Di Posting Oleh : PAKNAI
Kategori : Cerita
Di kampungku, ada seorang tokoh agama. Kami memanggilnya ustad Ridho. Dia bukan orang yang bijaksana. Perawakannya yang keras, nada bicaranya yang kasar. Membuat orang takut untuk tidak memilihnya saat mencalonkan diri sebagai ketua Badan Kenaziran Masjid pada masjid terbesar di kampung ini.
Jangan ditanya kemampuannya untuk ceramah. Dia mantan guru di madrasah. Sudah
terbiasa untuk menyampaikan materi. Seperti kebanyakan mantan guru lainnya.
Saat dia berbicara, dia selalu menganggap lawan bicaranya sebagai siswa-siswinya
dulu. Hanya ingin mendengarkan kata iya dan faham. Seperti siswa yang tidak berani
membantah omongan guru.
Pernah suatu waktu. Pada saat rapat jamaah. Seorang pemuda memberi usulan
yang berbeda dengan pendapat ustad Ridho. Bukannya memberi argument yang
menguatkan pendapatnya. Ustad Ridho justru menyerang anak muda tersebut.
“Diam kau dulu, pemuda macam kau itu ngga mengerti tentang pembinaan
umat ini.” Katanya.
Namun, kesibukan membina umat melalui manajemen masjid ternyata belum
membuat ustad ridho capek. Posisi lain sebagai ketua pada salah satu Lembaga
adat dia terima kemudian. Mungkin kepiawaian dan kemampuan yang sama dengan
mempengaruhi jamaah masjid, dia tunjukkan pada pemilik hak suara pada Lembaga tersebut.
Sehingga pilihan itu mereka jatuhkan padanya. Meski dia juga tidak
punya pengalaman dalam urusan adat istiadat sebelumnya.
Seperti kebiasaan dalam ajang pilkada. Setiap kandidat merangkul
tokoh-tokoh untuk menjadi juru kampanye. Dan Ustad ridho tidak bisa lepas dari
rangkulan salah satu pasangan calon bupati di kampung kami. Bahkan
keberadaannya semakin diperhitungkan, karena dia menggunakan dua jubah. Tokoh
agama dan tokoh adat.
Hari itu, jadwal kampanye kandidat yang didukung Ustad Ridho. Dia di plot
untuk menyampaikan orasi. Ustad Ridho melangkahkan kaki menuju podium sesaat
setelah namanya disebut oleh MC. Dengan jubah putih yang biasa dia pakai.
Tatapan matanya tajam. Tapi, kali ini tatapan itu seperti tidak menuju pada
siapapun yang berada di lapangan. Mungkin
ada rasa deg-degan, karena hal ini adalah pengalaman baru baginya. Berbicara di
podium adalah makanannya setiap minggu. Tapi, menjadi juru kampanye, ini adalah
pengalaman pertama dalam hidupnya.
Sebelumnya, dia tidak pernah mempersiapkan materi apa yang akan
disampaikan dari atas mimbar. Menyampaikan ayat-ayat Tuhan adalah
kesehariannya. Yang dia perlukan hanya meneliti pendengarnya. Jangan sampai dia
membawakan materi yang sama pada pengajian yang sama di minggu yang sama. Dia
hanya perlu mempelajari satu atau dua materi, kemudian mengulang kembali materi
tersebut pada pengajian yang lain.
Namun, kali ini berbeda. Jualan ayat adalah hal yang paling dipantangkan
dalam kampanye Politik. Bisa menjadi isu SARA yang mudah untuk digiring
pasangan calon lain sebagai bagian dari kampanye hitam. Sehingga Ustad Ridho harus
mempersiapkan dengan matang apa saja yang akan dia keluarkan dari bibirnya.
“Bagaimana agar mereka tidak ragu memilih calon ini?” Pertanyaan ini
yang menjadi dasar pemikiran Ustad Ridho dalam menyampaikan orasinya.
“Sudah 5 tahun kita dipimpin oleh beliau. Dan sampai hari ini, kalian
bisa lihat bagaimana perkembangan kabupaten kita dibawah kepemimpinannya.” Kata
Ustad Ridho membuka orasinya di atas panggung.
