Di Posting Oleh : PAKNAI
Kategori : Cerita
Kau bisa mendengar suara mereka bahkan dari kamar. Bentakan ayah menghantam udara seperti piring pecah, dan ibunya membalas, suara serak penuh amarah. Lila menutup telinganya dengan bantal, tapi itu hanya menumpulkan kebisingan, bukan menghilangkannya. Jam dinding di atas meja belajar berdetik pelan, nyaris mengejeknya. Malam sudah larut, tapi rumah ini tak pernah benar-benar tidur.
Di luar, hujan mengetuk jendela kamar, iramanya seolah mengikuti tarian pertengkaran di bawah. Lila ingin keluar, menghirup udara segar, tapi dingin bulan Desember terlalu menggigit. Tidak ada tempat yang benar-benar aman di sini, baik di luar maupun di dalam. Dia duduk di lantai, memeluk lututnya, berharap ketegangan di dada bisa mereda.
Ketika suara kaca pecah terdengar, tubuhnya tegang. Jantungnya berdegup cepat. Dia tahu persis apa yang terjadi. Ibunya pasti membanting sesuatu lagi. Kadang piring, kadang vas bunga, apa saja yang bisa ia raih. Lila mengintip dari celah pintu yang sedikit terbuka. Dia melihat bayangan ayahnya, tinggi dan gelap, berdiri di ruang tengah dengan tangan terkepal. Di sisi lain, ibunya, rambut kusut dan napas tersengal.
“Kalau begini terus, kita bisa saja cerai!” suara ibunya melengking, menembus tembok-tipis dinding rumah.
Kata itu membuat perut Lila melilit. Cerai. Kata yang menakutkan dan asing, tapi juga terasa seperti kelegaan yang tertunda. Dia menggigit bibirnya, berharap mulutnya tidak spontan mengeluarkan suara apapun. Kalau mereka tahu dia mengintip, itu hanya akan membuat semuanya lebih buruk.
Ketika akhirnya pintu kamarnya diketuk dengan keras, dia terlonjak. “Lila, buka!” Itu suara ayahnya. Nada yang tidak bisa ditolak.
Dengan tangan gemetar, dia memutar kunci pintu dan membuka perlahan. Wajah ayahnya mengintip, penuh kemarahan yang berusaha ditutupi. “Besok jangan lupa bantu ibu masak. Kita ada tamu penting,” katanya singkat sebelum berbalik.
Tamu? Pikiran itu memotong kecemasan sebelumnya. Siapa yang mau datang ke rumah ini? Rumah yang seperti medan perang?
Pagi itu dimulai dengan ketegangan. Ibunya berdiri di dapur, memasak sambil terus menggerutu kecil. Wajahnya masih menyimpan sisa-sisa semalam, kantung mata hitam dan bibir menipis seperti garis lurus. Ayahnya sudah pergi entah ke mana, mungkin mencari pelarian di warung kopi langganannya.
“Lila, siapkan ruang tamu. Jangan malas,” perintah ibunya tanpa menoleh. Tangannya sibuk mengaduk panci. Bau bawang goreng memenuhi ruangan, menciptakan ironi: aroma rumah yang seharusnya hangat terasa hampa.
Lila melangkah pelan ke ruang tamu. Dia menata bantal sofa, menyapu lantai, dan meluruskan foto keluarga di dinding. Foto itu terasa seperti penghinaan. Senyuman palsu mereka terpampang di bingkai, seolah-olah semuanya baik-baik saja. Dia ingin membuangnya, tapi malah mengembalikan posisi bingkai dengan hati-hati.
Ketika bel pintu berbunyi, tubuhnya menegang. Tamu sudah datang. Lila mengintip dari sela gorden. Ada seorang pria berdiri di sana, mengenakan jas abu-abu dan membawa kotak kado kecil. Wajahnya asing tapi ramah, sekitar tiga puluhan, dengan rambut rapi disisir ke belakang. Ayah menyambutnya, senyum lebar yang terasa janggal menghiasi wajahnya.
“Ini Aditya,” kata ayah memperkenalkan pria itu ketika mereka masuk.
Aditya menjabat tangan Lila, senyumnya hangat tapi matanya penuh rasa ingin tahu. “Senang bertemu, Lila,” katanya. Suaranya berat, tapi lembut. Lila hanya mengangguk, tidak tahu harus berkata apa. Dia merasa seperti sedang diperiksa.
Mereka semua duduk di ruang tamu. Ayah dan ibu Lila mengobrol dengan Aditya, membahas hal-hal sepele seperti cuaca dan pekerjaan. Tapi ada ketegangan di udara, sesuatu yang tidak terucapkan. Lila duduk di pojok, mendengarkan dengan cemas.
