n1ljWYmZyLaHa1TMPYBBtiqVcQolSr0KLMIOwgVb

Cari Blog Ini

Laporkan Penyalahgunaan

Mengenai Saya

Di Antara Beras dan Dokumen

Di Antara Beras dan Dokumen
Di Posting Oleh : PAKNAI
Kategori : Cerita

cerita pendek
Pagi itu, udara kota terasa terpanggang oleh panas matahari yang tak kunjung reda. Irfan menatap selembar formulir yang ada di tangannya. Kertas itu tampak lusuh, sudut-sudutnya terlipat karena berulang kali ia lipat dan buka. Sebuah pengingat yang semakin mengikis harapannya. Di luar, suara kendaraan berlalu-lalang, menyuarakan kebisingan yang terbalut dalam kepulan debu. Namun, bagi Irfan, kebisingan itu terasa begitu jauh, seolah-olah ia berada dalam ruang sunyi yang terjebak di antara dinding-dinding harapan yang semakin rapuh.

Di depan kantor desa, sekelompok orang duduk di bangku panjang yang terbuat dari kayu tua. Wajah-wajah mereka tampak terhimpit oleh beban yang sama—ingin mendapatkan bantuan beras dari pemerintah. Namun, seperti Irfan, mereka tahu betul bahwa harapan itu takkan mudah tercapai tanpa dokumen yang lengkap.

Irfan menggenggam erat formulir itu, melipatnya kembali dan menyelipkannya ke dalam saku celana. Pandangannya menatap kosong ke arah kantor desa yang terletak di ujung jalan. Setiap detik yang berlalu semakin menambah cemas dalam dadanya. Ia sudah lama berusaha, namun keputusannya untuk datang kesana hari ini adalah langkah terakhir yang bisa ia ambil. Tangan Irfan sedikit gemetar ketika ia melangkah maju, menapaki jalan yang berdebu menuju pintu kantor desa.

Ketika ia melangkah masuk, ruang itu terasa sumpek. Ada sebuah meja panjang di tengah, dipenuhi oleh tumpukan berkas-berkas, dan di belakang meja, seorang petugas dengan wajah datar sedang menatap layar komputer. Sementara itu, di samping meja, seorang ibu dengan dua anak kecil menunggu, wajahnya cemas, menyembunyikan ketidakpastian di balik mata yang penuh harap.

Petugas itu menatap Irfan sekilas, tidak mengatakan apapun. Irfan merasa seakan ia sedang diuji. Di atas meja, ada sebuah kotak kaca kecil berisi beras. Beberapa butir beras itu bergoyang tertiup angin dari luar jendela. Itu adalah simbol yang menjanjikan, namun juga mengingatkan Irfan bahwa ini bukanlah urusan yang mudah.

Irfan mengambil napas panjang, lalu berbicara, suaranya parau. "Saya ingin mendaftar untuk bantuan beras, Pak."

Petugas itu mengangkat alisnya, lalu dengan suara datar bertanya, "Dokumennya?"

Irfan menghela napas, menunduk sebentar. "Saya... saya tidak memiliki KTP, Pak. Cuma akta kelahiran."

Petugas itu diam, seolah-olah kata-kata Irfan tidak cukup untuk menanggapi permintaannya. Tanpa berkata lebih, petugas itu membuka laci meja dan mengeluarkan sebuah daftar berkas yang harus dipenuhi. Ia mengarahkan jarinya ke bagian paling atas daftar itu. "Ini persyaratannya. Tanpa dokumen lengkap, tidak bisa diproses."

Irfan merasa dada nya sesak. Ia menunduk, menggenggam akta kelahiran itu. Akta yang sudah usang, dengan huruf yang hampir pudar. Ia mencoba bertahan agar tak tersungkur dalam kegelisahan. Beberapa kali ia mencoba berbicara lagi, namun kata-katanya terhenti di tenggorokan. Semuanya terasa begitu jauh, seperti ia berbicara di ruang yang hampa, tanpa ada yang mendengarkan.

Hari itu, Irfan kembali ke rumah dengan langkah berat, membawa seberkas kekecewaan yang semakin menekan dirinya. Rumahnya yang sederhana itu tampak seperti sebuah kotak tua yang dikelilingi kebisingan dunia luar. Hanya suara angin dan langkah kucing peliharaannya yang terdengar. Di meja makan, beberapa butir beras tersisa. Cukup untuk beberapa hari ke depan, tapi tidak lebih. Istrinya, Nia, sedang duduk di samping anak-anak mereka, yang sibuk bermain dengan mainan kayu yang sudah lapuk.

"Kenapa lama, Mas?" tanya Nia dengan suara lembut, namun ada kelegaan yang terpantul di wajahnya. Mereka tahu, setidaknya ia sudah berusaha. Tetapi, Irfan merasakan ketegangan di dada, seperti ada sesuatu yang terpendam, yang enggan ia ungkapkan.

