Di Posting Oleh : PAKNAI
Kategori : Cerita
Bunyi bising kendaraan di bawah hanya menambah rasa kosong di dadanya. Di seberang jalan, seorang pasangan muda tertawa, tangan mereka saling menggenggam erat. Hendra memalingkan wajah, seolah pemandangan itu menelanjangi kesepiannya. Dia melangkah masuk ke kamar, menghindari cermin besar di sudut ruangan yang sering kali memantulkan sosoknya – wajah lelah dengan rambut yang mulai memutih sebelum waktunya.
Di dinding, kalender bulan Januari tergantung. Hari ini tanggal 14, tapi tak ada yang spesial. Hendra menghela napas dan duduk di kasurnya yang sudah mulai cekung di tengah. Pikirannya melayang-layang pada satu hal yang terus menghantuinya: hidup sendirian.
Hari itu, sebuah percakapan sederhana di warung makan mengubah segalanya. Hendra, yang biasanya makan dalam diam, terpaksa berbicara karena lelaki di sebelahnya tiba-tiba membuka obrolan.
“Sendirian, Bang?” tanya pria itu. Usianya tampak jauh lebih muda, mungkin akhir 20-an.
Hendra mengangguk pelan, menyesap teh hangatnya. “Iya, cuma makan sebentar.”
Pria itu tersenyum, ramah tanpa terlihat berlebihan. “Saya baru pindah ke sini. Lagi cari kerja. Abang asli sini, ya?”
Percakapan itu berkembang. Awalnya terasa canggung, tapi akhirnya Hendra mendengar dirinya bercerita tentang masa lalunya sebagai seorang akuntan. Pria muda itu, Doni namanya, mendengarkan dengan serius.
“Kenapa nggak coba merantau, Bang?” tanya Doni tiba-tiba. Kalimat itu seperti petir di kepala Hendra.
“Merantau?” Hendra mengulang dengan nada ragu. “Saya udah tua. Mau mulai dari mana?”
“Usia nggak jadi masalah, Bang. Hidup itu soal nyoba, bukan soal umur,” Doni menepuk bahunya sebelum pamit.
Sepeninggal Doni, Hendra duduk lama di meja warung itu. Kata-kata Doni terus terngiang di telinganya. “Nyoba… bukan soal umur.”
Malam itu, Hendra tidak bisa tidur. Dia bolak-balik di tempat tidur, pikirannya memutar pertanyaan yang sama: bagaimana jika dia merantau? Apa yang sebenarnya dia cari? Dia belum punya jawaban, tapi ada sesuatu yang membuat dadanya bergemuruh – ketakutan, tapi juga harapan kecil.
Tiga minggu kemudian, Hendra berdiri di stasiun kereta dengan satu koper kecil di tangan. Hatinya terasa seperti tambur yang dipukul tanpa henti. Dia belum pernah pergi sejauh ini sendirian. Tujuannya adalah sebuah kota besar yang sering dia dengar, tapi tak pernah dia kunjungi. Jakarta.
Perjalanan terasa panjang. Di dalam kereta, dia duduk di dekat jendela, menyaksikan pemandangan berganti-ganti: sawah, gunung, hingga akhirnya deretan gedung tinggi. Ketika kereta berhenti, Hendra turun dengan langkah ragu. Hiruk-pikuk kota menyambutnya dengan bising yang hampir melumpuhkan. Tapi dia tak mundur. Dia terus berjalan.
Hari-hari pertama terasa seperti ujian berat. Hendra mencari kerja dari pagi hingga sore, mengetuk pintu kantor-kantor kecil dengan amplop berisi CV-nya yang usang. Banyak yang menolaknya, beberapa bahkan dengan cemooh halus.
Namun, di hari ke-12, sesuatu terjadi. Di sebuah kafe kecil tempat dia menghabiskan malam, Hendra mendengar percakapan dua orang yang membahas keuangan perusahaan mereka. Dengan keberanian yang entah datang dari mana, Hendra menyela.
“Maaf, saya mendengar Anda membutuhkan seseorang untuk mengelola pembukuan?” tanyanya.
Kedua orang itu terkejut, tapi salah satu dari mereka akhirnya memberikan kartu nama. Hendra pulang malam itu dengan secercah harapan.
Beberapa hari kemudian, dia resmi bekerja sebagai akuntan freelance untuk perusahaan kecil tersebut. Pekerjaan itu tidak menghasilkan banyak, tapi cukup untuk membuatnya bertahan. Yang lebih penting, dia merasa hidupnya mulai bergerak maju.
Namun, rasa ragu tak sepenuhnya hilang. Malam-malamnya masih dihantui pertanyaan: Apakah ini benar jalan yang dia cari? Apa yang dia kejar sebenarnya?
Suatu malam, di taman kota, Hendra bertemu seorang wanita yang sedang membaca buku sendirian. Dia nyaris tidak berbicara, hanya saling tersenyum ketika pandangan mereka bertemu. Tapi senyuman itu, sekilas saja, membuat hatinya bergetar. Ada rasa hangat yang tak pernah dia rasakan sejak lama.
Hendra tahu, hidupnya belum selesai. Perjalanannya baru dimulai. Tapi untuk pertama kalinya, dia merasa berani untuk melihat ke depan, meski jalan itu penuh dengan ketidakpastian.
Esok harinya, Hendra bangun lebih pagi dari biasanya. Dia menatap pantulan dirinya di cermin dengan senyuman kecil, lalu mengenakan kemeja rapi. Di tangan kirinya, ada kartu nama wanita di taman yang semalam dia temui. Hendra mengambil napas panjang, lalu memasukkan kartu itu ke dalam saku. Hari ini, dia akan memulai sesuatu yang baru.
Ketika dia melangkah keluar, langit masih kelabu, tapi angin pagi terasa segar. Hendra memandangi jalan panjang di depannya. Dia tidak tahu apa yang menunggunya, tapi untuk pertama kalinya, dia siap untuk menjalaninya.
Posting Komentar
Posting Komentar