Di Posting Oleh : PAKNAI
Kategori :
Aku bertanya dalam hati, apakah aku sudah melakukan hal yang benar? namun, pertanyaan ini kemudian membuak cabang baru. benar menurut siapa? apakah benar menurut atasanku saat ini, atau benar menurut ajaran yang ku yakini, atau kebenaran yang kumaksud hanya sebatas ego yang sedang ku pelihara?
Pagi itu, seperti biasa aku bangun kesiangan. kebiasaan ini sudah berlangsung lama. sangkin lamanya, aku tak tahu berapa banyan tahun yang ku lewati dengan hari-hari membosankan seperti ini.
pernah aku berubah menjadi seorang yang bisa bangun pagi. tapi, kebiasaan itu tidak bertahan lama. ada saja sebab yang tidak disengaja membuatku kembali pada kebiasaan buruk itu. sekali dua kali, aku menyesalinya, namun semakin lama, penyesalan itu yang kemudian ku sesali.
aku rindu pada saat-saat baik itu, bangun pagi, salat subuh dan kemudian mengaji adalah aktifitaa yang sangat menentramkan menurutku. tapi, semakin aku menginginkannya, semakin sulit untuk merealisasikannya.
ya, aku sedang terjebak. terjebak angan-angan tanpa ujung. seperti punuk yang merindukan bulan, sedangkan bulan tidak mengenalinya. semakin aku menginginkan untuk mendapatkannya, semakin dia jauh untuk ku raih.
jangan berfikir aku tidak berusaha. berbagai macam cara sudah ku coba. mulai dari menghilangkan kebiasaan tidur siang. sampai berusaha tidak tidur semalaman. bahkan pernah aku hanya berbaring memejamkan mata di kamar semalaman tanpa bisa melepaskan diri untuk sampai ke peraduan.
namun, usahakanku sia-sia. tidur cepat malam itu tidak menjamin aku bisa tidur cepat pada malam berikutnya. lalu, apakah aku harus terus menyesalinya?
kalau kau tanya apakah aku mau berubah. dengan cepat ku jawab iya. tanpa tapi, tanpa nanti. sekarang aku sangat mengharapkan perubahan itu. bahkan tanpa kau tanyapun aku sedang berusahan untuk mendapatkannya.
lalu, kenapa perubahan itu tidak kunjung tiba?
aku tidak sadar bahwa setiap orang memiliki cara yang berbeda. 1+1 = 2 hanya berlaku pada hitungan matematika. tapi, bagi manusia. setiap kemajuan tidak bisa diperoleh dengan cara yang sama persis seperti manusia lainnya.
aku belum mengenal diriku. dan aku harus mengakuinya. meski terkadang aku harus menanggung malu. karena 37 tahun bersama, tapi tidak saling mengenal dengan jiwa adalah bentuk ego yang paling tinggi.
bagaimana mungkin aku bisa menjadi manusia tanpa mengenal diriku sendiri?
mereka bilang hal ini munafik. tapi, aku tidak mau mengikuti istilah mereka. aku cukup menganggapnya sebagai sikap orang bodoh.
aku harus mengakui kebodohanku. bodoh karena kelemahan diriku. bodoh karena merawat ego ku. dan bodoh karena tidak sanggup menanggung malu.
lalu, bagaimana seterusnya?
aku sudah menjalani hari-hari penuh kebodohan. selama 37 tahun tidak mengakui kebodohanku. bukankah jika tetap bertahan aku menjadi lebih bodoh lagi?
aku tidak mau melewati sepanjang hidup dengan kebodohan yang sama. dulu aku pernah tersinggung dengan kalimat bapak yang menyatakan "sarjana bodohnya itu." pada temannya. tapi, sekarang aku harus mengakui kebenaran pernyataan itu.
aku bodoh karena tidak berkenalan dengan diri sendiri. dan saat ini aku mengakui kebodohanku. meski terkadang aku masih berat menerimanya. namun, aku memaksakan diri untuk kuat mengakuinya. karena tidak ada perubahan tanpa sebuah pengakuan.
setelah pengakuan ini aku akan belajar kembali. belajar mengenal diri. itu saja sudah cukup sebagai langkah pertama dari keinginan untuk maju.
karena aku manusia. aku harus bisa menjadikan diri ini menjadi benar-benar manusia tanpa mengharapkan orang lain untuk memanusiakan aku.
Posting Komentar
Posting Komentar