Ia menghela napas, duduk di samping Nia, dan menatap anak-anak mereka. "Aku... aku tidak bisa mendapatkannya, Nia. Aku tidak punya dokumen yang diperlukan."

Nia menunduk, mata yang semula penuh harap, kini pudar oleh kenyataan. "Tapi, Mas... kita benar-benar butuh beras itu."

Irfan menggigit bibirnya, rasa malu mulai merayap dalam dirinya. Ia merasa telah gagal. Sementara di luar sana, orang-orang dengan dokumen lengkap bisa dengan mudah mendapatkan bantuan itu. Hatinya hampa. Ia teringat akan kata-kata petugas di kantor desa, yang seakan mengingatkan bahwa tanpa dokumen, tanpa surat yang sah, mereka adalah orang yang tak layak untuk dibantu.

Namun, dalam benaknya, muncul sebuah pertanyaan yang tak pernah ia ungkapkan pada siapa pun. Bagaimana jika ia orang kaya?

Bagaimana jika ia bisa menunjukkan surat-surat yang lengkap? Apakah ia masih perlu berbaris seperti ini, menunggu tanpa jaminan?

Sore itu, Irfan berjalan keluar rumah, menuju warung kecil di pojok jalan. Hanya untuk mencari waktu sejenak, merenung. Langit tampak semakin gelap, namun di dalam dirinya, sesuatu yang lebih gelap tengah bergulir, menggerogoti kepalanya. Ia duduk di meja pojok warung, memesan segelas teh manis.

Ada seorang pria tua yang duduk di sebelahnya. Wajahnya penuh kerutan, namun matanya tetap tajam. Mereka bertukar pandang sejenak, sebelum pria itu membuka pembicaraan.

"Jadi, kau juga datang untuk bantuan beras?" tanyanya, suaranya rendah, namun penuh rasa ingin tahu.

Irfan mengangguk perlahan. "Ya, tapi tidak bisa."

Pria itu menghela napas, menatap Irfan dengan tajam. "Aku pernah bertemu dengan orang yang bisa membuat dokumen dalam sekejap. Cuma soal uang, semuanya bisa beres."

Irfan menatap pria itu dengan mata tajam, hatinya berdebar. Ia tahu betul bahwa yang dimaksud adalah jalan pintas yang penuh resiko. Sebuah keputusan yang akan mengubah segala sesuatu, tetapi juga bisa menghancurkan segalanya.

"Apakah itu benar?" Irfan bertanya, suaranya hampir tak terdengar.

Pria itu mengangguk pelan. "Jangan terlalu berharap pada birokrasi. Yang penting adalah siapa kamu dan bagaimana cara orang melihatmu. Jika kamu orang kaya, semua akan mudah."

Tiba-tiba, Irfan merasakan betapa dalamnya percakapan itu. Ia tidak hanya membicarakan beras, tetapi juga statusnya di mata dunia. Sejenak, Irfan terdiam. Bagaimana jika dia orang kaya?

Keesokan harinya, Irfan kembali ke kantor desa dengan langkah yang lebih tegas. Ia membawa sesuatu yang berbeda. Kali ini, formulir di tangannya bukan satu-satunya bekal. Ada senyum tipis yang mengiringi setiap langkahnya, meski wajahnya tetap dihiasi kecemasan. Ia tahu, ia berada di titik yang menentukan.

Di meja yang sama, petugas itu kembali menatapnya dengan tatapan kosong. Namun kali ini, Irfan tidak merasakan ketegangan yang sama. Ia sudah siap untuk menghadapinya, dengan segala cara.

Sambil meletakkan formulir di meja, Irfan berbicara dengan suara yang lebih keras, lebih pasti, "Saya ingin meminta bantuan beras. Ini dokumen saya."

Tangan Irfan gemetar sedikit saat ia mengeluarkan amplop dari tasnya. Tidak ada lagi akta kelahiran yang lusuh. Di dalam amplop itu ada salinan KTP, akta, dan dokumen lainnya. Petugas itu menatapnya, sejenak terdiam. Kemudian, ia mengangkat pandangannya dan berkata, "Dokumen lengkap. Kami akan segera memprosesnya."

Irfan menahan napas. Semua itu terjadi begitu cepat, namun begitu berat. Di luar sana, suara beras yang bergoyang di kotak kaca seperti menjadi simbol kemenangan yang terasa kosong.

Irfan melangkah keluar kantor desa dengan langkah berat. Sambil mengusap pelipisnya yang basah oleh keringat, ia menatap formulir yang sekarang sudah penuh tanda tangan. Lalu, pertanyaan yang mengganggu sejak semalam kembali datang—Bagaimana jika dia orang kaya?

Tak ada jawabannya. Yang ada hanya ruang kosong di antara harapan yang terus menggantung, seperti beras yang tidak pernah cukup, dan dokumen yang akhirnya menuntutnya untuk melangkah lebih jauh.

Related Posts
SHARE

Related Posts

Subscribe to get free updates

Posting Komentar

Sticky Note