Ketika Aditya menoleh ke arahnya, dia berkata, “Saya sering mendengar cerita tentangmu dari ayahmu. Dia sangat bangga.”
Lila tertegun. Ayah? Bangga? Itu terdengar seperti lelucon. Ayahnya bahkan jarang berbicara dengannya.
“Terima kasih,” jawab Lila pelan. Dia ingin menyudahi percakapan, tapi tatapan Aditya terus menempel padanya.
“Kamu sudah kelas berapa sekarang?” tanyanya.
“Tiga SMA,” jawabnya, berusaha terdengar netral.
Aditya mengangguk, tersenyum lagi. “Waktu cepat sekali berlalu. Dulu saya juga seperti kamu, fokus belajar untuk masa depan.”
Lila tidak merespons. Perutnya mulai terasa tidak nyaman, seperti ada sesuatu yang salah, tapi dia tidak bisa menjelaskannya. Ketika akhirnya tamu itu pamit, dia merasa lega. Tapi itu tidak berlangsung lama.
Malam harinya, ayah memanggilnya ke ruang kerja. Itu jarang terjadi. Dia masuk dengan hati-hati, duduk di kursi kayu keras di depan meja ayahnya.
“Aditya tertarik padamu,” kata ayahnya tiba-tiba.
Kata-kata itu seperti petir. “Maksud Ayah?” tanyanya, meski dia sudah tahu jawabannya.
“Dia ingin mengenalmu lebih baik. Mungkin menikah,” katanya dengan nada datar, seperti membicarakan cuaca.
Lila terdiam. Kata-kata itu terlalu besar untuk dicerna.
“Tapi aku masih sekolah,” katanya akhirnya, suaranya nyaris berbisik.
“Dia pria baik, mapan. Ini kesempatan bagus untukmu,” kata ayahnya. Nada suaranya tidak memberi ruang untuk perdebatan.
Malam itu, Lila duduk di kamarnya, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. Hatinya penuh dengan pertanyaan. Apakah ini solusi ayahnya untuk menenangkan rumah yang berantakan ini? Dengan mengorbankan dirinya?
Beberapa minggu berlalu, dan Aditya terus datang. Setiap kunjungan terasa seperti tekanan. Lila tidak pernah mengatakan ya atau tidak, tapi perlahan-lahan, keluarganya bertindak seolah-olah itu sudah pasti.
Satu malam, saat Aditya datang lagi, dia membawa bunga. “Untukmu,” katanya, menyerahkannya pada Lila. Tangannya gemetar saat menerimanya.
Ketika Aditya berbicara dengannya malam itu, dia mengatakan sesuatu yang membuat darahnya membeku. “Aku tahu ini mungkin terasa cepat, tapi aku benar-benar yakin kamu adalah orang yang tepat untukku. Aku ingin memastikan kamu bahagia.”
Kata-katanya lembut, tapi terasa seperti jebakan. Lila ingin berteriak, ingin mengatakan bahwa dia tidak ingin ini. Tapi ketika dia melihat ke arah orang tuanya, yang mengangguk penuh harap, dia merasa mulutnya terkunci.
Malam itu, Lila memutuskan untuk pergi ke luar. Udara malam dingin menusuk, tapi itu lebih baik daripada suasana di rumah. Dia berjalan tanpa arah, menyusuri jalanan kosong, hanya ditemani bayangan dirinya sendiri.
Ketika dia berhenti di bawah lampu jalan, dia berpikir, “Bagaimana jika aku kabur?”
Tapi ke mana? Tidak ada teman, tidak ada tempat untuk berlindung. Pikiran itu hanya membuatnya merasa semakin terjebak. Namun, di balik rasa takut itu, ada sesuatu yang baru: keberanian yang kecil tapi nyata.
Ketika dia kembali ke rumah, orang tuanya sedang menunggunya. “Aditya melamar,” kata ayahnya langsung.
Lila menatap mereka. Dia melihat ayahnya, ibunya, dan merasa seperti tidak mengenal mereka lagi. Lalu dia berkata, suaranya gemetar tapi tegas, “Aku belum siap.”
Kata-kata itu menggantung di udara, menciptakan ketegangan baru yang berbeda. Ayahnya mengerutkan dahi, tapi tidak berkata apa-apa. Ibunya menatapnya dengan ekspresi campuran antara marah dan bingung. Aditya hanya diam, senyumnya perlahan memudar.
Lila berdiri, tangannya gemetar, tapi dia tidak akan mundur. Dia tahu ini baru permulaan, dan dia belum tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Tapi untuk pertama kalinya, dia merasa memiliki kendali.
Tindakan ini, keputusan ini, adalah miliknya.
Dan dengan itu, malam itu ditutup tanpa kepastian, hanya dengan suara hujan yang terus mengetuk jendela, menandai awal dari sesuatu yang baru.
Posting Komentar
Posting Komentar