n1ljWYmZyLaHa1TMPYBBtiqVcQolSr0KLMIOwgVb

Cari Blog Ini

Laporkan Penyalahgunaan

Mengenai Saya

Tali Tak Terputus

Tali Tak Terputus
Di Posting Oleh : PAKNAI
Kategori : Cerita

cerita pendek

 Ardi menggeledah kotak plastik kecil di atas meja dengan gerakan gelisah. Suara koin yang beradu dengan dinding kotak memenuhi ruangan, tapi yang ia cari tak juga muncul. Lima ribu itu hilang. Wajahnya memerah, napasnya tersengal. Ia tahu betul uang itu ia simpan semalam setelah pulang kerja.

"Mana uang itu..." gumamnya, lebih pada dirinya sendiri.

Anak-anak masih terlelap di ruang depan, wajah mereka damai, tak tahu apa yang sedang berkecamuk di pikiran ayah mereka. Ardi menatap dapur, tempat Siti sedang mempersiapkan sarapan. Ia berjalan ke sana, langkahnya berat seperti menahan letupan di dalam dada.

"Siti," panggilnya, nadanya pendek, hampir seperti perintah.

"Ya?" jawab Siti tanpa menoleh, tangannya sibuk memotong sayuran.

"Kamu lihat uang lima ribu yang di kotak plastik?" tanyanya, mencoba menjaga nadanya tetap tenang, meski hatinya mendidih.

Siti berhenti sejenak, menoleh ke arahnya. "Nggak. Mungkin jatuh waktu kamu kerja."

Ardi menggigit bibirnya. Ia ingat betul menghitung uang hasil narik becak kemarin. Uang lima ribu itu ia simpan di kotak plastik, terpisah dari yang lain. Itu uang untuk membeli sarapan anak-anak. Ia menghela napas panjang, menahan dorongan untuk memarahi Siti di tempat.

"Ya udah," gumamnya, tapi nada itu lebih terdengar seperti gertakan.

Sepanjang pagi, Ardi memutar kembali ingatannya. Ia yakin sekali tak menjatuhkan uang itu. Tak ada orang lain di rumah selain Siti dan anak-anak. Ketidakpastian ini membuatnya tersiksa, seperti luka kecil yang terus digaruk tanpa henti.

Hari menjelang siang, Ardi pulang lebih awal dari menarik becak. Sepi penumpang, katanya pada dirinya sendiri, meski ia tahu alasan utamanya adalah untuk mengonfrontasi Siti. Ketika ia membuka pintu rumah, ia mendapati anak-anak sedang tidur siang di ruang depan. Siti sedang menjemur pakaian di halaman belakang.

"Siti," panggilnya dengan suara rendah, hampir berbisik. Tapi kali ini, nada itu tak bisa menyembunyikan gejolak di dalamnya.

Siti menoleh, keningnya berkerut. "Kenapa?"

Ardi melangkah mendekat, suaranya mulai meninggi tanpa ia sadari. "Jangan bohong sama aku. Kamu yang ambil uang lima ribu itu, kan?"

Siti terdiam sejenak. Matanya menatap Ardi dengan tatapan yang sulit diterjemahkan. "Aku nggak ambil, Ardi. Aku nggak tahu uang itu ke mana."

"Jangan main-main!" Suaranya meledak. "Aku tahu kamu yang ambil. Siapa lagi di rumah ini selain kamu?"

Anak-anak terbangun oleh suara Ardi. Mereka berdiri di pintu, mengintip dengan mata lebar. Siti menyadari keberadaan mereka dan mencoba meredakan situasi. "Ardi, tenang. Nggak perlu teriak-teriak di depan anak-anak."

Tapi Ardi sudah tak bisa mendengar. Rasa frustrasi, marah, dan curiga bercampur jadi satu. Baginya, ini bukan sekadar soal uang lima ribu. Ini tentang kepercayaan yang terasa seperti perlahan menghilang, seperti pasir yang tergerus ombak.

"Aku capek, Siti," katanya akhirnya, suaranya melemah. "Aku nggak tahu sampai kapan aku bisa tahan kayak gini."

Siti menatapnya lama, sebelum akhirnya berbisik, "Kalau kamu nggak tahan, aku nggak bisa memaksa."

Kalimat itu seperti pukulan terakhir. Ardi memalingkan wajah dan keluar dari rumah tanpa sepatah kata pun. Ia berjalan tanpa tujuan, hanya ditemani oleh bayangan wajah anak-anaknya yang memandangnya penuh ketakutan.

Ardi duduk di tepi sungai kecil di belakang kampung. Di tangannya, seutas tali yang ia bawa dari rumah. Matanya kosong, tubuhnya menggigil meski matahari masih bersinar terik. Ia memikirkan anak-anaknya, tawa mereka, cara mereka memeluknya setiap kali ia pulang kerja. Tapi pikiran itu segera digantikan oleh bayangan mereka menangis saat ia pergi. Mungkin mereka akan membenci Siti, menyalahkan ibu mereka atas kepergiannya.

Air mata mengalir di pipinya. Ia merasa seperti lelaki yang gagal. Lima ribu rupiah saja bisa menghancurkan segalanya. Apa artinya hidup kalau ia tak bisa menjadi suami yang baik? Ayah yang baik?

Ia mengikat tali itu di dahan pohon yang menjulang di atas sungai. Tangan gemetar, tapi ia terus melanjutkan. Saat ia hendak melingkarkan tali di lehernya, sebuah suara kecil memanggil dari belakang.

"Ayah!"

Ardi terkejut dan menoleh. Anak bungsunya, Rani, berdiri tak jauh darinya. Mata kecilnya berkaca-kaca, wajahnya penuh kebingungan.

"Ayah ngapain di sini?" tanya Rani, suaranya lirih.

Ardi terdiam. Tenggorokannya terasa kering. Ia segera melepaskan tali dari dahan dan menyembunyikannya di balik punggung. "Nggak, Ayah cuma... lagi cari angin."

Rani berjalan mendekat dan memeluknya. Pelukan kecil itu seakan menghancurkan tembok yang selama ini ia bangun di sekeliling hatinya. "Ayah, jangan pergi. Aku sama Kakak takut kalau Ayah nggak ada."

Kata-kata itu sederhana, tapi cukup untuk membuat Ardi tersadar. Ia memeluk Rani erat-erat, air matanya mengalir deras. Di balik semua rasa sakit dan frustrasi, ada cinta yang tak terputuskan. Cinta yang membuatnya tetap bertahan.

Ardi menggendong Rani pulang, meninggalkan sungai dengan tali yang masih tergantung di dahan. Di rumah, ia mendapati Siti duduk di ruang tamu dengan mata sembab. Anak sulung mereka duduk di pangkuannya, memeluk erat.

Siti menoleh saat Ardi masuk, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, mereka saling memandang dengan kejujuran yang telanjang. Tak ada kata yang diucapkan, hanya saling pengertian yang perlahan mulai tumbuh.

Malam itu, Ardi menghabiskan waktu bersama anak-anaknya. Tawa mereka mengisi ruang tamu yang selama ini dipenuhi oleh sunyi. Di sudut hatinya, ia tahu perjalanan ini belum selesai. Tapi setidaknya, ia menemukan alasan untuk terus melangkah.

Related Posts
SHARE

Related Posts

Subscribe to get free updates

Posting Komentar

Sticky Note