai memenuhi rumah, melingkupi semua sudut seperti selimut yang menenangkan. Tapi tidak untuk Riko. Dia melirik pintu kamar, setengah terbuka.

"Lama banget, Mas! Makanannya mau dingin nih," suara Hana, istrinya, memecah kesunyian. Suaranya biasa, ringan seperti angin sore. Tapi bagi Riko, setiap nada terdengar seperti paku yang mengetuk-ngetuk tengkoraknya.

Dia meraih amplop itu. Berat. Seperti batu di tangan.

Kakinya melangkah perlahan ke ruang makan. Hana sudah duduk di kursi kayu favoritnya, rambutnya yang sebahu jatuh berantakan. Dia menyendokkan sup ke piring Riko tanpa menatap.

“Kenapa diam?” Hana bertanya, datar.

Riko menelan ludah. “Aku…”

“Hmm?”

“Aku mau bicara soal kita.” Kata-kata itu akhirnya keluar, terpantul-pantul di ruangan yang terlalu sempit.

Hana berhenti mengaduk supnya. Matanya naik, tajam. “Kita? Apa lagi sekarang, Mas?”

“Ini soal…” Riko menggantung. Dia ingin mengatakannya langsung. Bahwa dia ingin pisah. Tapi ada sesuatu di cara Hana menatapnya—seperti dia tahu lebih banyak daripada yang seharusnya—yang membuat Riko menahan lidahnya.

Dan sebelum dia sempat melanjutkan, pintu depan terbuka.

“Riko! Hana!” suara Ibu terdengar ceria, menghentikan segalanya.

“Riko bilang apa?” suara Ibu terdengar pelan, tapi menusuk seperti jarum dingin di bawah kulit. Mereka duduk di ruang tamu kecil itu, hanya diterangi lampu kuning redup. Hana sedang di dapur, mencuci piring.

“Ibu, aku… aku nggak bisa terus begini,” kata Riko akhirnya, menunduk.

“Begini? Maksudmu?” Ibu mengangkat alis.

“Dia… Hana… dia tidak seperti dulu. Aku merasa kosong. Aku merasa, Ibu, dia menyembunyikan sesuatu.”

Ibu memiringkan tubuhnya ke depan, tatapannya tajam. “Apa maksudmu menyembunyikan sesuatu? Kamu tahu Hana, dia setia. Dia itu baik. Lebih baik dari yang pantas kamu dapatkan!”

Riko menggeleng. “Ibu tidak lihat apa yang aku lihat. Dia sering pergi tiba-tiba. Dia jarang menjawab telepon. Dan, Ibu tahu apa yang paling mengganggu? Aku pernah melihat bayangan di jendela kamar kita malam itu. Tapi ketika aku cek, tidak ada siapa-siapa.”

Ibu mendesah panjang, suaranya bergetar. “Itu cuma pikiranmu saja, Nak. Kamu tidak boleh sembrono begini. Memangnya kamu punya bukti apa?”

Riko menggigit bibir. Tidak ada bukti. Hanya firasat, dan rasa dingin yang merayap setiap kali dia memandang Hana.

Malam itu, Riko terbangun di kamar gelap. Hana tidak ada di sampingnya. Jam di meja menunjukkan pukul 2 pagi. Dia bangkit, pintu kamar sedikit terbuka.

Dia mendengar sesuatu—bisikan. Di ujung lorong, Hana berdiri dengan ponsel di tangan. Dia berbicara dengan suara rendah, seperti menahan sesuatu.

“Aku nggak bisa lama-lama. Dia mungkin bangun,” kata Hana.

Jantung Riko seperti berhenti. Dia menahan napas, mencoba mendekati tanpa suara. Tapi lantai kayu tua itu berderit pelan.

Hana menoleh cepat, wajahnya berubah. “Mas? Ngapain bangun?”

“Aku harus tanya,” Riko berkata sambil menahan gemetar, “Kamu tadi bicara dengan siapa?”

Hana diam, sebelum akhirnya tersenyum kecil. “Cuma rekan kerja, Mas. Ada urusan kantor.”

“Tapi jam segini?”

Hana melipat tangan. “Kamu nggak percaya sama aku?”

Jawaban itu seperti lemparan batu. Riko ingin membalas, tapi bibirnya kelu.

Keesokan harinya, Riko tidak berangkat kerja. Dia memutuskan untuk mengikuti Hana. Dia tahu ini salah, tapi rasa curiga yang menggerogoti pikirannya terlalu kuat untuk diabaikan.

Hana keluar rumah dengan baju sederhana, tas kecil di bahu. Dia berjalan menuju halte bus tanpa menoleh ke belakang. Riko mengikuti dari jauh, memastikan langkahnya tidak terdengar.

Bus membawa mereka ke pusat kota, ke sebuah kafe kecil di sudut jalan. Hana masuk dengan langkah cepat.

Riko menunggu beberapa menit sebelum masuk, memilih meja di sudut ruangan. Matanya mencari, dan akhirnya dia menemukannya—Hana duduk bersama seorang pria.

Pria itu tinggi, dengan rambut acak-acakan dan jaket kulit hitam. Mereka tertawa kecil, berbicara dengan akrab.

Waktu seolah melambat. Riko merasakan amarah dan kesedihan berputar menjadi satu. Tapi dia tetap diam, hanya mengamati.

Saat pria itu menyentuh tangan Hana, Riko berdiri. Langkahnya cepat, tanpa rencana.

“Hana,” katanya, suaranya dingin.

Hana menoleh, kaget. Pria di depannya terdiam.

“Mas…” Hana bangkit, wajahnya pucat.

“Siapa dia?” Riko menunjuk pria itu.

Hana membuka mulut, tapi tidak ada suara yang keluar.

Riko merasa ruangan itu menjadi lebih kecil, lebih panas. “Jawab, Hana! Siapa dia?!”

Pria itu akhirnya berdiri, tangannya terangkat. “Tenang, Mas. Saya cuma…”

“Kamu diam!” Riko membentak, membuat beberapa pengunjung kafe menoleh.

Hana akhirnya berkata, suaranya pelan, hampir berbisik. “Dia… dia adik sepupuku, Mas. Kita cuma membahas sesuatu yang penting.”

Adik sepupu? Kata-kata itu bergema di kepala Riko, tapi dia tidak bisa memutuskan apakah itu kebenaran atau kebohongan.

Pria itu mengangguk cepat. “Betul, Mas. Kami keluarga.”

Namun, sebelum Riko sempat berbicara lagi, ponselnya bergetar. Dia melihat nama di layar—Ibunya.

“Riko, pulang sekarang. Cepat,” suara Ibu terdengar tegang di seberang.

Tanpa sepatah kata, Riko berbalik meninggalkan kafe. Pikirannya penuh dengan pertanyaan yang belum terjawab.

Di rumah, Ibu berdiri di ruang tamu dengan wajah pucat. Di tangannya, ada sepucuk surat.

“Apa ini?” Riko bertanya, bingung.

Ibu menyerahkan surat itu. Dengan tangan gemetar, Riko membacanya.

“Mas, aku pergi. Jangan cari aku.”

Hana.

Dunia Riko runtuh. Pertanyaan-pertanyaan baru muncul, mengisi kekosongan di dadanya. Bagaimana jika dia benar-benar selingkuh? Atau… bagaimana jika ini hanya kesalahpahaman besar?

Riko meremas surat itu. Tapi jawaban tidak pernah datang. Hanya bayangan-bayangan di balik jendela yang terus menghantuinya.

Related Posts
SHARE

Related Posts

Subscribe to get free updates

Posting Komentar

Sticky Note