Di Posting Oleh : PAKNAI
Kategori : Kita
Aku tidak pernah memiliki niat untuk memanjakan anak-anak. Tapi, mengantarkan mereka kesekolah setiap pagi adalah pekerjaan rutinku. Jarak dari sekolah mereka kerumah tidak jauh, dan anak-anak sudah kuajarkan untuk berangkat dan pergi dengan berjalan kaki. Tapi aku tetap melakukan aktifitas ini. setidaknya untuk menjadi alasan kenapa aku harus bangun pagi-pagi.
Aku membutuhkan kegiatan dengan anak-anak. Terlebih saat banyak aktifitas diluar. Mengantar dan menjemput anak dari sekolah ku manfaatkan untuk tetap terhubung dengan mereka. Seperti siang itu, saat menjemput si adek pulang sekolah. Aku melihat wajahnya murung. Biasanya dia enggan untuk diajak pulang kerumah. Ada saja alasannya untuk bisa menambah waktu bermain dengan temannya. Tapi, kali ini dia langsung berjalan lemah kearahku dan naik ke motor.
"ayok pa.." katanya.
Aku tahu ada yang tidak beres. Namun, aku menahan diri untuk langsung bereaksi. Sepanjang jalan pulang aku diam dan menunggu sampai dia yang memulai cerita. Tapi, dia tidak mengucapkan sepatah katapun sampai kami tiba dirumah.
Dia anak perempuanku yang kedua. Lahir dengan bawaan pipi kiri sampai ke dagu berwarna merah. seperti bekas kulit terbakar. aku berusaha untuk selalu hati-hati berbicara padanya. Jangan sampai perkataan yang ku ucapkan menyinggung perasaannya dan menyebabkan dia menjadi minder dengan keberadaannya.
Selepas makan malam, aku menanyakan pengalamannya tadi disekolah. Awalnya dia enggan bercerita. tapi tiba-tiba dia bilang. "kawan dedek tadi disekolah nanya, kenapa pipimu merah?" katanya.
"Trus dedek bilang apa?" tanyaku penasaran pada jawabannya.
"dedek bilang aja, 'kau pun kenapa mukamu gitu?"' katanya.
Aku menarik nafas dalam-dalam mendengar ceritanya. Dalam pikiranku membayangkan bagaimana wajahnya menjawab pertanyaan temannya dengan ketus dan menahan diri dari meluapkan emosi pada si penanya tersebut. Sehingga moodnya rusak dan ingin cepat-cepat pulang kerumah saat bel pertanda pulang sekolah tadi berbunyi.
Aku memikirkan perkataan yang cocok dalam menanggapi permasalahan yang dia alami. Aku merasa kewalahan untuk menyusun kata-kata agar bisa dimengerti seorang anak berusia 7 tahun. Bagaimana aku harus meyakinkannya bahwa setiap pemberian Allah itu pasti ada hikmahnya. atau bagaimana kita harus bersabar jika sedang diuji oleh Allah.
"Pa, kenapa tanda merah ini ga hilang-hilang." katanya mengejutkanku. "udah rajinnya dedek kasih obat yang dikasih mama itu. Sering juga dedek garuk-garuk biar hilang. Tapi, ga berkurang pun." lanjutnya.
Air mataku menetes. aku tak sanggup mengeluarkan kata-kata. aku mencari kalimat terbaik yang harus ku ucapkan di dalam memoriku. Tapi,semakin keras aku mencari, semakin aku tidak menemukannya.
Aku merentangkan kedua tanganku. Kami berdua kemudian menangis bersama.
"Dek, ada beberapa pemberian Allah yang tidak bisa kita rubah." kataku membuka permbicaraan kemudian. "salah satunya adalah kondisi fisik kita." lanjutku.
"Satu-satunya hal yang bisa kita lakukan dalam menyikapi hal ini hanya belajar menerima. karena kita tidak tahu tentang apa hikmah yang akan kita dapatkan darinya di kemudian hari." lanjutku.
Aku tidak tahu apakah kalimat penutup yang kusampaikan itu bisa dia mengerti atau tidak. Tapi setelah itu di bangkit dan pergi ke kamarnya.
