Di Posting Oleh : PAKNAI
Kategori : Cerita
Hanya sedikit mimpi yang menjadi kenyataan.
Aku sedang duduk menikmati pemandangan diluar bus lintas Medan-Sidikalang. Kali ini jalur yang kami lewati bukan jalur biasa. Sehingga banyak hal baru yang menjadi santapan mataku.
Supir menghidupkan pemutar musik sepanjang jalan. Mungkin dia takut dengan keheningan di jalan. Hening yang akan membawanya pada rasa kantuk. Atau mungkin juga dia pencinta musik tanah air. karena dari tadi lirik yang ku dengar hanya lagu daerah dan sesekali lagu pop Indonesia.
Dari speaker mobil itu aku mendengar lirik. "...hidup berawal dari mimpi, gantungkan yang tinggi, agar semua terjadi.."
Meski sudah lama aku tidak mendengar lagu ini, tapi lirik ini masih familiar di telingaku. Aku mengikutinya dengan fasih dan bayanganku dibawa ke masa-masa awal aku membuat pilihan hidup.
Aku menamatkan kuliah dengan IP pas-pasan. Namun, sebelumnya aku menolak tawaran dosen pembimbingku untuk memperbaiki nilai tersebut dengan mengambil ulang mata kuliah yang diampunya. Aku beralasan ingin cepat tamat. Meskipun masa studi ku sudah lewat dua smester.
"Nilai ini mungkin cara untuk mengurangi pilihan hidup pak." Jawaban itu dulu ku sampaikan pada pak dosen.
"Kau lain. Disaat orang ingin menambah pilihan dengan bersekolah. Kau malah mau mengurangi pilihan itu. Bukankah itu artinya memperkecil peluang mu untuk sukses?"
"Saat ini, kesuksesan ku hanya dengan memakai toga pak. Setelah itu, aku akan mencari peluang kesuksesan baru." jawabku, menyudahi percakapan kami.
Keningnya berkerut, seolah-olah sebagai tanda tidak setuju dengan pernyataanku. Tapi, itulah jawaban yang paling halus yang bisa ku sampaikan pada saat itu. Karena tuntutan untuk segera wisuda dari bapak di kampung sudah seperti dosis makan obat. Rutin.
Tapi, pikirannya boleh jadi tidak setuju. Namun, tangannya tetap membubuhkan tanda tangan pada surat persetujuan mengikuti sidang, yang dari tadi ada dihadapannya.
Percakapan ini begitu membekas padaku. Sejak saat itu aku membangun keinginan untuk cepat kaya setiap hari. Aku ingin menunjukkan pada beliau bahwa nilai yang bagus bukan syarat utama untuk berhasil. Nilai hanya syarat utama untuk menyelesaikan sekolah. Dan sekolah bukan penentu keberhasilan.
"..Hidup berawal dari mimpi. Gantungkan yang tinggi, agar semua terjadi.."
Kembali lirik ini menyadarkan ku dari kenangan masa lalu. Aku kembali pada kenyataan hari ini. 13 tahun setelah kejadian itu. Orang yang sama dengan mimpi yang masih sama tapi pada waktu yang berbeda. Mimpi yang belum bisa aku wujudkan hingga hari ini.
13 tahun mungkin waktu yang panjang untuk sebuah pencarian. Ada keberhasilan kecil yang ku dapatkan. Namun, lebih banyak kesalahan besar.
Di awal-awal tamat kuliah, idealisme untuk melakukan hal besar itu masih kuat. Aku menolak untuk mencari pekerjaan tetap. Sesuatu yang sangat diharapkan oleh orang tuaku. "Sayang ijazah mu itu jika tidak digunakan." kata mamak saat itu.
Meski aku merasa tidak cocok dengan cara berpikirnya, namun aku tetap menjawab pernyataan itu. "Mak, ga ada yang sia-sia. Setidaknya aku tahu akan melakukan apa karena sudah mamak dan bapak sekolahkan."
Hingga beberapa tahun kemudian anak kedua ku lahir. Pada saat aku merasakan bahwa tetap berpenghasilan saja tidak cukup untuk mempertahankan hidup. Dia lahir di rumah sakit. Disaat kondisi keuanganku sedang sekarat. Dan momen itu adalah tamparan terbesar bagiku yang hidup tanpa perencanaan.
Istilah dapat ditekongan sangat mengakar dalam pikiran ku saat itu. Segala pekerjaan ku lakukan dengan tanpa pertimbangan, asalkan ada bayangan bisa menghasilkan uang dalam waktu tertentu.
Aku mendengar nama Steve jobs, maka ku mulai usaha jual beli HP. Kemudian Aku mendengar nama Bob Sadino, aku mengikuti jejaknya dengan bertani. Lalu aku mendengar nama Jeff Bezos. Dan aku menirunya dengan berjualan di market place. Mulai dari bertani, berdagang, bahkan dunia kontraktor yang aku tidak kuasai ilmunya pun ku kerjakan.
Nama-nama itu mempengaruhiku karena jumlah kekayaan yang mereka peroleh dari jenis usahanya. Tanpa pernah memikirkan bagaimana kesulitan yang mereka alami dan jatuh bangun yang mereka rasakan. Yang ku tahu, hasil akhirnya adalah menjadi orang kaya. Aku memilih mengikuti jejak mereka dari jenis usaha yang mereka lakukan. Karena saat itu aku tidak tahu bahwa bukan jenis pekerjaan yang membuat mereka bisa berhasil. Namun, fokus dan konsisten yang membawa mereka pada tangga itu.
Pada titik itu aku menyerah. Menyerah pada mimpi menjadi cepat kaya. dan mencoba untuk menerima takdir. Takdir sebagai bapak yang keberadaannya dibutuhkan oleh istri dan anak-anak. Serta takdir sebagai kepala keluarga yang bertanggung jawab pada mereka.
Aku bersyukur masih diterima pada satu pekerjaan. Aku akhirnya menemukan pekerjaan tetap. Sesuatu yang dulu tidak ada dalam bayanganku. Namun kali ini aku merubah sudut pandangku sendiri. Menerima kenyataan tidak seperti obama yang menjadi presiden AS diumur 47 tahun. Tapi, dengan fokus dan konsisten yang ku lakukan. Perjalananku menjadi kaya bisa seperti donald trump yang menjadi presiden AS di usia 78 tahun.
Meski mimpi untuk cepat kaya masih menggantung dalam pikiranku. Tapi lirik "..Senang bahagia, hingga kelak kau mati.." pada lagu yang sama dari bondan prakoso ini lebih mendominasi.
Posting Komentar
Posting Komentar