Di Posting Oleh : PAKNAI
Kategori : Cerita
Arman membuka pintu sedikit, cukup untuk melihat wajah mereka yang tertidur lelap. Wajah Naya terlihat damai, jarinya masih mencengkeram boneka lusuh yang diberinya nama Mimi. Di sebelahnya, Rafi bergumam dalam tidur, alisnya berkerut seolah tengah bermimpi buruk.
Arman menarik napas panjang. Wajah mereka selalu berhasil mengunci langkahnya. Tapi malam ini berbeda. Ada sesuatu di dalam dirinya yang mendesak untuk pergi, seperti air yang terlalu lama ditahan bendungan.
Ia berbalik, tapi tatapan mata Sarah, istrinya, yang berdiri di ujung lorong menghentikannya. Tidak ada kata yang terucap, hanya tatapan dingin yang menyelami ketakutan dalam dirinya. Sarah memiringkan kepala, matanya menyipit, mencoba membaca maksud dari tubuh suaminya yang kaku.
"Aku pikir kita perlu bicara," bisik Sarah. Suaranya rendah, hampir seperti ancaman.
Arman menelan ludah, menghindari tatapannya. “Tidak sekarang.”
Pagi datang seperti punggung gelombang yang menghantam pantai, kasar dan berulang. Di meja makan, aroma telur goreng bercampur dengan suara Naya yang memprotes kenapa dia harus memakai kaus kaki hijau. Rafi, di seberang meja, menyendok nasi tanpa benar-benar makan, matanya sibuk pada layar ponsel.
Sarah duduk di ujung meja, diam. Pandangan matanya sesekali menusuk ke arah Arman, yang berpura-pura sibuk membaca koran. Tangan Arman sedikit gemetar saat menggenggam cangkir kopi. Ia tahu, waktunya semakin sempit.
"Naya, habiskan makanmu," suara Sarah terdengar datar, tapi tegas. Anak-anak patuh, menyelesaikan makan dalam keheningan. Saat mereka akhirnya keluar menuju sekolah, Sarah menutup pintu dan berdiri menghadap Arman.
“Berapa lama lagi kamu mau begini?” tanyanya. Tidak ada teriakan, hanya nada dingin yang memotong udara.
"Apa maksudmu?" Arman mencoba terdengar santai, tapi suaranya bergetar.
“Kamu pikir aku tidak tahu? Setiap malam kamu berdiri di depan pintu kamar mereka seperti pencuri. Kamu mau pergi, tapi tidak punya nyali,” kata Sarah sambil melipat tangannya.
Arman terdiam. Lidahnya terasa kelu. Sarah benar. Dia ingin pergi. Tapi setiap kali ia mencoba membayangkan hidup tanpa anak-anaknya, dadanya seperti dihantam batu besar.
“Aku hanya tidak ingin menyakiti mereka,” katanya akhirnya, pelan.
Sarah mendengus. “Jangan gunakan mereka sebagai alasan. Ini tentang kita, bukan mereka.”
Arman ingin membalas, tapi pikirannya sibuk dengan pertanyaan lain: bagaimana jika Sarah melarangnya bertemu anak-anak setelah ini? Bagaimana jika ia kehilangan Naya dan Rafi selamanya? Pikiran itu membuatnya sesak, tapi juga memaksa keberanian kecil tumbuh dalam dirinya.
Malam itu, Arman berdiri di taman belakang rumah. Lampu taman yang redup memantulkan bayangan panjang di tanah. Angin dingin menyentuh kulitnya, namun tangannya yang terkepal terasa hangat. Ia harus menyelesaikan ini, malam ini.
Langkah Sarah terdengar dari arah pintu. Ia berjalan mendekat, memegang segelas teh yang mengepul. Tidak ada senyuman, hanya mata yang penuh tanya.
“Jadi, apa keputusanmu?” tanyanya, langsung ke inti.
Arman menunduk sejenak, menimbang setiap kata. “Aku ingin kita berpisah.”
Sarah terdiam. Matanya mengeras, bibirnya menipis. Ia menaruh gelasnya di atas meja taman, lalu duduk. “Dan anak-anak?”
“Aku ingin tetap menjadi bagian dari hidup mereka,” jawab Arman.
“Tapi kau tahu itu tidak akan mudah, bukan? Anak-anak butuh rumah yang stabil, mereka butuh aku,” kata Sarah, suaranya tenang tapi dingin seperti baja. “Dan aku tidak yakin mereka akan menerima keputusanmu.”
Arman menggigit bibirnya. “Mereka akan mengerti. Aku akan bicara dengan mereka. Aku ingin menjadi ayah mereka, tidak peduli apa pun yang terjadi.”
Sarah mendongak, matanya seperti pisau yang mencoba menguliti niat Arman. “Dan bagaimana jika aku melarang?”
Kata-kata itu menghantam seperti badai. Arman merasakan darahnya berdesir, ketakutan yang selama ini menghantuinya akhirnya muncul ke permukaan. Tapi di balik itu, ada api kecil yang menyala. Ia harus melawan ketakutannya.
“Kamu bisa melarangku, tapi kamu tidak bisa mengambil mereka dariku,” katanya, dengan suara yang lebih tegas dari sebelumnya. “Mereka berhak memiliki ayah.”
Mata Sarah menyipit. Ia berdiri, merapikan rambutnya yang tergerai. “Kita lihat saja nanti,” katanya, sebelum masuk ke dalam rumah, meninggalkan Arman dalam dinginnya malam.
Pagi itu, suara tawa anak-anak terdengar lagi di meja makan, seolah malam sebelumnya tidak pernah terjadi. Naya berceloteh tentang tugas sekolah, sementara Rafi bertanya apakah ayahnya bisa menemaninya ke pertandingan sepak bola minggu depan. Arman menjawab dengan anggukan kecil, meskipun matanya sesekali melirik ke arah Sarah yang duduk di ujung meja.
Tidak ada pembicaraan tentang perpisahan, tidak ada percakapan yang mengupas ketakutan mereka. Tapi semuanya tahu, badai itu belum berlalu.
Arman berdiri dari kursinya, meraih tas kerjanya. Ia melangkah ke pintu, tapi berhenti sejenak, melihat anak-anaknya yang kini tertawa. Dalam hati, ia berjanji akan melakukan apa pun untuk mereka.
Ketika ia membuka pintu, angin pagi menyambutnya, membawa ketidakpastian yang menggantung di udara.
Arman menarik napas panjang dan melangkah keluar, tak tahu apa yang menunggunya. Tapi untuk pertama kalinya, ia merasa cukup kuat untuk menghadapi apa pun yang akan datang.
Posting Komentar
Posting Komentar