n1ljWYmZyLaHa1TMPYBBtiqVcQolSr0KLMIOwgVb

Cari Blog Ini

Laporkan Penyalahgunaan

Mengenai Saya

39,5

39,5
Di Posting Oleh : PAKNAI
Kategori : Cerita

 

demam  suhu 39,5 derajat

“Bang, Panasnya sudah 39,5O. Apakah kita masih harus bersabar?” Kata istriku panik.

Aku mendengar dengan prihatin. Bukan tidak bisa membeli obat. Tapi, artikel yang ku baca beberapa hari yang lalu menahan keinginanku untuk langsung memberinya paracetamol.

Istriku tidak setuju dengan keinginanku. Dia merasa tidak wajar jika kita harus percaya sepenuhnya dengan artikel yang berasal dari internet. Apalagi itu bukan dituliskan oleh dokter. Dalam kepanikannya dia mencoba memberikan paracetamol yang ada di kotak obat pada si abang. Tapi, saat dia akan menyuapkan cairan itu. Beruntung aku melihat dan langsung menepis tangannya.

“Kasihan dia bang.” Katanya.

Terjadi pertengkaran saat itu. Sampai aku mengungkit tentang peran suami dan istri. Beruntung, aku mendapat istri yang paham tentang hakikat ini. Kemudian dia berjanji tidak mengulangi hal itu lagi. Sejak saat itu dia selalu bertanya terlebih dahulu untuk hal yang bersifat urgen.

Aku juga merasa sedih melihat si abang demam. Sebagai anak laki-laki satu-satunya dirumah ini, dia selalu mendapat perhatian lebih dari kami berdua. Apalagi kalau sedang sakit begini dia lemas, tidak bersuara, dan selalu menempel pada kami berdua. Otomatis kami tidak bisa melakukan pekerjaan seperti biasa.

“Sabar ma, aku sedang membuat ramuan tradisional ini. Insya Allah, nanti bisa menyembuhkan sakitnya.” Jawabku mencoba mengurangi kepanikan istriku.

Ku alihkan pandangan pada si abang. Wajahnya yang kisut dengan bola mata membesar mengarah padaku. “nanti abang minum ini ya.” Kataku padanya.

Dia Tidak menjawab. Dia tetap mengarahkan tatapan kosong padaku yang masih mengulek bawang dengan minyak goreng untuk dijadikan minyak urut.

“Ba-bagai-mana jika itu tidak berhasil juga bang?” tanya istriku.

Aku paham kemana maksud pertanyaan itu. Aku paham pada kepanikan yang dirasakannya. Angka 39,5 itu bukan panas yang wajar bagi anak usia 5 tahun. Dan aku tahu apa akibatnya bagi dia dikemudian hari, jika hal ini tidak ditangani dengan segera.

“Ma, aku Cuma tidak mau anak-anak kecanduan obat. Bukan tidak mau memberi mereka obat. Jika ini tidak mengurangi panasnya, kita segera ke dokter.” Jawabku.

Aku mencoba tersenyum di balik rasa sakit yang kurasakan. Kenapa orang terdekat denganku harus meragukan apa yang aku pikirkan. Apakah dia merasa aku ingin mencelakai anakku? Atau dia merasa aku tidak merasakan ke khawatiran yang sama?

Padahal, jika saja aku bisa jujur. Aku juga merasakan sakit yang sama. Mungkin lebih besar dari yang dirasakan si abang. Aku merasakan takut yang lebih besar dari yang dia rasakan. Bukankah setiap peristiwa yang terjadi dalam keluarga ini adalah bagian dari tanggung jawabku? Jika pilihan Keputusan yang kuambil salah, dan berujung dengan terjadinya peristiwa yang tidak diinginkan. Tentu aku orang pertama yang mendapat hujatan dan dimintai pertanggungjawaban.

Namun, mungkin dia tidak berpikir kesana. Rasa panik dan takut telah menguasainya. Dan biasanya dibalik perasaan itu, ada syetan yang senantiasa menggoda, mencoba untuk membelokkan manusia dari keyakinannya.

Aku menyadari hal itu. Itu sebabnya aku mencoba melawan godaan syetan dalam diriku dengan berusaha teguh pada prinsip. Aku menahankan rasa sakit dalam hati. Saat melihat mata si abang yang berharap aku segera menemukan jalan cepat untuk mengurangi rasa sakit yang dirasakannya.

Aku mencoba untuk menahankan rasa takut yang terpancar pada tatapan istriku. Yang berharap aku melenturkan sedikit prinsip yang kupegang agar si abang cepat mendapat kesembuhan.

Dan, aku melawan godaan dalam diriku sendiri. Ya, godaan untuk menerima dorongan sakit dan rasa takut dari luar untuk mengikuti keinginan mereka.

Aku menahankan semuanya dengan penuh tanggung jawab. Aku belum pernah se tekun ini. Mencari cara alternatif dalam menyelesaikan suatu masalah yang aku tahu cara tercepat menyelesaikannya. Mencoba berbagai cara yang belum pasti berhasil, kemudian mencoba dan mencoba lagi sampai merasakan lelah saat mencari solusi yang belum pasti.

“Aku belum mau menyerah.” Pikirku.

39,5o masih bisa ditolerir, dari pada kelak aku menyesali hari ini. Mendapatkan anak yang gagal ginjal karena orang tua yang memudah-mudahkan sesuatu. Apalagi dengan sering memberi paracetamol setiap kali suhu tubuhnya naik. “Aku tidak mau melihat penderitaan itu kemudian hari.” Pikirku.

Jam sudah menunjukkan pukul 5 sore saat istriku berteriak. “Pa, sekarang sudah 39,8O.” Katanya.

Aku ikut panik mendengarnya. Apakah aku harus menyerah? Tanyaku pada diri sendiri.

Apakah, ini pertanda kelemahan dari pengetahuanku?

Atau memang ini masih bagian dari cobaan atas kesabaranku?

Dan dalam kepanikan dan air mata yang tak tertahan. Aku mengambil kunci mobil.

“Ma, siapkan perlengkapan si abang, kita kerumah sakit.” Kataku terbata-bata.

Aku memilih menyerah. “Gagal ginjal adalah resiko bagi orang yang masih hidup. Sedangkan jika tidak hidup, aku yang gagal.” Pikirku.

Related Posts
SHARE

Related Posts

Subscribe to get free updates

Posting Komentar

Sticky Note