Di Posting Oleh : PAKNAI
Kategori : Aku Cerita
Melihat Dian Sastro menjepit kretek dan mempermainkan asap rokok dalam film gadis kretek mengingatkanku pada pengalaman saat pertama kali menghisap rokok.
Waktu itu aku kelas 2 SMP. Sebagai remaja labil dan baru mengenal cinta monyet aku kecewa karena ditinggalkan oleh perempuan yang sempat dekat denganku. Dulu aku pernah bilang padanya. "aku cinta padamu." sekarang mengingat hal itu membuatku geli.
Meski masih dalam golongan cinta monyet, tapi ditinggalkan perempuan menjatuhkan naluri kelelakianku. "kita putus." katanya.
Aku kecewa padanya, dan pada diriku sendiri yang tidak bisa memegang kuasa sebagai laki-laki untuk berada dalam posisi pengambil keputusan. Kekecewaan ini membuatku labil dan ajakan teman untuk mengisap rokok cepat ku iyakan. "nanti kau akan lupa tentang itu." katanya sambil mengarahkan sebatang rokok ke hadapanku.
Meski aku tidak mengaminkan pernyataan itu, tapi tetap saja sebatang rokok itu ku ambil bersama dengan koreknya. Kunyalakan korek api, kuarahkan ke ujung paling jauh rokok yang sudah ku jepit dengan bibirku.
"uhug..uhug..." reaksi pertama menghirup asap yang masuk melalui rongga-rongga tembakau ke dalam mulutku. Saat itu aku heran, bagaimana benda yang membuat orang batuk ini bisa menjadi hal yang paling dicari oleh banyak orang?
"Itu karena belum terbiasa." kata temanku seolah-olah tahu apa yang kupikirkan.
Meski tidak menghilangkan kekesalanku pada perempuan yang mengatakan "putus" itu, sejak saat itu aku menjadi terbiasa dengan sebatang rokok diantara jari tengah dan telunjukku.
Aku dengan jeng yah (Dian Satro) punya alasan yang berbeda dalam mengisap rokok. Dia mengisap kretek untuk mencari formula saus yang tepat untuk rasa kretek. Sedangkan aku, mengisap rokok adalah formula dalam menghadapi setiap kekecewaan yang kualami.
Kedekatanku dengan rokok semakin intens saat bapak menolak untuk mengirimkanku sekolah ke luar kota. Saat itu aku ingin masuk ke sebuah SMK unggulan. "Kau mau sekolah cuma sampe jenjang SMA aja? Bisalah nanti kakakmu ga kuliah gara-gara membayar uang sekolahmu disana." Kata bapak sambil menepuk-nepuk punggung rokoknya diatas asbak.
Aku mengancam bapak. "Kalau ngga bisa sekolah disana, lebih baik aku ga sekolah lagi."
"Cocok!" kata bapak. "Setidaknya beban pengeluaranku untuk biaya sekolahmu berkurang." Jawabnya mantap.
Ancamanku tidak berhasil. Aku semakin kecewa mendengar jawaban itu. Aku menangis dan bangkit keluar dari rumah. Tujuanku adalah pergi ke kedai untuk membeli rokok. Rasa kecewa Bercampur dengan asap rokok yang kuhirup. Semakin dalam aku menghirupnya, semakin bertambah kekecewaanku. "Bapak tidak sayang padaku." pikiran itu yang berkeliaran di otakku.
Bersamaan dengan asap rokok yang keluar masuk dari hidung dan mulutku, datang pemikiran untuk balas dendam. "Enak kali dia kalau sekiranya aku tidak jadi sekolah. Jika dia tidak terbebani dengan pilihanku tidak sekolah, maka bukankah lebih baik kalau aku membebankan dia dengan biaya sekolahku." pikirku.
Ku bulatkan tekad untuk melanjutkan sekolah. Meski aku belum tahu mau sekolah dimana.
Kemudian di pertengahan kuliah aku juga memiliki kedekatan dengan rokok karena kecewa. Waktu itu dosen yang masuk memanggilku dan menyuruh untuk keluar. dan tidak boleh masuk selama perkuliahannya. Menurutku Pasalnya sepele.
Aku terbiasa ke kampus dengan sendal jepit dan kaos oblong. Dosen itu tidak suka. meski aku sudah menutupi kaosku dengan jaket, dan pada saat perkuliahannya aku mengambil posisi duduk di tengah ruangan dan sengaja mengangkat kaki dan menyenderkannya pada penguat kursi.
Hari itu aku apes dan ketahuan. "Keluar!" katanya dengan keras. Apesnya lagi, dia ingat kalau saya adalah mahasiswa bimbingannya. Kemudian dia melanjutkan. "Jangan datang minta bimbingan pada saya di semester ini."
Setelah kejadian itu, kembali hal pertama yang kulakukan adalah membeli rokok. Menyalakannya dengan korek yang selalu ada disakuku. Kemudian mempermainkan asapnya yang keluar masuk hidung dan mulutku. Sesekali aku mengeluarkan asap berbentuk lingkarang dari mulutku.
Apakah rokok itu menyelesaikan masalahku? tidak. Tapi memang manusia mana yang tidak melakukan kebodohan-kebodohan yang sama secara berulang-ulang dan mengharapkan hasil yang berbeda?
Sekarang, Aku dan Jeng Yah sama-sama pencinta kretek. Tapi tetap dengan alasan yang berbeda. Jeng yah tetap dengan keinginannya menemukan formula saus kretek untuk memberi kepuasan penikmatnya. Sedangkan aku memilih kretek karena kecintaanku pada rokok tapi tidak sanggup menghadapi kenaikan harga rokok yang terus menerus.
Harga rokok yang meningkat memaksa ku untuk mencari solusi bagaimana menikmati asap yang keluar masuk mulut dan hidung dengan biaya yang lebih murah. Sehingga pilihanku jatuh pada kretek. Meski bukan kretek gadis yang dibuat oleh Jeng yah. Tapi nikmat yang dirasakan Jeng yah saat mengisap kretek sambil menyandarkan siku di tepi meja, sama kurasa. Belakangan, bunyi tek..tek..tek... yang keluar dari sentuhan bara dengan cengkeh dan tembakau dalam gulungan rokok seiring semakin pendeknya kretek yang kuhisap, menjadi suara yang menyenangkan bagi telingaku.
Posting Komentar
Posting Komentar