Di Posting Oleh : PAKNAI
Kategori : Cerita
Uang itu bukan sekadar lima ribu rupiah. Itu adalah uang terakhir yang dia butuhkan untuk membeli obat bagi Dito, anak bungsunya, yang sedang demam tinggi sejak tiga hari lalu. Dokter mengatakan Dito butuh antibiotik, dan Ardi sudah mengumpulkan uang receh selama seminggu, menjual beberapa barang bekas di rumah, bahkan mengurangi jatah makannya sendiri. Lima ribu rupiah itu adalah sisa yang dia butuhkan untuk menebus resep itu. Tanpa obat, Dito bisa semakin parah.
“Sari,” panggilnya, suaranya datar tapi tegang. Sari menoleh, senyum kecil mengembang di wajahnya. “Ya, Ard?”
“Kamu lihat uang lima ribu dari saku jas ku kemarin?”
Sari menggeleng, wajahnya polos. “Tidak. Kenapa?”
Ardi menatapnya lama, matanya menyelidik. “Aku yakin taruh di sini. Hilang.”
Sari mengangkat bahu, kembali ke aktivitasnya. “Mungkin kau lupa taruh di tempat lain.”
Ardi menggerutu, memalingkan muka. Dia tidak percaya. Uang itu pasti diambil Sari, tapi istrinya tidak mau mengaku.
Malam itu, Ardi duduk di tepi tempat tidur, menatap foto keluarga di dinding. Rara dan Dito tersenyum lebar di dalam bingkai kayu itu, wajah mereka polos dan bahagia. Tangannya mengepal. Dia tidak bisa membiarkan ini terus terjadi. Tapi setiap kali dia membayangkan wajah anak-anaknya, hatinya remuk. Dia tidak ingin kehilangan mereka.
Esok harinya, Ardi pulang lebih awal. Dia menemukan Rara di kamarnya, wajahnya merah, mata sembap. Buku hariannya terbuka di pangkuannya. Ardi mendekat, duduk di sebelahnya. “Kenapa, Ra?”
Rara menunduk, air matanya menetes ke kertas. “Ayah, kenapa Ayah dan Ibu tidak bicara lagi? Apa aku dan Dito yang salah?”
Ardi tercekat. Dia menarik Rara ke pelukannya, mencium rambutnya yang wangi. “Tidak, Nak. Ini bukan salah kalian. Ayah… Ayah hanya sedang punya banyak pikiran.”
“Tapi aku takut,” bisik Rara, suaranya gemetar. “Aku takut Ayah pergi.”
Ardi menahan napas, dadanya sesak. Dia tidak bisa menjawab.
Malam itu, Ardi tidak bisa tidur. Dia berdiri di depan cermin kamar mandi, menatap bayangannya sendiri. Matanya lelah, garis-garis kerutan di wajahnya terlihat lebih dalam. Tangannya memegang pisau cukur, jari-jarinya gemetar. Dia menulis surat di atas kertas, tinta biru mengalir deras.
“Maafkan Ayah, Nak. Ayah tidak bisa lagi.”
Dia menatap pisau itu, lalu menekannya ke pergelangan tangannya. Darah mengalir pelan, merah dan hangat. Dia tersenyum sedih, lalu perlahan, tubuhnya lunglai ke lantai.
Keesokan pagi, Sari membuka pintu kamar mandi. Teriakannya memecah kesunyian rumah. “Ardi! Tidak!”
Rara dan Dito terbangun, berlari ke arah suara itu. Mereka melihat ayah mereka terbaring di lantai, wajahnya pucat, darah mengering di sekelilingnya. Rara menjerit, memeluk Dito yang ketakutan. Sari jatuh berlutut, tangannya memegang surat yang basah oleh air mata.
“Maafkan Ayah, Nak. Ayah tidak bisa lagi.”
Sari menangis histeris, memeluk tubuh Ardi yang sudah dingin. “Kenapa, Ard? Kenapa kau tidak bilang padaku?”
Beberapa hari kemudian, saat Sari membersihkan lemari pakaian Ardi, dia menemukan uang lima ribu rupiah itu. Uang itu terselip di saku jas yang jarang dipakai. Tangannya gemetar, air matanya menetes lagi. “Ardi, kenapa kau tidak mencari lebih dulu?” bisiknya, hatinya hancur.
Di ruang tamu, Rara dan Dito duduk diam, memegang erat foto keluarga. Rara menatap foto itu, matanya berkaca-kaca. “Ayah, kenapa kau pergi?”
Sari mendekat, memeluk mereka erat. “Ayah sedang sakit, Nak. Dia tidak bisa bertahan lagi.”
Rara memeluk ibunya, menangis. “Aku janji, aku akan jadi anak baik, Ibu. Aku janji.”
Sari mencium kening Rara, hatinya remuk. Dia tahu, hidup harus terus berjalan, tapi luka ini akan selalu ada.
Posting Komentar
Posting Komentar