Di Posting Oleh : PAKNAI
Kategori : Cerita
“Bang, Panasnya sudah 39,5O. Apakah kita masih harus bersabar?” Kata istriku panik.
Aku mendengar
dengan prihatin. Bukan tidak bisa membeli obat. Tapi, artikel yang ku baca
beberapa hari yang lalu menahan keinginanku untuk langsung memberinya
paracetamol.
Istriku tidak
setuju dengan keinginanku. Dia merasa tidak wajar jika kita harus percaya
sepenuhnya dengan artikel yang berasal dari internet. Apalagi itu bukan
dituliskan oleh dokter. Dalam kepanikannya dia mencoba memberikan paracetamol yang
ada di kotak obat pada si abang. Tapi, saat dia akan menyuapkan cairan itu.
Beruntung aku melihat dan langsung menepis tangannya.
“Kasihan dia
bang.” Katanya.
Terjadi
pertengkaran saat itu. Sampai aku mengungkit tentang peran suami dan istri.
Beruntung, aku mendapat istri yang paham tentang hakikat ini. Kemudian dia
berjanji tidak mengulangi hal itu lagi. Sejak saat itu dia selalu bertanya
terlebih dahulu untuk hal yang bersifat urgen.
Aku juga merasa
sedih melihat si abang demam. Sebagai anak laki-laki satu-satunya dirumah ini, dia
selalu mendapat perhatian lebih dari kami berdua. Apalagi kalau sedang sakit
begini dia lemas, tidak bersuara, dan selalu menempel pada kami berdua.
Otomatis kami tidak bisa melakukan pekerjaan seperti biasa.
“Sabar ma, aku
sedang membuat ramuan tradisional ini. Insya Allah, nanti bisa menyembuhkan
sakitnya.” Jawabku mencoba mengurangi kepanikan istriku.
Ku alihkan
pandangan pada si abang. Wajahnya yang kisut dengan bola mata membesar mengarah
padaku. “nanti abang minum ini ya.” Kataku padanya.
Dia Tidak menjawab.
Dia tetap mengarahkan tatapan kosong padaku yang masih mengulek bawang dengan
minyak goreng untuk dijadikan minyak urut.
“Ba-bagai-mana
jika itu tidak berhasil juga bang?” tanya istriku.
Aku paham kemana
maksud pertanyaan itu. Aku paham pada kepanikan yang dirasakannya. Angka 39,5
itu bukan panas yang wajar bagi anak usia 5 tahun. Dan aku tahu apa akibatnya
bagi dia dikemudian hari, jika hal ini tidak ditangani dengan segera.
“Ma, aku Cuma
tidak mau anak-anak kecanduan obat. Bukan tidak mau memberi mereka obat. Jika
ini tidak mengurangi panasnya, kita segera ke dokter.” Jawabku.
Aku mencoba
tersenyum di balik rasa sakit yang kurasakan. Kenapa orang terdekat denganku
harus meragukan apa yang aku pikirkan. Apakah dia merasa aku ingin mencelakai
anakku? Atau dia merasa aku tidak merasakan ke khawatiran yang sama?
Padahal, jika
saja aku bisa jujur. Aku juga merasakan sakit yang sama. Mungkin lebih besar
dari yang dirasakan si abang. Aku merasakan takut yang lebih besar dari yang dia
rasakan. Bukankah setiap peristiwa yang terjadi dalam keluarga ini adalah
bagian dari tanggung jawabku? Jika pilihan Keputusan yang kuambil salah, dan
berujung dengan terjadinya peristiwa yang tidak diinginkan. Tentu aku orang
pertama yang mendapat hujatan dan dimintai pertanggungjawaban.
Namun, mungkin
dia tidak berpikir kesana. Rasa panik dan takut telah menguasainya. Dan
biasanya dibalik perasaan itu, ada syetan yang senantiasa menggoda, mencoba untuk
membelokkan manusia dari keyakinannya.
Aku menyadari
hal itu. Itu sebabnya aku mencoba melawan godaan syetan dalam diriku dengan
berusaha teguh pada prinsip. Aku menahankan rasa sakit dalam hati. Saat melihat
mata si abang yang berharap aku segera menemukan jalan cepat untuk mengurangi
rasa sakit yang dirasakannya.
Aku mencoba
untuk menahankan rasa takut yang terpancar pada tatapan istriku. Yang berharap
aku melenturkan sedikit prinsip yang kupegang agar si abang cepat mendapat
kesembuhan.
Dan, aku melawan
godaan dalam diriku sendiri. Ya, godaan untuk menerima dorongan sakit dan rasa
takut dari luar untuk mengikuti keinginan mereka.
Aku menahankan
semuanya dengan penuh tanggung jawab. Aku belum pernah se tekun ini. Mencari
cara alternatif dalam menyelesaikan suatu masalah yang aku tahu cara tercepat
menyelesaikannya. Mencoba berbagai cara yang belum pasti berhasil, kemudian
mencoba dan mencoba lagi sampai merasakan lelah saat mencari solusi yang belum pasti.
“Aku belum mau
menyerah.” Pikirku.
39,5o
masih bisa ditolerir, dari pada kelak aku menyesali hari ini. Mendapatkan anak
yang gagal ginjal karena orang tua yang memudah-mudahkan sesuatu. Apalagi
dengan sering memberi paracetamol setiap kali suhu tubuhnya naik. “Aku tidak
mau melihat penderitaan itu kemudian hari.” Pikirku.
Jam sudah
menunjukkan pukul 5 sore saat istriku berteriak. “Pa, sekarang sudah 39,8O.”
Katanya.
Aku ikut panik
mendengarnya. Apakah aku harus menyerah? Tanyaku pada diri sendiri.
Apakah, ini
pertanda kelemahan dari pengetahuanku?
Atau memang ini
masih bagian dari cobaan atas kesabaranku?
Dan dalam
kepanikan dan air mata yang tak tertahan. Aku mengambil kunci mobil.
“Ma, siapkan
perlengkapan si abang, kita kerumah sakit.” Kataku terbata-bata.
Aku memilih
menyerah. “Gagal ginjal adalah resiko bagi orang yang masih hidup. Sedangkan
jika tidak hidup, aku yang gagal.” Pikirku.
Posting Komentar
Posting Komentar