Pengalaman-pengalaman seperti ini tentu menjadi barang mewah bagi orang tua yang tidak mendekatkan diri pada anak. Apa yang menjadi pikiran mereka? Mengapa sesuatu terjadi pada mereka? Bagaimana cara mengatasi masalahnya, dan berbagai macam pertanyaan lain yang ada dikepalanya tentu tidak kita ketahui jika memang pendekatan yang kita buat tidak sesuai dengan harapannya.
Dulu, orang tua mendidik kami seperti yang dilakukan kakek dan nenek kami pada mereka. Hal ini aku tahu dari cerita yang mereka sampaikan. Sebagai anak laki-laki, tidak jarang kata-kata kasar dan sentuhan fisik kuterima. Pola pendidikan mereka mempengaruhi caraku bersikap dan berpikir hari ini. Meski tidak bisa dibilang hebat, Tapi, jika aku menerapkan cara yang sama pada anak-anak ku sekarang, aku tidak yakin pada tingkat keberhasilannya.
"Didiklah anak sesuai dengan zamannya." kata syaidina Ali.
Aku tidak menyalahkan orang tuaku. Namun lingkungan kita hari ini berbeda. Jika dulu orang tua bisa memaksakan anak menjadi apa yang mereka mau. Hari ini, coba anda lakukan hal yang sama, 100% penyesalan yang akan anda terima.
Setelah menjadi orang tua aku baru sadar bahwa peringatan yang dulu ku anggap sebagai paksaan adalah bentuk kekhawatiran dan rasa takut mereka jika kelak jalan yang kupilih salah. Sehingga hal pertama yang mereka bangun dalam memoriku adalah "orang tua, tidak pernah salah. dan anak harus mengikuti kata orang tua."
Proses penanaman hierarki ini berhasil padaku. Namun jika hierarki yang sama ku berlakukan kembali hari ini, apakah itu bisa menjamin mereka lebih mendengar nasehatku dibandingkan ajakan orang lain?
Aku ingat beberapa kali menetang bapak saat sudah dewasa. Aku melakukannya karena merasa bahwa aku lebih paham pada masalah yang sedang kami bicarakan. Hal ini menyebabkan hubungan kami renggang. Beruntung aku segera menyadari kesalahanku dan meminta maaf. Sehingga bapak yang sudah tua tidak terbebani pikirannya karena bantahan anaknya.
Saat ini informasi begitu mudah didapatkan. Konten-konten yang mereka tonton sedikit banyak mempengaruhi cara mereka berfikir. Ditengah badai informasi itu, bagaimana jika aku masih menerapkan sistem hierarki itu? Mungkinkah mereka akan bertanya atau meminta tanggapan atas apa yang mereka lihat atau rasakan?
Bukannya tidak takut, tapi rasa takutku semakin bertambah. Tapi aku tidak mau terjebak pada cara yang sama. Merubah pola hubungan adalah pilihanku saat ini. Dan sejalan dengan itu polaku membangun harapan kepada anak juga berubah. Aku memilih menjadikan rumah sebagai tempat yang nyaman bagi anak untuk menceritakan segala sesuatu yang mengganggu pikirannya ketika mengambil tindakan dengan mengurangi perintah dan larangan serta menjadikan mereka teman atau sahabat.
Lalu apa yang menjadi kewenangan orang tua terhadap anak saat ini?
Tidak ada!!
"Jangan bercermin pada kaca yang retak" kata pepatah.
Sebagai genarasi penerus dan pelurus, anak harus didekati sebagai teman sekaligus sahabat bagi orang tua. Dan ego patrineal yang biasanya melekat pada diri setiap orang tua harus diturunkan disini.
Apakah itu artinya kita harus mengikuti segala kehendak anak?
Tentu tidak. Anda bukanlah sahabat yang baik ketika membiarkan sahabat anda membiasakan perilaku buruk. Tapi anda akan mengingatkannya dengan cara yang baik dan bisa diterima. Dan anda berusaha menjaga agar tidak terjadi kerenggangan hubungan karena hal tersebut.
Posting Komentar
Posting Komentar