“Kaum petani, bagaimana kesejahteraan anda? Buruh dan PNS, apakah anda
merasakan jiwa kepemimpinan yang beliau salurkan?” Lanjut Ustad ridho.
Sorak sorai warga yang hadir mendengar orasi itu membuat Ustad ridho
semakin bersemangat berorasi.
Namun, manusia memang dibentuk oleh kebiasaan. Sebelum menutup orasi, Ustad
Ridho yang terbiasa menyampaikan ayat-ayat Tuhan pada setiap penampilannya,
kali ini juga melakukan hal yang sama. Dia tidak lupa untuk mengutip salah satu
ayat Al Qur’an.
“Dan terakhir, kita sudah sering membaca surah Al Maidah 51. Pada
kesempatan ini saya sampaikan bahwa untuk pilkada di kabupaten ini. Ayat
tersebut tidak berlaku!” Tutupnya.
Hadirin riuh mendengarkan pernyataan Ustad Ridho. Sebahagian besar
mereka yang hadir serentak bertepuk tangan. Sebahagian lainnya membagikan video
orasi tersebut pada akun media sosial mereka masing-masing.
Mungkin pendukung kandidat ini merasa orasi Ustad ridho adalah sebuah
fatwa. Fatwa dari Tokoh agama yang menjadi pembenaran. Pembenaran yang mereka jadikan
sebagai alasan untuk memilih pasangan calon yang mereka dukung. Namun, diatas
langit masih ada langit. Video Orasi itu menjadi viral dan mendapat kecaman
dari umat islam di kampungku, dan Ustad ridho dihujat sebagai Penista Al
Qur’an.
Tokoh juga manusia. Menghadapi tekanan netizen, ustad Ridho menunjukkan
kebijaksanaan yang belum dimilikinya. Mungkin dia sudah terpengaruh oleh
egonya. Apalagi dengan dua jubah yang dipakaikan padanya. Sehingga dia menjadi lupa
diri. Atau mungkin dia masih mengingat masa-masa menjadi guru. Yang di
tangannya ada stempel kebenaran bagi para siswa.
Ustad Ridho merasa harga dirinya di rendahkan dengan sebutan penista.
Sehingga dia mengambil langkah melaporkan orang-orang yang memberi gelar
tersebut ke aparat hukum. Dia Menyusun strategi perlawanan. Melemparkan argument-argumen
pembenaran dan menyebarkannya ke media sosial. Serta mengintimidasi orang-orang
terdekat yang berbeda pemahaman.
Tapi, apalah kekuatan Ustad ridho bersama dengan segelintir pendukungnya
di hadapan Netizen Indonesia? Semakin banyak bantahan yang dikeluarkan, hujatan
itu bukannya semakin mereda. Justru sebaliknya, dia semakin terpojok dibuatnya.
“Lepaskan Jubahmu, wahai penista agama.” Kata salah satu netizen pada
kolom komentar media sosialnya.
“Tokoh agama yang menjual agamanya.” Kata komentar yang lain.
Pada akhirnya, Ustad Ridho tidak tahan membaca komentar yang berdatangan
ke beranda media sosialnya. Aku yang ingin tahu kelanjutan ceritanya, Pagi itu
tidak lagi menemukan akunnya.
Seminggu setelah peristiwa itu. Media sosial di kejutkan dengan
pernyataan dari akun resmi kandidat yang didukung ustad Ridho. Mereka
menyatakan berlepas diri dari pendapat ustad Ridho dan menyatakan bahwa itu
adalah pendapat pribadi beliau. Tanpa ada skenario atau arahan sebelumnya.
Bak gayung bersambut. Besoknya, video permohonan maaf dari Ustad Ridho menyebar
di grup WA pengajian dan Jamaah masjid. Dengan penuh penyesalan dan tatapan
kosong. Ustad Ridho bisa mengakui kesalahan.
Mungkin dia sudah sadar, bahwa politik itu memang kasar. Sehingga merasa
ditinggalkan demi kepentingan kawan. Atau mungkin ini yang sedang mereka
skenariokan?
Posting Komentar
Posting Komentar